Teguran sering seliweran di telinga. Terkadang berbentuk sindirian. Social Justice Warrior (SJW) ternyata tak hanya bertebaran di media sosial digital. Bahkan, teman sendiri pun bisa. Warung kopi menjadi tempat persidangan. Ucapan “Sambat wae” menjadi antiklimaks saat berkeluh kesah.
Apa sih salahnya menjadi pesimis? Ketika berulang kali rencana berantakan. Ketika semua harapan tak menjadi kenyataan. Ketika apa yang dilakukan terasa begitu sia-sia. Lalu, apa salahnya berkeluh kesah?
Melansir Vice, orang mengidap depresi ringan cenderung melihat dunia secara realistis. Setidaknya, itu sudah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Salah satunya laporan L.B. Alloy dan L.Y. Abramson yang terbit pada 1979. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa orang depresi mampu menilai tingkat kontrol diri.
Kekecewaan, ketakutan dan perasaan negatif lainnya bisa menimbulkan rasa sedih. Orang yang bersedih mempu menilai tindakan mereka sendiri. Berbeda dengan orang yang sedang bahagia.
Orang dengan rasa bahagia lebih cenderung berasumsi. Mereka merasa mampu mengendalikan diri dan keadaan.
Baca Juga: Pesimisme Defensif dan Kenapa Kita Harus Memahaminya
Kesedihan bisa membuat orang menjadi pesimistis. Dunia dilihat secara nyata dan apa adanya. Setiap yang dilihat dan terjadi adalah kebenaran. Hingga akhirnya, muncul rasa takut dan khawatir. Sifatnya cenderung defensive untuk menghindari hal tersebut.
Tentu bertolak dengan keadaan lawannya. Orang yang bahagia cenderung optimistis. Dia merasa mampu mengendalikan keadaan. Setiap tindakan dilakukan tanpa beban. Sehingga, segala tindakan akan menghasilkan sesuatu yang baik. Begitulah orientasinya.
Orang dengan rasa optimisme mampu menciptakan dunia yang baru. Terdapat keinginan dan angan-angan yang dituju. Harapan dirasakan akan menjadi kenyataan. Nantinya, bukan sekarang. Seorang optimis akan menyuguhkan perubahan dunia yang baru.
Lalu, mana yang lebih baik? Menjadi pesimis atau optimis? Tentu keduanya punya peran masing-masing. Setiap orang akan melewati keadaan dengan beban yang berbeda. Itu bisa memicu seseorang menjadi optimistis atau malah pesimistis.
Namun, tentu sama saja. Keduanya ada untuk saling melengkapi. Tidak ada baik tanpa buruk, tidak ada benar tanpa salah. Bukankah setiap hal memiliki lawan sebagai penyeimbang? Begitu pun manusia. Adanya seorang optimis membutuhkan seorang pesimis.
Selama ini, pesimistis dianggap negatif. Padahal tidak. Orang optimistis tetap membutuhkan orang pesimistis. Si optimis ingin memberikan perubahan yang lebih baik. Si pesimis membatasi khayalan melalui realita.
Bayangkan saja, bagaimana orang menciptakan pesawat. Bukankan terdapat rasa optimisme untuk mewujudkannya? Lalu, si pesimis hadir. Dari situ muncullah parasut. Hal baru muncul beriringan dengan kekhawatiran yang baru. Bukankan ini menjadi hal baik, ketika segalanya menjadi seimbang?