Baik Persibo maupun Bojonegoro, keduanya menyatu dalam diriku. Kau tahu, betapapun menyebalkannya sesuatu, jika itu bagian dari dirimu, kau akan menerima dan mencintainya.
Aku mencintai Persibo dan Bojonegoro seperti aku mengenal dan mencintai diriku sendiri. Di kota mungil ini, aku menghabiskan lebih dari setengah usiaku. Di kota ini pula, ribuan perempuan pertemuan, perdebatan dan percakapan mewarnai hidupku.
Huft, Persibo. Klub hebat yang sering bernasib nahas hanya karena kerap menerima ketidakadilan. Darinya aku belajar tentang banyak hal. Satu di antaranya adalah kualitas baik yang tak serta merta berbanding lurus pada nasib yang baik.
Huft, Bojonegoro. Kota kecil yang kadang sangat menyebalkan. Kemacetan, udara panas dan kesemerawutan yang tak kunjung menemui usai. Tapi, entah kenapa, aku selalu betah hidup di dalamnya.
Baik Persibo maupun Bojonegoro, keduanya menyatu dalam diriku. Kau tahu, betapapun menyebalkannya sesuatu, jika itu bagian dari dirimu, mau tak mau, kau akan menerimanya sebagai kelumrahan dan pelan-pelan mencintainya.
Perutmu yang buncit atau kulitmu yang hitam misalnya, kau pasti akan tetap mencintainya. Karena itu, aku mencintai Persibo dan Bojonegoro serupa aku mencintai perutku yang memang agak buncit.
Di kota ini, banyak perkara naif yang aku dapati. Seusai SMA, misalnya, aku punya kesempatan besar untuk kuliah di universitas negeri ternama di sebuah kota besar. Tapi, dengan kecerobohan yang optimistis, aku memilih kuliah di universitas kecil yang tak jauh dari rumah.
Mungkin karena aku tak bisa jauh-jauh dari Persibo. Atau mungkin karena ada sesuatu yang tak bisa aku tinggalkan di Bojonegoro. Semua itu terangkum dalam sikap naif yang kadang membuatku melewatkan banyak kesempatan.
Seberapapun banyak kesempatan yang kulewatkan itu, kau tahu, tak sedikitpun aku sesali. Sebab aku percaya bahwa perkara menyenangkan tak dipengaruhi oleh dimensi dan ruang. Di manapun kau berada, jika hatimu sedang senang, kau akan merasa seperti berada di Stadion Olimpico meski sesungguhnya kau berada di Kota Bojonegoro.
Aku mencintai Persibo serupa aku mencintai SS Lazio. Aku mengenal Persibo bahkan sebelum aku benar-benar baligh. Aku menyukai Persibo sejak ia dilatih Jamrawi dan masih dihuni pemain muda penuh semangat bernama Bambang Pramuji.
Iya, Bambang Pramuji yang kini menjadi pelatih Persibo, dulu pernah menjadi pemain muda Persibo yang cukup aku kenal dan kagumi. Karena itu, Persibo lebih mirip tubuhku sendiri. Yang tiap perubahannya, sangat aku kenali.
Jauh-jauh hari sebelum menjadi pemuda dengan tubuh yang agak gemuk, aku pernah bergabung dengan IM Bojonegoro dan Persepa Pacul. Dua SSB yang mengajarkan banyak hal tentang kekalahan dan kemenangan dalam hidup.
Dengan label sebagai anak asuh IM Bojonegoro dan Persepa Pacul, tentu, aku sering ikut turnamen sepakbola kala masih menyandang status pelajar Madrasah Ibtidaiyah. Tak terhitung berapakali lututku memar demi sebuah cita-cita yang amat utopis: pemain sepakbola.
**
Aku mencintai fotografi. Aku pernah berujar tak mau bekerja jika itu tak berhubungan dengan dunia fotografi. Aku suka memperlambat sesuatu. Karena dengan itu, aku mampu memperlambat proses menikmati sesuatu.
Fotografi, bagiku sebuah instrumen yang mampu memperlambat sesuatu. Aku tak bilang jika ia mengabadikan sesuatu. Karena apapun di dunia ini, sesungguhnya tak ada yang abadi. Melambat iya, mengabadi tidak.
Aku mencintai musik. Meski tak pandai bernyanyi atau memainkan alatnya. Aku bisa berbusa-busa menjelaskan pada orang lain tentang Queen atau sejarah musik indie dari kemunculan hingga ke-mainstreamannya. Tapi, aku menikmati musik sebagai musik. Aku mencintai musik sebagai musik. Karena itu, aku jarang terlihat bernyanyi, apalagi mengambil untung darinya.
Aku mengenal Bojonegoro beserta karakter orang-orangnya. Aku mencintai Bojonegoro, bahkan dari sisi menyebalkannya. Aku mengenal Persibo beserta sejarah
perkembangannya. Aku mencintainya, bahkan dari sisi kemurungannya.
Apalagi yang harus kuceritakan tentang Persibo dan Bojonegoro? Aku telah mengenal tiap inci rumputnya, aroma udaranya, hingga pergulatan hidup orang-orang di dalamnya. Tanyakan padaku tentang Persibo atau Bojonegoro, akan kujawab dalam satu atau dua helaan nafas.
Tapi, jangan tanyakan padaku bagaimana cara mendapatkan cinta sejati di sana. Sebab, hingga kini aku masih belum tahu caranya. Aku bahkan telah berupaya lupa kapan terakhir kali disakiti. Mungkin karena terlalu sibuk dengan diskusi, buku-buku dan deadline dua tulisan panjang setiap hari.
Meski kerap menemui titik lelah, aku sangat suka pada sepakbola, terutama Persibo. Serupa pornografi, sepakbola merupakan produk kapitalisme yang kerap dikutuk dan dibenci, tapi diam-diam selalu dikagumi. Tak terhitung berapakali aku mengutuk sepakbola, tapi bisa dengan cepat kembali mengaguminya.
**
Beberapa kawan mengatakan jika apa yang aku perjuangkan — entah perkara cinta atau sepakbola– kerap sia-sia, hanya karena aku terlalu pasif dan tak mampu berbuat banyak untuk melakukan perlawanan. Mereka mengira aku orang yang penuh keputusasaan.
Tapi, percayalah, mereka salah. Aku telah berdamai dengan apapun. Dengan kesendirian, kegagalan, kekecewaan, bahkan dengan kecoak ataupun kenangan. Tak semua menyenangkan, memang. Tapi sungguh, aku telah berdamai dengan segalanya.
Aku Mahfudin Akbar. Kau mau apa?