Aku yakin banyak orang sepertiku: merasa kenal dan dekat dengan Sapardi Djoko Damono (SDD) melalui karya-karya sajaknya. Karya-karya SDD menjadi tema hidup, meski terpisah usia yang jauh.
Kira-kira tahun 2005, aku mengetahui dua sajak karya SDD. Yakni Aku Ingin dan Dalam Doaku. Langsung suka dan jatuh hati. Kira-kira di tahun 2005. Kedua sajak itu ditulis tahun 1989, usiaku saat itu barulah dua tahun. Cinta dan remaja.
Bertumbuh bersama dan saling menghiasi. Menjadikannya tampak semarak. Remaja berubah bak filosof yang belajar mendefinisikan apa itu cinta. Tak terkecuali buatku.
Cinta dalam sajak Aku Ingin terasa lain. Mencintai dengan Sederhana tampak berada dalam dimensi lain pemaknaan cinta ala remaja: dekat, sayang, cemburu, dan sebagainya.
Aku ingin mencintai dengan sederhana. Bukan cinta yang sebatas pada cinta jiwa, cinta hati, maupun cinta nafsu. Mencintai dengan sederhana adalah cinta untuk memberi, selalu hadir, dan berorientasi kepada suatu misi. Meski untuk bisa demikian, harus mengorbankan banyak hal. Termasuk raga. Cinta asketis.
Mencintai dengan sederhana. Yang sejatinya tidaklah sederhana. Sebagaimana para bijak mengingatkan: kesederhanaan adalah kebajikan tertinggi.
Mencintai dengan sederhana yang berorientasi untuk selalu memberi, hadir, dan berkorban tidaklah mudah. Adakah cinta asketis yang demikian tidak sederhana ini?
Cinta yang demikian ini tidaklah terpenjara hanya cinta kepada lawan jenis. Namun cinta kepada semesta: Hadirnya manusia untuk menebar cinta kepada sesama. Begitu juga sajak Dalam Doaku.
Predikat cinta tidak melulu yang terucapkan dengan lisan. Cinta yang tulus dan sakral justru tampak dalam penggalan sajak SDD: Mendoakan keselamatan orang yang dicintai tanpa lelah.
Seorang ibu yang dalam hening malam mendoakan kesuksesan dan keselamatan putra-putrinya. Seorang bapak yang setiap pagi berdoa melangkah dari rumah untuk menjemput nafkah. Atau pun sebaliknya. Dan banyak contoh lainnya.
Adalah wujud mencintai yang tulus meski tidak tampak di lisan. Sajak Terbangnya Burung (1994) pernah direkomendasikan seorang kawan kepadaku untuk dibaca.
Ada penggalan kata yang melekat di ingatanku: “bahasa batu” dan “usai sebelum dimulai”. Diam, tidak berani mengungkapkan, dan khawatir mendapat penolakan adalah sebab sebuah kisah berakhir bahkan belum sempat dimulai.
Habis diam, terbitlah mantan. Oh, mantan? Yap. Sajak-sajak itu dibuat puluhan tahun lalu, namun masih sangat aktual buat generasiku. Benar sekali petikan sajak ini: Yang fana adalah waktu, karya-karya SDD abadi. Selamat jalan dan terima kasih!