Semerbak kayu putih mengganggu penciuman. Gelap perlahan diterobos celah cahaya. Netraku berat membuka. Sayup-sayup terdengar jangkrik mengerik. Kodok menyanyi.
Langit ruangan dari alang-alang memenuhi penglihatan. Tembok rumah terbuat dari bambu yang dianyam. Kepalaku sedikit pusing tak tahu keadaan. Dimana aku?
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ndhuk.”
Aku menoleh arah suara. Wanita paruh baya duduk di tepi tempatku terbaring tak berdaya.
“Saya dimana?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Kamu ditemukan anak Mbok hanyut di Bengawan. Lantas dibawa pulang karena tidak ada yang menyelamatkan.”
Sekelebat bayang terlintas di pikiran. Peristiwa hanyutnya sandal hingga aku tenggelam. Lalu, para sepupuku dimana? Mereka tak mencari? Nana, Rahma, Rehan, Wildan, mereka mengacuhkan? Aih, dasar.
“Bolehkah saya diantar pulang?” Tanyaku ragu.
“Hari sudah malam. Insya Allah besok kamu aku antar pulang,” sahut seseorang memberikan jawaban.
Aku menoleh. Lelaki dengan tubuh tegap dan tinggi berdiri di samping ranjang. Dengan hidangan di nampan hitam.
“Makanlah dulu, Ndhuk,” pinta Mbok tua itu.
Sejurus kemudian dia menyuapiku. Sepiring nasi dengan lauk tempe dengan cepat masuk ke dalam mulutku. Berperang dengan lapar. Lantas menang menjadi kenyang. Aku tidak protes. Beberapa tetes air kendi kuteguk perlahan. Tak peduli higenis maupun tidak. Aku sudah tak kuasa.
“Mari saya antar salat. Kamu bisa mengodho’ salat magrib. Karena sekarang sudah jam sembilan,” ucap lelaki muda itu.
“Sepertinya aku tak kuasa berjalan. Biar lah aku tidak salat.”
“Bagaimana pun keadaan seorang hamba, ia harus tetap melaksanakan kewajiban meski hanya mampu dengan isyarat,” tuturnya.
“Aku sungguh tidak kuat,” jelasku.
“Si Mbok akan menuntunmu, kamu bisa salat dengan duduk.”
Dengan terpaksa aku bilang iya. Dipinjaminya aku sandal yang warnanya sudah kecokelatan. Lantai rumah ini dari tanah. Asli tanpa ada keramik, marmer atau semacamnya.
Aku menerobos dinginnya air gentong dari tanah. Menyucikan diriku dengan wudu yang sebelumnya jarang kuperbuat.
Aku didudukkan di atas tikar dari anyaman bambu. Dengan sajadah di bawahku. Dan mukena sempurna melekat ditubuhku, yang sebelumnya bajuku telah kuganti dengan jubah putih lusuh milik Si Mbok waktu muda. Pas untuk ukuranku yang menginjak usia sembilan belas tahun.
Malam itu aku benar-benar menyumpahi empat sepupuku. Bagaimana bisa mereka tidak mencariku?
Aku tidur di bangku dengan tikar dari anyaman bambu dengan Si Mbok. Sedang lelaki itu tidur di kamar sebelah ruangan ini. Di sini tidak ada TV, hanya ada radio tua di pojok ruang tamu.
“Ndhuk ini siapa namanya?” Tanya Si Mbok yang terbaring di sampingku.
“Aisyah, Mbok.”
“Ndhuk ini rumahnya mana?” tanyanya lagi.
“Wonokromo, Surabaya.”
“Jauh sekali. Ke sini untuk apa?”
“Sekedar liburan dengan para sepupu. Aku suka Sungai Bengawan Solo.”
Hening. Hanya suara jangkrik dan kodok serta nyamuk yang terbang ke sana ke mari yang menghiasi gendang telinga.
“Mbok, ini dimana?”
“Ini Desa Kali Rejo, Bojonegoro.”
Bojonegoro? Astaga. Mengapa aku harus hanyut sejauh ini. Penginapanku berada di desa terpencil dekat bengawan tapi masih ikut Kabupaten Tuban. Mojo Agung namanya. Desa yang juga dilintasi Sungai Bengawan Solo. Dan sekarang, aku semakin terpencil. Di Bojonegoro.
“Memangnya, Ndhuk ini sekarang tinggal di mana?”
“Di penginapan Bambu Kuning, Mbok. Desa Mojo Agung.”
“Mengapa bisa hanyut di bengawan?”
Kuceritakan semuanya. Bahwa sore tadi aku dengan empat sepupuku akan menyusuri bengawan dengan perahu. Sebelum perahu siap aku memutuskan untuk jalan-jalan di tepi bengawan. Tak ada yang ikut. Aku sendirian. Mereka sibuk berfoto selvie dengan panorama alam dekat bengawan.
Aku mencebur di tepian. Sekedar merasakan dinginnya air bengawan. Tak sengaja sandalku lepas dan hanyut. Kuraih tapi tak bisa. Semakin ke tengah semakin aku menengah. Dan… Aku terpeleset. Akhirnya tenggelam sebab aku tak bisa berenang. Semua tiba-tiba saja terlihat remang-remang. Beberapa kali aku meneguk air itu. Lantas tak sadarkan diri.
“Mbok juga kaget. Melihat Jaka membopong perempuan pulang saat masuk waktu magrib. Katanya tubuhmu hanyut di pinggiran,” cerita Si Mbok.
Ah, Tuhan masih sayang. Kuucapkan beribu terima kasih dan berjanji dalam hati untuk mengganti semua kebaikan ini setelah aku pulang ke penginapan.
*****
“Ini pakailah! Sebelum kita berangkat.”
Jaka menyodorkan jilbab merah padaku.
“Panas. Aku tak biasa menggunakan jilbab,” tolakku.
“Panas mana sama di Neraka.”
Aku terenyak mendengarnya. Memang benar. Islam mengajarkan perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Tapi aku belum siap. Toh, semua juga ada waktunya. Aku masih ingin menikmati masa remajaku. Dengan rambut yang sesuka hati bisa aku ubah.
“Pakailah!”
Dengan cemberut aku memakainya.
“Kamu terlihat semakin cantik dengan jilbab itu.”
Benarkah? Ah, tidak ada kaca di sini. Pantaskah wajahku yang bundar ini mengenakan jilbab? Entahlah.
Kami berpamitan kepada Si Mbok. Lantas berangkat ke belakang rumah. Kami menaiki perahu. Menyeberangi Sungai Bengawan Solo. Kebetulan belakang rumah ini langsung bengawan.
“Oh ya, kita belum kenalan. Aku Aisyah, kamu?” tanyaku meski aku sudah tahu namanya dari Si Mbok.
“Aku Jaka,” ucapnya seraya menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Menolak uluran tanganku.
“Maaf, Islam melarang untuk bersentuhan dengan yang bukan mahram.”
Aku hanya diam. Menarik kembali uluran tangan. Mesin dinyalakan. Perlahan perahu mulai bergerak ke seberang lantas ke selatan. Kujatuhkan kakiku ke dalam air. Sejuk.
“Hati-hati, banyak buaya.”
“Iyakah?”
Kakiku langsung kuangkat. Kaget. Takut.
“Ha ha ha, tidak. Aku hanya bercanda.”
Aku meliriknya. Aish, dasar.
“Kamu suka sama bengawan ini? Kata Si Mbok begitu,” tanyanya.
“Yupz. Aku sangat suka. Bengawan ini begitu tenang. Pemandangan di pinggirnya begitu indah. Hijau kemilau. Masih asri. Dulu aku sering ke sini dengan papa dan mama. Naik perahu bersama. Atau sekedar jalan-jalan di pinggiran. Tapi sekarang kami jarang ke sini.”
“Mengapa?”
“Dulu kami masih tinggal di Tuban Kota. Setidaknya meski jauh masih satu daerah. Sekarang kami sudah pindah. Lagi pula mereka terlalu sibuk. Ini saja aku dengan para sepupu. Itu pun baru bisa terjadi setelah empat tahun aku menanti.”
“Aku juga sangat suka dengan bengawan. Bahkan aku lebih suka lautan. Ingin menjadi pelaut. Ingin tinggal di dekat laut. Dan semua yang berhubungan dengan laut,” ceritanya.
“Tidak takut tenggelam?”
“Para nelayan akan memahami ilmu perbintangan. Kapan akan laut akan tenang dan kapan laut akan merintih kesakitan. Para nelayan juga orang-orang hebat. Nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Mereka melaut hingga belahan dunia. Menguasai berbagai bahasa untuk berniaga. Itulah mengapa aku ingin seperti mereka. Tapi kebanyakan orang menganggap sepele para nelayan. Orang-orang itu belum tentu menguasai berbagai bahasa seperti nenek moyang. Orang-orang itu merasa paling hebat sebab hidup di era milenial. Padahal buyut mereka jauh lebih hebat.”
Aku baru menyadari bahwa nelayan begitu berarti. Cita-citanya menjulang tinggi. Ingin berteman dengan batu karang dan desiran ombak lautan.
“Lalu mengapa kau selalu membawa buku dan pensil di dalam tasmu? Bukan membawa umpan untuk mancing?” Tanyaku ketika melihat isi tas kecil cokelatnya.
“Aku tak perlu umpan untuk mendapatkan ikan. Aku hanya perlu berenang dan menangkap ikan dengan tangan. Aku suka melukis pemandangan.”
“Benarkah? Boleh aku lihat?”
Sebelum dia menjawab, tas itu telah kusambar. Dan kata silahkan terdengar darinya pelan.
Gambar perahu dengan satu nelayan. Gambar Sungai Bengawan Solo yang begitu tenang. Gambar perbukitan yang kehijauan. Gambar senja di ujung bengawan. Dan… Apa? Puisi? Aku membacanya perlahan. Selembar demi selembar terbaca. Menakjubkan.
“Bait puisimu begitu apik,” komentarku.
“Terima kasih. Aku belajar dari alam apa itu sajak.”
“Maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Mungkin yang kami tahu puisi adalah bait-bait indah. Salah. Puisi itu semesta. Jagad raya. Bait itu adalah alam. Sajak itu seluruh dunia. Bahkan seluruh angkasa. Semua adalah puisi. Sebab yang puisi adalah keindahan. Dan semua yang diciptakan Tuhan adalah keindahan.”
Aku menatapnya lekat. Wajahnya teduh. Matanya bulat. Rambutnya hitam pekat. Alisnya agak cokelat. Senyumnya… Ah, entahlah. Mungkin itu juga termasuk puisi.
Perahu berhenti.
“Sudah sampaikah?”
“Belum.”
“Lalu kenapa berhenti?”
Tak ada jawaban. Dia meraih buku dan pensil. Menghadap ke samping dan dua angsa yang berkasih dipotretnya dengan gambar. Aku diam memperhatikan. Beberapa bait puisi terukir di samping dan bawah gambar angsa. Lantas perahu kembli berlayar. Sedang aku? Menikmati hasil karya tangannya.
*****
Seminggu sudah aku di sini. Menikmati alam yang kata Jaka adalah puisi. Beberapa lembarku telah terisi. Ya, aku penyuka puisi. Sore itu di tepian sungai aku duduk menyendiri. Awalnya Nana ingin menemani. Sekedar mencegah hal sama terulang kembali. Tapi aku menolaknya. Akan sulit merangkai kata jika dia terus mengajak bicara.
Ternyata mereka semua, sepupuku, mencari dengan semua warga desa. Aku saja yang sering berburuk sangka.
Air gemercik karena gerakan kakiku. Sedang sajak puisi merdu tertulis di kertasku.
“Assalamu’alaikum.”
Jaka tiba-tiba ada di depanku. Dengan perahu yang dipenuhi ikan. Dengan gugup aku menjawab salam. Sangkar diturunkan lantas aku naik ke perahu.
“Oh ya, aku lupa enggak bawa uang. Tunggu ya aku ambilkan untuk ganti rugi saat menolongku.”
Aku berdiri tapi dicegah untuk beranjak. Katanya tak usah. Dia ikhlas.
“Kamu ternyata juga suka puisi,” ucapnya.
“Tapi kamu lebih hebat dalam merangkai diksi.”
“Padi semakin berisi semakin menunduk ya.”
Aku menyiratinya dengan air bengawan. Dia terkekeh. Lantas membalas.
“Benarkan perkataanku?” protesnya yang terus menyiratiku.
“Iya benar. Tapi kan kurang tempat untukku.”
Dia tersenyum lagi. Mungkin senyum itu termasuk puisi.
“Si Mbok menanyakanmu. Katanya rindu. Padalah baru sekali bertemu. Katanya Si Mbok, kamu mirip adikku yang meninggal tujuh tahun lalu,” terangnya.
“Benarkah? Berarti adik kamu termasuk puisi dong? Kan mirip aku. Sesuatu yang indah kan puisi.”
“Ha ha ha, terlalu pede kamu. Itukan kata Si Mbok. Bukan kataku.”
Kami tertawa. Entah mengapa aku begitu bahagia. Kuputuskan sore itu untuk pergi menemui Si Mbok. Aku kirim SMS pada Wildan.
“Kamu tahu? Di setiap suara air yang mengalir, ada puisi. Di setiap tetes yang tersirat ada puisi. Di setiap arus juga ada puisi. Di setiap pasang maupun surut juga ada puisi. Di sepanjang Bengawan Solo ada puisi. Bahkan kata semesta di depanku ada puisi.”
Di depanku ada puisi? Aku kah itu? Tak mungkinlah. Diakan begitu menjaga syariat. Mungkin yang dia maksud adalah pemandangan sekitar bengawan. Dasar, aku. Mengapa punya pikiran seperti itu.
“Kamu tahu? Ada inspirasi di setiap lekuk senyum bidadari.”
“Kamu itu lagi bercerita atau berpuisi, sih?” kataku geram.
“Bercerita dengan puisi. Karena yang mendengarkanku lebih dari sekedar puisi.”
“Maksudmu?”
“Ya, kamu. Puisinya puisi.”
“Apaan sih Jak?”
“Enggak kok bercanda. Yang kumaksud itu ikan. Ha ha ha.”
“Ih, dasar.”
Kami sampai di belakang rumah Jaka. Dengan hati-hati aku turun membawa buku dan pulpenku. Lantas pergi masuk rumah tanpa menunggu Jaka. Senyum semringah tergambar di wajah Si Mbok. Ini adalah puisi.
“Ndhuk, Si Mbok kangen.”
Tiba-tiba Si Mbok memelukku erat. Begitu erat. Aku turut larut. Lantas ikan hasil tangkapan Jaka kami bakar bersama. Dengan bumbu kecap karya Si Mbok. Disajikan di atas daun pisang dengan nasi yang masih mengepulkan asap. Lantas kami salat magrib berjamaah.
Mereka berdua mengaji. Sedang aku terpaku terdiam.
“Sini, Ndhuk. Mengaji sama Si Mbok,” ajak Si Mbok.
Aku mendekat. Mencoba mengingat apa saja yang harus diperhatikan membaca Quran. Sebab aku telah lama tak menyentuhnya.
“Jangan bilang kamu belum bisa mengaji,” kata Jaka.
“He he he bisa kok. Tapi agak lupa gimana cara-cara bacanya.”
Jaka menepuk jidat lantas melanjutkan membaca Yasin. Sama halnya dengan Si Mbok. Aku hanya mendengarkan. Usai itu Si Mbok pamit ke belakang dan aku diajari Jaka mengaji. Mengapa aku begitu menyukai keluarga ini?
“Jangan pernah kamu menjauh dari Tuhan. Bacalah selalu firman-Nya. Jangan sampai salat terlupa. Karena itu adalah sejatinya cinta dalam puisi.”
“Iya, terima kasih banyak ya. Karena ketemu kamu sama Si Mbok aku semakin tahu apa itu puisi. Oh ya, dua hari lagi aku kembali ke Wonokromo. Tapi aku akan sering berkunjung kok. Janji.”
Tiba-tiba saja aku mengucap janji. Entah kenapa, aku ingin terus kembali ke rumah ini. Dia tiba-tiba pergi. Marakah? Tapi apa alasannya. Aku hanya terdiam. Menatap kitab suci yang baru saja aku kaji.
“Ini terimalah. Ini juga puisi. Jangan lupa salat.”
Tiba-tiba Jaka datang dan menyodorkan kayu yang dipotong bundar-bundar kecil lantas disatukan dengan benang. Ya, tasbih. Tiba-tiba saja netraku berair.
Setelah isya’, aku diantarkan Jaka pulang ke penginapan. Inilah kali pertama aku naik perahu tengah malam. Bintang gemerlap bertabur di awan sana. Sinar purnama memantul ke air. Semua adalah puisi.
*****
Nanti sore aku kembali. Kata Jaka pagi ini dia akan datang. Sekedar mengucap salam perpisahan. Aku menunggunya di pinggir bengawan. Tak lama kemudian ia datang.
“Ini pakailah. Lindungi kehormatanmu.”
Dia menyodorkan sehelai kain warna merah setelah aku naik ke perahu. Aku menatap jilbab itu lekat-lekat. Salahlah aku? Bila memakainya seban Jaka bukan karena Tuhanku?
“Pakailah selagi kamu siap. Jangan pakai karena permintaanku tapi karena perintah Tuhanmu.”
“Diam ya? Jangan bergerak aku ingin melukismu, Puisi.”
Puisi? Dia memanggilku puisi?
*****
Aku mengingkari janjiku sendiri. Satu tahun aku baru bisa datang ke Sungai Bengawan Solo. Aku disibukkan dengan tugas kuliah. Hari ini aku memutuskan untuk berjilbab. Memenuhi perintah Tuhanku. Menjaga izahku. Bukan karena Jaka tapi karena agama. Aku tak lagi bergandengan tangan dan berjabat tangan. Aku harus tahu batasan.
Aku berlari menuju Bengawan. Dengan beberapa buku bacaan untuk Jaka. Dan mukena untuk Si Mbok. Aku menyewa perahu untuk bisa ke rumah Jaka.
Mataku tak berkedip melihat puisi yang hancur. Tak tersisa. Seminggu yang lalu daerah ini kebanjiran. Banyak warga yang meninggal bahkan tak ditemukan. Rumah Si Mbok rusak.
Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam. Kosong. Gentengnya banyak yang berjatuhan. Temboknya banyak yang jebol. Tak ada yang berharga. Kutemukan dua Quran tergeletak di atas almari usang. Masih utuh. Allahu Akbar. Aku mendekapnya. Kalam Tuhan yang lebih dari segala isi dunia. Aku keluar. Mencoba mencari informasi Si Mbok dan Jaka. Tapi kampung sepi. Hanya ada beberapa penduduk desa. Mereka pun tak tahu, dimana Jaka tinggal. Masih hidup atau sudah meninggal.
Mengapa Jak? Mengapa. Di saat aku telah berubah engkau menghilang. Di saat aku datang dengan penuh harap engkau tak ada di kenyataan. Hanya khayalan belaka. Jak, kamu dimana?
“Pak, antarkan saya ke Desa Mojo Agung,” kataku pada pemilik perahu.
Aku mengawasi dengan detail jalanan menuju penginapan satu tahun lalu. Mengingat setiap arus kenangan. Setiap sajak puisi yang tercipta. Mengingat setiap kata yang terucap. Mengingat setiap senyum yang tersungging.
*****
Tatapanku kosong menatap Sungai Bengawan Solo. Empat tahun sudah. Setiap bulan aku tak pernah alfa berkunjung. Tapi Jaka tak kunjung datang. Aku tak pernah tahu jantungnya masih berdetak atau tidak, yang kutahu puisi itu masih hidup. Bahkan tumbuh dengan subur. Puisi yang tertanam saat kenangan itu tercipta. Lantas berbuah rindu kala jarak itu ada.
“Jaka, benarkah aku puisi itu? Yang katamu di lekuk senyumku ada inspirasi yang menunggu,” lirihku.
“Benar, Aisyah. Puisi itu kamu.”
Aku berbalik. Pemilik suara itu berdiri tepat di hadapanku. Dengan senyuman khas yang kusebut puisi. Hujan dari kelopak mataku turun menjadi gerimis. Dia yang kusebut puisi. Kini tengah merangkai senyum menjadi diksi. Dia adalah puisi. Dia adalah Jaka.
Tuban, Sabtu 29 Februari 2020
Anak Kali
Oleh : Mukarromatun Nisa
Semerbak kayu putih mengganggu penciuman. Gelap perlahan diterobos celah cahaya. Netraku berat membuka. Sayup-sayup terdengar jangkrik mengerik. Kodok menyanyi.
Langit ruangan dari alang-alang memenuhi penglihatan. Tembok rumah terbuat dari bambu yang dianyam. Kepalaku sedikit pusing tak tahu keadaan. Dimana aku?
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ndhuk.”
Aku menoleh arah suara. Wanita paruh baya duduk di tepi tempatku terbaring tak berdaya.
“Saya dimana?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Kamu ditemukan anak Mbok hanyut di Bengawan. Lantas dibawa pulang karena tidak ada yang menyelamatkan.”
Sekelebat bayang terlintas di pikiran. Peristiwa hanyutnya sandal hingga aku tenggelam. Lalu, para sepupuku dimana? Mereka tak mencari? Nana, Rahma, Rehan, Wildan, mereka mengacuhkan? Aih, dasar.
“Bolehkah saya diantar pulang?” Tanyaku ragu.
“Hari sudah malam. Insya Allah besok kamu aku antar pulang,” sahut seseorang memberikan jawaban.
Aku menoleh. Lelaki dengan tubuh tegap dan tinggi berdiri di samping ranjang. Dengan hidangan di nampan hitam.
“Makanlah dulu, Ndhuk,” pinta Mbok tua itu.
Sejurus kemudian dia menyuapiku. Sepiring nasi dengan lauk tempe dengan cepat masuk ke dalam mulutku. Berperang dengan lapar. Lantas menang menjadi kenyang. Aku tidak protes. Beberapa tetes air kendi kuteguk perlahan. Tak peduli higenis maupun tidak. Aku sudah tak kuasa.
“Mari saya antar salat. Kamu bisa mengodho’ salat magrib. Karena sekarang sudah jam sembilan,” ucap lelaki muda itu.
“Sepertinya aku tak kuasa berjalan. Biar lah aku tidak salat.”
“Bagaimana pun keadaan seorang hamba, ia harus tetap melaksanakan kewajiban meski hanya mampu dengan isyarat,” tuturnya.
“Aku sungguh tidak kuat,” jelasku.
“Si Mbok akan menuntunmu, kamu bisa salat dengan duduk.”
Dengan terpaksa aku bilang iya. Dipinjaminya aku sandal yang warnanya sudah kecokelatan. Lantai rumah ini dari tanah. Asli tanpa ada keramik, marmer atau semacamnya.
Aku menerobos dinginnya air gentong dari tanah. Menyucikan diriku dengan wudu yang sebelumnya jarang kuperbuat.
Aku didudukkan di atas tikar dari anyaman bambu. Dengan sajadah di bawahku. Dan mukena sempurna melekat ditubuhku, yang sebelumnya bajuku telah kuganti dengan jubah putih lusuh milik Si Mbok waktu muda. Pas untuk ukuranku yang menginjak usia sembilan belas tahun.
Malam itu aku benar-benar menyumpahi empat sepupuku. Bagaimana bisa mereka tidak mencariku?
Aku tidur di bangku dengan tikar dari anyaman bambu dengan Si Mbok. Sedang lelaki itu tidur di kamar sebelah ruangan ini. Di sini tidak ada TV, hanya ada radio tua di pojok ruang tamu.
“Ndhuk ini siapa namanya?” Tanya Si Mbok yang terbaring di sampingku.
“Aisyah, Mbok.”
“Ndhuk ini rumahnya mana?” tanyanya lagi.
“Wonokromo, Surabaya.”
“Jauh sekali. Ke sini untuk apa?”
“Sekedar liburan dengan para sepupu. Aku suka Sungai Bengawan Solo.”
Hening. Hanya suara jangkrik dan kodok serta nyamuk yang terbang ke sana ke mari yang menghiasi gendang telinga.
“Mbok, ini dimana?”
“Ini Desa Kali Rejo, Bojonegoro.”
Bojonegoro? Astaga. Mengapa aku harus hanyut sejauh ini. Penginapanku berada di desa terpencil dekat bengawan tapi masih ikut Kabupaten Tuban. Mojo Agung namanya. Desa yang juga dilintasi Sungai Bengawan Solo. Dan sekarang, aku semakin terpencil. Di Bojonegoro.
“Memangnya, Ndhuk ini sekarang tinggal di mana?”
“Di penginapan Bambu Kuning, Mbok. Desa Mojo Agung.”
“Mengapa bisa hanyut di bengawan?”
Kuceritakan semuanya. Bahwa sore tadi aku dengan empat sepupuku akan menyusuri bengawan dengan perahu. Sebelum perahu siap aku memutuskan untuk jalan-jalan di tepi bengawan. Tak ada yang ikut. Aku sendirian. Mereka sibuk berfoto selvie dengan panorama alam dekat bengawan.
Aku mencebur di tepian. Sekedar merasakan dinginnya air bengawan. Tak sengaja sandalku lepas dan hanyut. Kuraih tapi tak bisa. Semakin ke tengah semakin aku menengah. Dan… Aku terpeleset. Akhirnya tenggelam sebab aku tak bisa berenang. Semua tiba-tiba saja terlihat remang-remang. Beberapa kali aku meneguk air itu. Lantas tak sadarkan diri.
“Mbok juga kaget. Melihat Jaka membopong perempuan pulang saat masuk waktu magrib. Katanya tubuhmu hanyut di pinggiran,” cerita Si Mbok.
Ah, Tuhan masih sayang. Kuucapkan beribu terima kasih dan berjanji dalam hati untuk mengganti semua kebaikan ini setelah aku pulang ke penginapan.
*****
“Ini pakailah! Sebelum kita berangkat.”
Jaka menyodorkan jilbab merah padaku.
“Panas. Aku tak biasa menggunakan jilbab,” tolakku.
“Panas mana sama di Neraka.”
Aku terenyak mendengarnya. Memang benar. Islam mengajarkan perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Tapi aku belum siap. Toh, semua juga ada waktunya. Aku masih ingin menikmati masa remajaku. Dengan rambut yang sesuka hati bisa aku ubah.
“Pakailah!”
Dengan cemberut aku memakainya.
“Kamu terlihat semakin cantik dengan jilbab itu.”
Benarkah? Ah, tidak ada kaca di sini. Pantaskah wajahku yang bundar ini mengenakan jilbab? Entahlah.
Kami berpamitan kepada Si Mbok. Lantas berangkat ke belakang rumah. Kami menaiki perahu. Menyeberangi Sungai Bengawan Solo. Kebetulan belakang rumah ini langsung bengawan.
“Oh ya, kita belum kenalan. Aku Aisyah, kamu?” tanyaku meski aku sudah tahu namanya dari Si Mbok.
“Aku Jaka,” ucapnya seraya menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Menolak uluran tanganku.
“Maaf, Islam melarang untuk bersentuhan dengan yang bukan mahram.”
Aku hanya diam. Menarik kembali uluran tangan. Mesin dinyalakan. Perlahan perahu mulai bergerak ke seberang lantas ke selatan. Kujatuhkan kakiku ke dalam air. Sejuk.
“Hati-hati, banyak buaya.”
“Iyakah?”
Kakiku langsung kuangkat. Kaget. Takut.
“Ha ha ha, tidak. Aku hanya bercanda.”
Aku meliriknya. Aish, dasar.
“Kamu suka sama bengawan ini? Kata Si Mbok begitu,” tanyanya.
“Yupz. Aku sangat suka. Bengawan ini begitu tenang. Pemandangan di pinggirnya begitu indah. Hijau kemilau. Masih asri. Dulu aku sering ke sini dengan papa dan mama. Naik perahu bersama. Atau sekedar jalan-jalan di pinggiran. Tapi sekarang kami jarang ke sini.”
“Mengapa?”
“Dulu kami masih tinggal di Tuban Kota. Setidaknya meski jauh masih satu daerah. Sekarang kami sudah pindah. Lagi pula mereka terlalu sibuk. Ini saja aku dengan para sepupu. Itu pun baru bisa terjadi setelah empat tahun aku menanti.”
“Aku juga sangat suka dengan bengawan. Bahkan aku lebih suka lautan. Ingin menjadi pelaut. Ingin tinggal di dekat laut. Dan semua yang berhubungan dengan laut,” ceritanya.
“Tidak takut tenggelam?”
“Para nelayan akan memahami ilmu perbintangan. Kapan akan laut akan tenang dan kapan laut akan merintih kesakitan. Para nelayan juga orang-orang hebat. Nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Mereka melaut hingga belahan dunia. Menguasai berbagai bahasa untuk berniaga. Itulah mengapa aku ingin seperti mereka. Tapi kebanyakan orang menganggap sepele para nelayan. Orang-orang itu belum tentu menguasai berbagai bahasa seperti nenek moyang. Orang-orang itu merasa paling hebat sebab hidup di era milenial. Padahal buyut mereka jauh lebih hebat.”
Aku baru menyadari bahwa nelayan begitu berarti. Cita-citanya menjulang tinggi. Ingin berteman dengan batu karang dan desiran ombak lautan.
“Lalu mengapa kau selalu membawa buku dan pensil di dalam tasmu? Bukan membawa umpan untuk mancing?” Tanyaku ketika melihat isi tas kecil cokelatnya.
“Aku tak perlu umpan untuk mendapatkan ikan. Aku hanya perlu berenang dan menangkap ikan dengan tangan. Aku suka melukis pemandangan.”
“Benarkah? Boleh aku lihat?”
Sebelum dia menjawab, tas itu telah kusambar. Dan kata silahkan terdengar darinya pelan.
Gambar perahu dengan satu nelayan. Gambar Sungai Bengawan Solo yang begitu tenang. Gambar perbukitan yang kehijauan. Gambar senja di ujung bengawan. Dan… Apa? Puisi? Aku membacanya perlahan. Selembar demi selembar terbaca. Menakjubkan.
“Bait puisimu begitu apik,” komentarku.
“Terima kasih. Aku belajar dari alam apa itu sajak.”
“Maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Mungkin yang kami tahu puisi adalah bait-bait indah. Salah. Puisi itu semesta. Jagad raya. Bait itu adalah alam. Sajak itu seluruh dunia. Bahkan seluruh angkasa. Semua adalah puisi. Sebab yang puisi adalah keindahan. Dan semua yang diciptakan Tuhan adalah keindahan.”
Aku menatapnya lekat. Wajahnya teduh. Matanya bulat. Rambutnya hitam pekat. Alisnya agak cokelat. Senyumnya… Ah, entahlah. Mungkin itu juga termasuk puisi.
Perahu berhenti.
“Sudah sampaikah?”
“Belum.”
“Lalu kenapa berhenti?”
Tak ada jawaban. Dia meraih buku dan pensil. Menghadap ke samping dan dua angsa yang berkasih dipotretnya dengan gambar. Aku diam memperhatikan. Beberapa bait puisi terukir di samping dan bawah gambar angsa. Lantas perahu kembli berlayar. Sedang aku? Menikmati hasil karya tangannya.
*****
Seminggu sudah aku di sini. Menikmati alam yang kata Jaka adalah puisi. Beberapa lembarku telah terisi. Ya, aku penyuka puisi. Sore itu di tepian sungai aku duduk menyendiri. Awalnya Nana ingin menemani. Sekedar mencegah hal sama terulang kembali. Tapi aku menolaknya. Akan sulit merangkai kata jika dia terus mengajak bicara.
Ternyata mereka semua, sepupuku, mencari dengan semua warga desa. Aku saja yang sering berburuk sangka.
Air gemercik karena gerakan kakiku. Sedang sajak puisi merdu tertulis di kertasku.
“Assalamu’alaikum.”
Jaka tiba-tiba ada di depanku. Dengan perahu yang dipenuhi ikan. Dengan gugup aku menjawab salam. Sangkar diturunkan lantas aku naik ke perahu.
“Oh ya, aku lupa enggak bawa uang. Tunggu ya aku ambilkan untuk ganti rugi saat menolongku.”
Aku berdiri tapi dicegah untuk beranjak. Katanya tak usah. Dia ikhlas.
“Kamu ternyata juga suka puisi,” ucapnya.
“Tapi kamu lebih hebat dalam merangkai diksi.”
“Padi semakin berisi semakin menunduk ya.”
Aku menyiratinya dengan air bengawan. Dia terkekeh. Lantas membalas.
“Benarkan perkataanku?” protesnya yang terus menyiratiku.
“Iya benar. Tapi kan kurang tempat untukku.”
Dia tersenyum lagi. Mungkin senyum itu termasuk puisi.
“Si Mbok menanyakanmu. Katanya rindu. Padalah baru sekali bertemu. Katanya Si Mbok, kamu mirip adikku yang meninggal tujuh tahun lalu,” terangnya.
“Benarkah? Berarti adik kamu termasuk puisi dong? Kan mirip aku. Sesuatu yang indah kan puisi.”
“Ha ha ha, terlalu pede kamu. Itukan kata Si Mbok. Bukan kataku.”
Kami tertawa. Entah mengapa aku begitu bahagia. Kuputuskan sore itu untuk pergi menemui Si Mbok. Aku kirim SMS pada Wildan.
“Kamu tahu? Di setiap suara air yang mengalir, ada puisi. Di setiap tetes yang tersirat ada puisi. Di setiap arus juga ada puisi. Di setiap pasang maupun surut juga ada puisi. Di sepanjang Bengawan Solo ada puisi. Bahkan kata semesta di depanku ada puisi.”
Di depanku ada puisi? Aku kah itu? Tak mungkinlah. Diakan begitu menjaga syariat. Mungkin yang dia maksud adalah pemandangan sekitar bengawan. Dasar, aku. Mengapa punya pikiran seperti itu.
“Kamu tahu? Ada inspirasi di setiap lekuk senyum bidadari.”
“Kamu itu lagi bercerita atau berpuisi, sih?” kataku geram.
“Bercerita dengan puisi. Karena yang mendengarkanku lebih dari sekedar puisi.”
“Maksudmu?”
“Ya, kamu. Puisinya puisi.”
“Apaan sih Jak?”
“Enggak kok bercanda. Yang kumaksud itu ikan. Ha ha ha.”
“Ih, dasar.”
Kami sampai di belakang rumah Jaka. Dengan hati-hati aku turun membawa buku dan pulpenku. Lantas pergi masuk rumah tanpa menunggu Jaka. Senyum semringah tergambar di wajah Si Mbok. Ini adalah puisi.
“Ndhuk, Si Mbok kangen.”
Tiba-tiba Si Mbok memelukku erat. Begitu erat. Aku turut larut. Lantas ikan hasil tangkapan Jaka kami bakar bersama. Dengan bumbu kecap karya Si Mbok. Disajikan di atas daun pisang dengan nasi yang masih mengepulkan asap. Lantas kami salat magrib berjamaah.
Mereka berdua mengaji. Sedang aku terpaku terdiam.
“Sini, Ndhuk. Mengaji sama Si Mbok,” ajak Si Mbok.
Aku mendekat. Mencoba mengingat apa saja yang harus diperhatikan membaca Quran. Sebab aku telah lama tak menyentuhnya.
“Jangan bilang kamu belum bisa mengaji,” kata Jaka.
“He he he bisa kok. Tapi agak lupa gimana cara-cara bacanya.”
Jaka menepuk jidat lantas melanjutkan membaca Yasin. Sama halnya dengan Si Mbok. Aku hanya mendengarkan. Usai itu Si Mbok pamit ke belakang dan aku diajari Jaka mengaji. Mengapa aku begitu menyukai keluarga ini?
“Jangan pernah kamu menjauh dari Tuhan. Bacalah selalu firman-Nya. Jangan sampai salat terlupa. Karena itu adalah sejatinya cinta dalam puisi.”
“Iya, terima kasih banyak ya. Karena ketemu kamu sama Si Mbok aku semakin tahu apa itu puisi. Oh ya, dua hari lagi aku kembali ke Wonokromo. Tapi aku akan sering berkunjung kok. Janji.”
Tiba-tiba saja aku mengucap janji. Entah kenapa, aku ingin terus kembali ke rumah ini. Dia tiba-tiba pergi. Marakah? Tapi apa alasannya. Aku hanya terdiam. Menatap kitab suci yang baru saja aku kaji.
“Ini terimalah. Ini juga puisi. Jangan lupa salat.”
Tiba-tiba Jaka datang dan menyodorkan kayu yang dipotong bundar-bundar kecil lantas disatukan dengan benang. Ya, tasbih. Tiba-tiba saja netraku berair.
Setelah isya’, aku diantarkan Jaka pulang ke penginapan. Inilah kali pertama aku naik perahu tengah malam. Bintang gemerlap bertabur di awan sana. Sinar purnama memantul ke air. Semua adalah puisi.
*****
Nanti sore aku kembali. Kata Jaka pagi ini dia akan datang. Sekedar mengucap salam perpisahan. Aku menunggunya di pinggir bengawan. Tak lama kemudian ia datang.
“Ini pakailah. Lindungi kehormatanmu.”
Dia menyodorkan sehelai kain warna merah setelah aku naik ke perahu. Aku menatap jilbab itu lekat-lekat. Salahlah aku? Bila memakainya seban Jaka bukan karena Tuhanku?
“Pakailah selagi kamu siap. Jangan pakai karena permintaanku tapi karena perintah Tuhanmu.”
“Diam ya? Jangan bergerak aku ingin melukismu, Puisi.”
Puisi? Dia memanggilku puisi?
*****
Aku mengingkari janjiku sendiri. Satu tahun aku baru bisa datang ke Sungai Bengawan Solo. Aku disibukkan dengan tugas kuliah. Hari ini aku memutuskan untuk berjilbab. Memenuhi perintah Tuhanku. Menjaga izahku. Bukan karena Jaka tapi karena agama. Aku tak lagi bergandengan tangan dan berjabat tangan. Aku harus tahu batasan.
Aku berlari menuju Bengawan. Dengan beberapa buku bacaan untuk Jaka. Dan mukena untuk Si Mbok. Aku menyewa perahu untuk bisa ke rumah Jaka.
Mataku tak berkedip melihat puisi yang hancur. Tak tersisa. Seminggu yang lalu daerah ini kebanjiran. Banyak warga yang meninggal bahkan tak ditemukan. Rumah Si Mbok rusak.
Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam. Kosong. Gentengnya banyak yang berjatuhan. Temboknya banyak yang jebol. Tak ada yang berharga. Kutemukan dua Quran tergeletak di atas almari usang. Masih utuh. Allahu Akbar. Aku mendekapnya. Kalam Tuhan yang lebih dari segala isi dunia. Aku keluar. Mencoba mencari informasi Si Mbok dan Jaka. Tapi kampung sepi. Hanya ada beberapa penduduk desa. Mereka pun tak tahu, dimana Jaka tinggal. Masih hidup atau sudah meninggal.
Mengapa Jak? Mengapa. Di saat aku telah berubah engkau menghilang. Di saat aku datang dengan penuh harap engkau tak ada di kenyataan. Hanya khayalan belaka. Jak, kamu dimana?
“Pak, antarkan saya ke Desa Mojo Agung,” kataku pada pemilik perahu.
Aku mengawasi dengan detail jalanan menuju penginapan satu tahun lalu. Mengingat setiap arus kenangan. Setiap sajak puisi yang tercipta. Mengingat setiap kata yang terucap. Mengingat setiap senyum yang tersungging.
*****
Tatapanku kosong menatap Sungai Bengawan Solo. Empat tahun sudah. Setiap bulan aku tak pernah alfa berkunjung. Tapi Jaka tak kunjung datang. Aku tak pernah tahu jantungnya masih berdetak atau tidak, yang kutahu puisi itu masih hidup. Bahkan tumbuh dengan subur. Puisi yang tertanam saat kenangan itu tercipta. Lantas berbuah rindu kala jarak itu ada.
“Jaka, benarkah aku puisi itu? Yang katamu di lekuk senyumku ada inspirasi yang menunggu,” lirihku.
“Benar, Aisyah. Puisi itu kamu.”
Aku berbalik. Pemilik suara itu berdiri tepat di hadapanku. Dengan senyuman khas yang kusebut puisi. Hujan dari kelopak mataku turun menjadi gerimis. Dia yang kusebut puisi. Kini tengah merangkai senyum menjadi diksi. Dia adalah puisi. Dia adalah Jaka.
Tuban, Sabtu 29 Februari 2020