Enam tahun lalu, bertepatan dengan ulang tahun Tempo Media Grup, saya menghadiri acara syukuran di Tempo Biro Surabaya yang pada waktu itu dihadiri oleh Arif Zulkifli dan Johan Budi.
Kala itu, Johan Budi masih berstatus sebagai Juru Bicara KPK. Di depan saya dan teman-teman mahasiswa lainnya, kami ditanya, “Tahanan korupsi dikatakan tahanan politik (Anas Urbaningrum). Mahasiswa sekarang ini bagaimana? Diam-diam saja.
Apa masih mengira negara (indonesia) ini masih baik-baik saja?” Kurang lebih begitu yang dikatakan beliau. Melihat korupsi di negeri ini merajalela.
Apa yang kami katakan waktu itu? Tidak ada. Kami, yang waktu itu masih berstatus sebagai mahasiswa, tertawa kecut sembari memikirkan apa yang bisa kami lakukan kala itu.
Malam hari itu juga saya tidak bisa tidur memikirkan bagaimana saya harus mengambil posisi ketika kebenaran saja seolah dibolak-balik dan informasi dibiaskan.
“Apakah saya sudah berdiri pada hal yang benar? Di arah yang sama tempat saya berdiri, siapa dan kepentingan apa di baliknya?” Saya kebingungan menentukan arah, karena hoax terus diproduksi.
Belakangan, pertanyaan “di mana mahasiswa ini sebenarnya berdiri?” telah dijawab oleh adik-adik saya, angkatan di bawah saya yang dengan cerdas dan berani, memukul mundur orang-orang yang mencoba berbuat jahat terhadap bangsa dan negara.
Aksi yang bukan hanya sekadar aksi mempertontonkan eksistensi diri, nama organisasi, dan nama universitas. Jauh dari itu semua, mereka bersatu di jalan-jalan menjawab apa yang telah diharap-harapkan sejak dahulu.
“Di sini kami berdiri, di jalan bersama mereka yang tersakiti dan tertindas. Membela mereka yang lemah dan dianiaya oleh pemerintahnya sendiri,” itu yang seolah ingin dikatakan oleh teman-teman mahasiswa.
Mereka dengan berani dan menjaga satu sama lain yang turut diintimidasi. “kita bersama memukul mundur oligarki.”
Ini lebih dari sekadar memenuhi keinginan Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu ketika beliau mengatakan rindu didemo. “Saya kangen sebetulnya didemo. Nggak, karena apa? Apapun, apapun, apapun, pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang ngingetin kalau keliru.”
Lebih dari sekadar menjawab pertanyaan Johan Budi. Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Betul kata Jokowi, pemerintah perlu dikontrol dan diingatkan jika keliru, untuk kemudian berjalan kembali di jalan keadilan.
Saya membayangkan adik-adik menyanyikan lagu Darah Juang sembari berjalan ke kantor-kantor pemerintahan.
“Di negeri permai ini berjuta rakyat bersimbah ruah. Anak kurus tak sekolah. Pemuda desa tak kerja. Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat.”
Mereka menyuarakan ketidaksetujuannya pada UU KPK yang ditetapkan oleh pemerintah, yang berpotensi mengebiri lembaga yang dipercayai masyarakat akan indepensinya menangkap maling-maling berdasi. Mereka menyuarakan keresahannya akan RUU KHUP yang berpotensi mengebiri demokrasi.
Mereka menuntut perlindungan terhadap perempuan lewat RUU PKS yang tak kunjung dibahas dan disahkan. Mereka menuntut keadilan bagi saudara di Papua yang didiskriminasikan.
Mereka menuntut penyelesaian masalah tanah dan keseriusan pemerintah menangani kebakaran hutan yang terus terjadi setiap tahunnya di Sumatra dan Kalimantan. Dan mereka teguh, menolak diprovokasi oleh penumpang-penumpang gelap yang membonceng tanpa permisi.
Pak Johan, Pak Jokowi, dan seluruh kalian yang mempertanyakan arah keberpihakan mahasiswa. Mereka menjawab dengan cerdas dan berani beberapa hari ini. Gelombang yang menuntut perbaikan ini adalah orang-orang yang akan terus mengawasi kalian dalam bekerja. Mengawal dan melindungi demokrasi.