Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Mengkarantina Kecemasan dengan Sikap Pasrah

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
14/04/2020
in Cecurhatan
Mengkarantina Kecemasan dengan Sikap Pasrah
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Jika kecemasan personal saja sudah bisa amat mematikan, lalu apa yang terjadi saat rasa cemas kolektif berkerumun dan membuat keributan?

Seorang lelaki jatuh di sebuah sumur yang kosong. Tentu saja dia gelagapan dan bingung dan ketakutan. Dia sudah berteriak minta bantuan, tapi tak ada satupun orang mendengar teriakannya yang kian lama kian mengecil itu.

Tiba-tiba sebuah rombongan haji melintasi sumur tersebut. Dia sempat lega. Tapi sial, di antara rombongan itu ada yang berkata, “alangkah baiknya kita tutup lubang ini, agar tak ada orang yang terjatuh.”

Lelaki yang jatuh dalam sumur itu langsung ketakutan. Tapi, dia bergegas berkata dalam hati, “apabila engkau orang yang pasrah (wahai nafsu), maka diamlah”. Dia pun diam tak berkata-kata, sementara rombongan haji itu melanjutkan perjalanan.

Tentu saja sumur yang ditempatinya kian gelap gulita dan pengap. Dadanya pun langsung serasa menyempit sesak. Di tengah kegelapan itu, dia melihat dua cahaya lampu yang tiba-tiba menyala.

Tak dinyana, dua cahaya lampu itu ternyata mata ular besar yang pelan-pelan mendekatinya. Dia tambah kemejer ketakutan. Mau pingsan tapi tak bisa pingsan. Sewaktu ular itu mendekat, dia sudah merasa hidupnya akan berakhir.

Sekali lagi, dalam kondisi ketakutan, lelaki itu menyempatkan diri berkata dalam hati, “Dalam kondisi ini, aku akan mengetahuimu (wahai nafsu), apakah kau benar-benar pasrah atau bohong.”

Tak disangka, ular besar itu bergerak ke atas melintasi tubuhnya. Lalu, mengikatkan ekor besarnya ke kaki dan leher lelaki yang ketakutan itu. Dan ular itu mengangkat tubuh lelaki itu, lalu mengeluarkannya dari kedalaman sumur.

Sesaat setelah lelaki itu berada di permukaan sumur, dia mendengar suara yang tak diketahui darimana asalnya, “Ini adalah kelemahlembutan Tuhanmu, karena Tuhanmu telah menyelamatkanmu dari musuhmu (sumur) dengan musuhmu (ular)”.

Lelaki itu bernama Thariq As Shadiq. Dijuluki As Shadiq karena dia jujur dan pasrah pada Tuhan. Kisah itu termaktub dalam buku Mutiara Indah yang disusun KH. Djamaluddin Ahmad yang merupakan syarh dari kitab monumental Al Hikam.

Dalam kisah tersebut, kecemasan selalu menggendong nafsu di dalamnya. Dan satu hal yang fokus dilawan Thariq adalah nafsu. Sebab nafsu selalu ngipas-ngipasi ketakutan. Saat dominasi nafsu ditekan, Thariq bisa menemukan momen lega.

Sosok Thariq adalah kita semua hari ini. Sumur kosong adalah pandemi. Dan ular raksasa mematikan itu, bisa jadi, adalah nafsu yang ngipas-ngipasi kecemasan melalui bermacam informasi yang kita makan sehari-hari.

Kondisi yang dialami Thariq dalam kisah itu adalah rasa cemas akan masa depan akibat dampak pandemi. Hampir semuanya, sedang merasa takut dan cemas atas apa yang sedang terjadi. Lebih dari kecemasan akan wabah, tapi juga dampak ekonomi.

Keberadaan wabah, kita tahu, mengubah konsep bisnis. Memicu harus diminimalisirnya kerumunan. Sementara, hidup dan kebutuhan ekonomi membutuhkan kerumunan untuk memutar dinamikanya. Dari sanalah, rasa terancaman itu hadir.

Sialnya, rasa terancam akan keberlanjutan masa depan itu kian membesar justru akibat kita terlalu membiarkan nafsu berkuasa: entah nafsu keminter. Nafsu berbicara. Atau nafsu mencari perhatian.

Padahal jika mau jujur, sifat keminter, keinginan banyak berbicara dan mencari perhatian adalah bentuk kecemasan kita sendiri, yang kita bentur-benturkan pada kecemasan orang lain. Hanya, kita malu mengakuinya.

Sebagai Thariq dalam dunia nyata, kita sering lupa keberadaan nafsu yang ngipas-ngipasi kecemasan. Ia kita biarkan mendominasi diri. Sehingga membuat kecemasan personal berubah menjadi rasa cemas kolektif yang kontra solusi.

Nabs, jika kecemasan personal saja sudah bisa amat mematikan, lalu apa yang terjadi jika rasa cemas kolektif berkerumun dan membuat keributan?

Ya, mungkin satu-satunya cara adalah melakukan apa yang dilakukan Thariq. Yakni, menenggelamkan nafsu masing-masing dengan tak banyak menebar informasi apapun. Cukup patuh pada anjuran pemerintah dan para ahli.

Kita sudah tak perlu lagi ikut-ikutan sok pintar menebar informasi. Karena sesungguhnya, yang kita tebar adalah nafsu kecemasan kita sendiri. Mari kita karantina kecemasan dengan ikhtiar dan rasa pasrah serupa apa yang dilakukan Thariq dalam kisah di atas.

Tags: Covid-19KecemasanPandemi

BERITA MENARIK LAINNYA

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan
Cecurhatan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah
Cecurhatan

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless
Cecurhatan

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022

REKOMENDASI

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

20/05/2022
Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

18/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved