Warung Mbak Oel berperan penting terhadap geliat dialektika para mahasiswa, dosen, hingga para pemikir partikelir.
Kita pernah duduk bersama menghibur diri di emperan rumah masing-masing, sedang bulan perlahan meninggi dari gunung kapur timur Bojonegoro sampai tepat di atas kepala.
Kita sama-sama menyebut padang jingglang mbulane bunder seperti lirik lagu yang pernah diciptakan dan dipopulerkan oleh Almarhum didik kempot berjudul kuncung.
Ya. Itu hanya sebuah prolog. Dalam catatan liar kali ini, sebenarnya ingin sekali saya tulis beberapa tahun lalu, sebelum meninggalkan halaman kampus hijau yang berdiri gagah dan megah berada diutara jalan transportasi umum antar kota.
Kita tidak akan pernah lupa, atau sengaja melupakan masa yang lalu lalangpun ramai dari kepungan hiruk piluk politik kampus, organisasi, daerah.
Apa benar semua individu baik kelompok atau sepantaran kuliah berbicara politik sama sekalipun tidak. Sebagaian besar pernah kandas dari emperan warung tersebut dan menjadi bulian paling trending sepanjang jalan veteran.
Siapa yang tidak kenal dengan warung mini itu. Tempat paling teduh, nyaman untuk nongkrong para mahasiswa dari pagi hingga malam petang. Bukan hanya itu, para dosen pun terkadang berteduh di emperan hanya untuk menikmati secangkir kopi.
Warung begitu sederhana dengan harga kopi yang masih murah dan terjangkau bagi pemuda-pemuda desa, perantau, petualang yang mampir. Apalagi ia sudah bertahan selama lima belas tahun.
Waktu yang tidak cukup sebentar dan begitu panjang sejauh sungai bengawan membelah kota.
Belum lagi di tengah kepungan industri kopi begitu masif, sebagaimana coffe shop menjamur di pelbagai kota sampai menerobos kampung halaman.
Apalagi pasar-pasar modern menjadi rujukan prioritas memuaskan bagi masyarakat yang berbelanja tanpa ada nilai tawar menawar.
Saya sama sekali pun tidak tahu, sampai hari ini, apakah warung itu memiliki nama tertentu atau yang sering teman-teman sebut warung Mbak Oel Kampus.
Namun di deretan perkotaan, warung Mbak Oel ada dua antara kampus dan terminal. Entahlah penting ngopi.
Warung Mbak Oel berdiri sejak 2005 yang bertempat di Jl.Ahma Yani, di depan Rumah Sakit Munanggita Jl. Ia bersama suami tercinta Bapak Tholib yang kebetulan lihai bermain catur jelang senja hanyut tengah malam.
Pada 2007 mereka berdua berhijrah di halaman Kantor PC NU Bojonegoro, dengan bangunan yang sederhana, beratap genting, berblabak, dan berbanner.
Maka tidak heran, walaupun tidak ada prodak yang dipertarungkan dalam dunia perdagangan terutama kopi, hilir mudik penikmati kopi tidak pernah sepipun mimpi.
Siapa yang tidak tahu, sebagian besar yang memiliki jabatan anggota dewan, guru pns, guru swasta, dosen, bahkan pekerja lepas pernah nongkrong di warung itu.
Dilanjut dengan persoalan berdagang. Pada umumnya sebuah perlawanan terbesar dalam dunia dagang adalah kesabaran, keuletan, dan ketekunan.
Siapa yang sabar akan subur, bagi siapa yang ulet akan tumbuh, dan bagi siapa yamg telaten bakal panen. Tiga konsep hidup sederhana itu telah diuji oleh Pak Tholib sendiri yang puluhan tahun bertahan sebagai pemilik warung kopi. Bincang senja sembari bermain catur.
Di sisi lain, secara letak geografis warung tersebut tidak begitu strategis, namun siapa sangka bahwa kampus yang dulunya kecil menjadi sebesar hari ini, dari perjalanan STIT, STAI, IAI, sampai Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (sekarang) menjadi peluang emas, yang tidak akan ada habisnya sampai melampui batas.
Dengan jumlah populasi mahasiswa-mahasiswi melambung tinggi setiap tahunnya sangat menunjang pendapatan matapencaharian.
Mungkin hanya itu yang bisa saya catatkan, hanya sebagai tulisan liar yang saya jamin tidak menular ke siapa pun.