Agroekologi merupakan perpaduan antara disiplin ilmu, teknologi-praktik, serta gerakan sosial. Sarang-sarang (basis) agroekologi sangat penting diciptakan, sebagai pusat budaya dan keanekaragaman hayati.
Kaidah agroekologi merupakan keilmuan penting dalam membangun peradaban manusia yang pro-lingkungan. Keilmuan agroekologi — baik berupa akar pengetahuan, sumber referensi, teknik metodologi, serta contoh penerapannya — menjadi materi dalam kurikulum program Studi Luar Kampus untuk Pandu Perubahan (Suluk Pandan).
Dalam paparan ilmiah berjudul Sarang-sarang Agroekologi: Pusat Keanekaragaman Hayati dan Budaya (2024), pengajar utama Suluk Pandan, Noer Fauzi Rachman PhD menjelaskan bagaimana akar keilmuan, metode penerapan, serta urgensi membangun sarang-sarang agroekologi bagi keberlanjutan pangan, pelestarian lingkungan, hingga penyelamatan lokalitas kebudayaan.
Akar Keilmuan Agroekologi
Konsep Agroekologi pertama kali digunakan seorang ilmuan Rusia, Basil M. Bensin (1928) sebagai penerapan ilmu ekologi-pertanian. Belakangan, ahli ekologi Jerman, Wolfgang Tischler (1965), membuat kemajuan pada konsep tersebut, dan menjadi orang pertama menulis buku berjudul “Agroekologi” pada 1965 silam. Tischler menggunakan istilah agroekologi dalam cakupan ekologi dan agronomi (ilmu pertanian).
Agroekologi mengacu pada tiga ranah: Ilmu pengetahuan, teknologi-praktek, dan gerakan sosial. Ketiganya fokus pada keseluruhan sistem pangan; mulai dari proses benih hingga ke meja sajian. Seorang Ahli agroekologi harus memiliki spirit sebagai akademisi, praktisi, dan penggerak transformasi perubahan sosial-ekologis.
Dalam paparan itu, Rachman menyebut ada cukup banyak literatur tentang Agroekologi, di antaranya; Wolfgang Tischler (Agrarokologi, 1965); Stephen R. Gliessman (Agroecology: The Sustainable of Food System, 2017); Vandana Shiva (Who Feeds the World?, 2015); Paul Wojkowski (Agroecology: Simplified and Explained, 2019), hingga Peter Rosset & Miguel Altieri (Agroecology, Sience and Politic, 2021).
Mayoritas praktisi dan ahli agroekologi, menurut Rachman, menolak pandangan pertanian monokultur, yang menjadi musuh agroekologi. Monokultur adalah wajah dari perkebunan, pertanian industrial, hingga pertanian konvensional. Dalam sistem monokultur, hasil panen ditingkatkan oleh varietas bibit unggul yang didukung transgenik penggunaan bahan kimia pertanian.
Rachman menyebut, agroekologi identik polikultur dengan heterogenitas tanaman. Lebih jauh ia menegaskan, agroekologi adalah penjelajahan ide, prinsip, praktik, teori, dan pendekatan dalam mempromosikan keanekaragaman hayati dan manifestasinya, serta pemanfaatan bio-interaksi yang disediakan oleh alam, dengan cara menandingi pertanian monokultur.
Induk Inovasi Pertanian
Praktek-praktek agroekologi membentuk berbagai aliran pemikiran. Masing-masing dapat memiliki kecenderungan filosofis atau politis, dan memiliki andalan model empiris yang dipraktekan. Model permakultur, pertanian organik, agroforestry, hingga perkarangan, adalah contoh-contoh paling menonjol dari praktek agroekologi.
Konsep-konsep Agroekologi, menurut Rachman, tak hanya menginspirasi model praktis. Tapi juga menginspirasi metodologi (pendekatan) kegiatan penelitian. Di antaranya pendekatan Sustainable Livelihood Approach (SLA) dan pendekatan Participatory Action Research (PAR).
Terdapat 10 unsur agroekologi yang saling berkait; (1) keberagaman, (2) sinergi, (3) efisiensi, (4) ketangguhan, (5) mendaur ulang, (6) kreasi bersama dan berbagi pengetahuan, (7) nilai-nilai kemanusiaan dan sosial, (8) tradisi budaya dan makanan, (9) tata kelola yang bertanggung jawab, dan (10) ekonomi sirkular dan solidaritas.
Agroekologi telah matang sebagai ilmu, diakui sebagai praktik penting, dan selaras gerakan sosial untuk perubahan. Secara umum, agroekologi bertujuan melestarikan dan melindungi sumber daya alam, menjamin keamanan pangan, mewujudkan keadilan pangan, dan menciptakan peluang bagi generasi saat ini dan mendatang, untuk menikmati kesehatan dan kehidupan yang memuasкаn.
Pusat Budaya Lokal
Agroekologi didasarkan pada proses bottom-up dan teritorial, bukan didasarkan pada proses top-down dan general. Sehingga, agroekologi berfungsi memberi solusi kontekstual terhadap permasalahan lokal, dengan masyarakat setempat sebagai subjek pelaku, bukan objek penderita.
Intervensi program yang selama ini dijalankan, mayoritas mengusung model top-down secara general. Sehingga, satu model program dari pemerintah, digunakan untuk berbagai wilayah dengan karakteristik berbeda. Model semacam ini, selain tak kontekstual pada sebuah tempat, juga berpotensi menghilangkan tradisi-budaya lokal di tempat itu.
Agroekologi mampu menjadi solusi intervensi program. Sebab, dijalankan secara teritorial, berbasis konteks lokal. Agroekologi juga menempatkan nilai-nilai tradisi budaya lokal sebagai subjek arah perubahan. Sehingga, mampu mengamankan sekaligus meminimalisir hilangnya tradisi budaya.
Agroekologi mewakili kerangka sistem menyeluruh dan komprehensif untuk memandu kebijakan publik menuju sistem pertanian-pangan berkelanjutan. Transisi agroekologi dapat mendukung pencapaian berbagai tujuan keberlanjutan ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, hingga kebudayaan — secara holistik dan terpadu, pada tingkat dan skala yang berbeda-beda, sekaligus diadaptasi untuk konteks lingkungan dan kebudayaan yang berbeda-beda pula.
Membangun Sarang Agroekologi
Sarang (basis atau tempat) agroekologi, memang tidak mungkin ada dengan sendirinya. Tapu harus dibuat dan ekosistemnya diciptakan. Sarang-sarang agroekeologi, sudah sepatutnya diciptakan di tiap-tiap titik wilayah. Sarang agroekologi mampu menjadi benteng yang mampu menjaga keseimbangan sosial-ekologis.
Keistimewaan sarang-sarang agroekologi, menurut Rachman, adalah perannya sebagai pusat ketahanan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya. Agroekologi, menurut dia, merupakan pertanian cinta kasih pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Rachman menegaskan: melindungi dan menguatkan ekosistem bumi, merupakan sistem holistik yang tak terpisah dan saling terkait.
**
Tulisan ini bagian dari sedimentasi pembelajaran dalam Studi Luar Kampus untuk Pandu Perubahan (Suluk Pandan) yang dibina Noer Fauzi Rachman, PhD dari Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung.