Rasa malas sesungguhnya hanya mitos belaka dan ia memang tak pernah ada. Sebab, yang ada hanya sikap menunda-nunda pekerjaan dengan segala alasannya.
d4sar kaMu PemAlas, KerJa ga SeleSai2!!
Hayo siapa dari kamu yang pernah mengumpat ketika melihat orang yang kamu anggap malas? Entah itu dalam hati maupun terucap dari mulut. Hmm, tapi Nabs.
Tahukah kamu, bahwa ahli psikologi mengatakan sifat malas alias laziness itu sebenarnya tidak ada. Hla kok bisa ya?
Mari kita urai logika sederhana terkait kemalasan. Website entertainment TheTalko.com bahkan mengidentifikasikan ciri orang malas dengan beberapa kebiasaan.
Mulai dari perasaan overwhelmed alias kewalahan karena merasa super sibuk, punya kamar yang super berantakan, suka rebahan dan tidur dalam waktu yang lama, hingga terbiasa pesan makanan delivery daripada masak atau beli sendiri.
Bisa diakatakan, beberapa ciri yang dibeberkan terlalu judgmental dan menyimplifikasi masalah. Rupanya, ahli psikologi juga memandang hal yang sama.
Seperti dikutip dari website PsychologyToday.com, label malas terlalu sering digunakan untuk menilai karakter seseorang. Pelabelan ini, sesungguhnya tak membantu memahami mengapa seseorang tak bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Alih-alih menemukan titik masalah yang harus dipecahkan. Kamu dan aku lebih sering mengambil jalan pintas dengan menjadikan kata malas sebagai adjektiva seseorang.
Kebiasaan ini menjadi siklus toxic di masyarakat, dan melanggengkan gejala tidak produktif yang terjadi. Orang terbiasa dilabeli pemalas semakin menginternalisasi bahwa memang begitulah sifat alamiah yang dia miliki.
Begitu pula saat gejala tersebut terjadi pada kita. Saat kita kehilangan motivasi untuk mengerjakan sesuatu, kehilangan arah dan merasa frustrasi, kita hanya menyalahkan sifat malas itu, kemudian menyerah pada kondisi yang ada.
Ibarat sebuah laptop, yang rusak motherboardnya, eh kita hanya melihat gejala kecilnya saja. Misal keyboard yang tidak berfungsi dengan baik, layar yang tiba-tiba mati. Kita hanya merespon dan mengobati gejalanya, tanpa memikirkan penyakit utamanya.
Seorang profesor psikologi dari Loyola University Chicago’s School of Continuing & Professional Studies, Devon Price mengatakan, kemalasan hanyalah mitos belaka. Yang sebenarnya terjadi, ketidakmampuan kita memahami pola pikir, konteks, dan masalah yang melatarbelakangi tindakan seseorang.
Jika kemalasan adalah mitos, bagaimana kita memahami orang yang kita anggap pemalas itu? Lalu, apakah kita bisa membantu diri kita dan orang lain?
Masih menurut Devon Price, kita seharusnya memiliki pendekatan keingintahuan atau curiosity dibandingkan penghakiman atau judgement.
Dengan rasa ingin tahu, kita membuka diri untuk memahami orang lain. Sedangkan penghakiman, bisa menutup diri kita dari realita yang sesungguhnya.
Para ahli psikologi telah melakukan penelitian panjang tentang hal ini. Mereka melihat bahwa kemalasan sebenarnya tidak ada. Masalah yang muncul sebenarnya adalah laku menunda pekerjaan atau procrastinating.
Setelah beberapa dekade penelitian, para ahli melihat laku menunda pekerjaan merupakan masalah fungsional seseorang.
Menurut Devon Price, secara sederhana, ada dua faktor yang menyebabkan laku procrastinating. Yakni ketika seseorang tidak segera menyelesaikan atau bahkan meninggalkan suatu pekerjaan yang sebenarnya penting. Penting dari sudut pandang orang lain, bahkan dirinya sendiri.
Satu hal yang perlu kamu tahu, Nabs, meski terdengar sederhana, dua faktor ini mempengaruhi keseharian manusia secara kompleks.
Bahkan penundaan lebih mungkin terjadi ketika tugas itu bermakna dan individu peduli melakukannya dengan baik.
Faktor pertama berkaitan dengan munculnya rasa cemas bahwa upaya yang dilakukan tidak cukup baik. Kalau boleh menganalisisnya secara sotoy, isu semacam ini sering dirasakan para pengidap perfeksionisme.
Orang dengan kecenderungan ini biasanya punya perencanaan yang matang dalam melakukan segala hal. Biasanya, orang dengan sifat perfeksionisme cenderung lebih banyak berperan sebagai konseptor program.
Sebelum melakukan suatu pekerjaan, akan muncul berbagai perencanaan matang. Dan tentunya, punya standart yang bisa dibilang tinggi. Meskipun tahu apa yang harus dilakukan, seorang perfeksionis biasanya merasa overwhelmed atau kewalahan dengan letupan ide di kepalanya.
Sedangkan faktor kedua berkaitan dengan kesulitan untuk menentukan langkah yang harus diambil demi menyelesaikan tanggung jawab.
Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang lebih banyak menjadi pelaksana dibanding konseptor. Si pelaksana lebih mahir untuk melaksanakan tugas secara teknis. Namun mengalami kesulitan dalam menentukan langkah step-by-step.
Bukan berarti konseptor lebih baik dari pelaksana, begitu pula sebaliknya. Dua jenis manusia ini merupakan yin pelengkap yang.
Mereka memang punya peranan masing-masing. Namun, ketika dihadapkan pada tugas yang tidak sesuai dengan zona nyamannya, laku procrastinating bisa saja menyerang.
Seorang procrastinator, yang lebih sering dicap pemalas ini pada kenyataannya sering dihadapkan pada waktu-waktu yang sulit. Mereka bisa terjebak dalam proses ‘bekerja’ selama berjam-jam.
Duduk merenung tanpa tahu apa yang harus dikerjakan, atau kebinungan dengan letupan ide di kepalanya. Tidak melakukan apa pun, dan menyiksa diri mereka sendiri.
Hal yang lebih menyiksa, adalah menumpuk rasa bersalah berulang-kali. Mau mulai aja sulit. Motivasi yang meledak-ledak bahkan tidak mampu membuat tingkat kecemasan untuk mengerjakan tugas jadi berkurang.
Bahkan, keinginan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan itu dapat memperburuk stres mereka dan membuat memulai tugas lebih sulit. Sebuah lingkaran setan yang menjebak.
Meskipun terdengar mentok, ada solusi yang bisa kamu coba, atau tawarkan ke procrastinator di sekitarmu. Jawabannya adalah mencari dan memahami faktor apa yang menahan.
Jika kecemasan adalah penghalang utama, seorang procrastinator sebenarnya perlu berjalan menjauh dari komputer / buku / dokumen kata dan terlibat dalam kegiatan santai.
Diperlukan kondisi dan pikiran yang relaks supaya tugas nampak doable atau bisa dikerjakan dengan mudah. Selain itu, kamu juga bisa meminta pendapat orang lain soal tugas / pekerjaan yang harus kamu selesaikan.
Terkadang, apa yang nampak menakutkan dan sulit hanya ada di kepala. Selamat mencoba! Ohya, jangan lupa kurang-kurangi memberikan label ‘malas’ untuk orang lain. Hihi.