Jika sibuk sebuah keniscayaan, kita masih bisa menulis di sela jeda kesibukan.
Sibuk penghalang menulis. Pernyataan ini, meski remeh, tapi menarik untuk dikaji. Tujuannya, walau dihujani berbagai kesibukan, aktivitas menulis tetap dilakukan. Perilaku menulis tidak ditinggalkan karena alasan “sibuk” yang menjadi alibi.
Kata sibuk dalam KBBI online memiliki makna banyak yang dikerjakan. Bisa juga diartikan penuh dengan kegiatan. Jika demikian, kita dikatakan sibuk bila banyak hal yang dikerjakan. Atau bisa disimpulkan, bila hari-hari kita penuh dengan selesai-sambung agenda kegiatan.
Faktor “sibuk” bila kemudian dihubungkan dengan “menulis”, akan melahirkan tesis tidak produktif menulis. Kita yang menjadi penulis, menjadi tidak produktif melahirkan tulisan oleh sebab kesibukan. Jika demikian, “sibuk” sering diartikan negatif dan menjadi kambing hitam unproduktif.
Wujudnya, sehari saja ingin menghasilkan tulisan kedahuluan tubuh rebah duluan. Pikiran yang capek karena pekerjaan, gantinya berlama-lama asyik medsos dan internetan.
Agar tetap produktif menulis di tengah kesibukan, memang bukan perkara mudah. Juga bukan pula perkara yang sulit diwujudkan. Karena menulis, bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun.
Terlebih menulis era kekinian, selain memiliki sarana canggih juga mudah disimpan melalui telepon pintar tanpa perlu ribet-ribet membawa bolpoin-kertas sebagaimana cara tradisional.
Pertanyaannya, lalu bagaimana agar tetap produktif menulis meski sibuk? Bagi penulis, hal itu bisa diselesaikan melalui hal berikut:
Pertama, mencicil menulis. Dalam pelatihan menulis artikel baik kepada guru, mahasiswa, dan santri, penulis selalu menekankan bila menelurkan karya tulis itu tidak bisa langsung rampung. Bim salabim seketika jadi.
Melainkan, butuh proses untuk menyusun kata demi kata. Baris demi baris. Paragraf demi paragraf yang akhirnya menjadi karya tulis.
Proses di atas penulis namakan sebagai mencicil menulis.
Atau perilaku penuangan tulisan yang dilakukan sedikit demi sedikit untuk menuntaskan ide tulisan secara konsisten setiap hari kala ada waktu senggang. Sebagai misal, kala menunggu tamu bagi yang profesinya di kantor. Mencicil menulis sangat bisa dilakukan.
Bagi yang masih mahasiswa, kala menunggu teman untuk janjian menyelesaikan tugas makalah, meneruskan ide tulisan juga dapat dilakukan.
Pada porsi ini mencicil tulisan bisa dimaknai sebagai cara bijak untuk tetap melahirkan karya tulis di tengah kesibukan.
Mencicil tulisan secara filosofis bermakna menabung paragraf demi paragraf hingga selesai tulisan menjadi karya tulis. Alhasil, tidak terasa karya tulis yang diimpikan telah finish untuk kemudian diedit dan siap dikirim ke media.
Hanya saja perilaku seperti itu jarang dilakukan. Jamak dari kita masih demen dengan sistem kebut semalam (SKS). Atau menunggu mood yang dimaknai sebagai suasana hati atau keadaan hati kita dalam kurun waktu tertentu kembali stabil.
Bahkan ada yang sampai terlalu dini menyalahkan kesibukan sebagai biang keladi stagnasi melahirkan tulisan. Jika demikian, sibuk apakah masih dijadikan alasan menulis?
Kedua, manajemen waktu menulis. Manajemen yang penulis maksud adalah memberi peluang aktivitas menulis (selesai bekerja) dengan mengistirahatkan badan terlebih dahulu. Artinya, perilaku menulis tetap menjadi agenda rutin keseharian pasca rasa capek, pegal-pegal pada tubuh hilang setelah diistirahatkan.
Jika demikian, manajeman waktu ini lebih tepatnya memberi porsi waktu kebiasaan menulis keseharian berjalan konsisten. Kesibukan tidak menjadi penghalang untuk menelurkan karya tulis.
Karena prinsip yang dipegang semakin perilaku menulis teragendakan, karya tulis akan cepat selesai. Hal ini sebagaimana kata mutiara Bahasa Arab yang mengatakan “man saro ‘alad darbi washola”.
Artinya, siapa yang berjalan pada jalannya, maka ia akan sampai.
Ketiga, memosisikan menulis sebagai ibadah. Hal ini selaras dengan pendapat OSolihin yang dikutip Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D. (2015:33), bila menulis dijadikan sebagai bagian dari ibadah, spirit kegiatan itu akan tetap mendorong tetap dilakukan aktivitas itu.
Bila kita memosisikan menulis sebagai ibadah kepada Allah Swt, lalu kemudian karena “sibuk” menulis tidak dijalankan, sama artinya kita tidak beribadah kepada-Nya.
Oleh karena itu, solusi kecil penulis di atas adalah bagian dari upaya agar kita konsisten menulis.
Kita tidak prematur mengambinghitamkan faktor lain sebagai penghambat kebiasaan kreatif kita. Apalagi, hanya berpangku tangan tidak mencarikan solusinya.
Sesibuk apapun kegiatan atau pekerjaan yang kita jalankan, pasti ada jeda waktu. Saat jeda waktu itulah, aktivitas menulis tetap bisa kita lakukan. Salam menulis!
Penulis adalah Dosen Prodi PAI UNUGIRI, Pengurus PAC ISNU Kecamatan Balen dan Pengurus IKAMI Attanwir Cabang Bojonegoro.