Warung kopi kerap jadi ruang tumpu lahirnya gerakan, baik diskusi atau aksi turun ke jalan. Tak terkecuali, gerakan numpang WiFi lalu mabar.
Ruang-ruang publik dewasa ini mempunyai stigma kurang mengenakan dari publik secara keseluruhan. Penilaian itu memang mempunyai dasar, yakni pergeseran dari fungsi yang sebenarnya sebagai tempat untuk melangsungkan komunikasi.
Salah satu dari sekian banyak ruang publik itu adalah warung kopi. Setidaknya warung kopi inilah yang memikul beban berat; stigma negatif yang amat kuat.
Perbandingan-perbandingan dengan keadaan warung kopi sebelum adanya gawai sekarang ini dengan dukungan kecanggihannya, dan warung kopi dalam satu dekade ke belakang.
Tentu pernah mendengar cercaan seperti ini “apa warung kopi sekarang tak seindah dulu yang kita kalau datang kesana mengobrol, berbeda jauh dengan sekarang datang dan dilanjut diam-diaman menatap gawainya masing-masing”.
Namun apakah warung kopi dewasa ini begitu semua?
Sebelum menjawabnya, saya ingin memberitahu kalau pola kesamaan pertanyaan dan jawaban ini akan sama polanya dengan: apakah setiap menteri Jokowi itu korupsi?
Kalian tentu saja bisa menjawab sendiri; tidak, kecuali Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Sosial itu. Sama dengan warung kopi, tidak semua pemanfaatannya hanya digunakan numpang wifi doang lalu mabar.
Atau secara terfokus merujuk kepada pengunjung, jelas pengunjung warung kopi tidak semuanya begitu.
Meminjam konsep Jurgen Habermas tentang ruang publik, bahwa manusia selalu berada dalam ruang kehidupan. Dalam artian bahwa ruang tersebut ada proses interaksi dan komunikasi.
Ini artinya memang benar stigma negatif dari publik, seolah patut untuk dipertanyakan mana interaksi dan komunikasi dari setiap pengunjung.
Kok malah mereka bersikap arogan, hanya memperdulikan kepentingannya sendiri di dunia maya yang difasilitasi oleh gawainya. Lagi-lagi ini tidak semua.
Kalau kita mengacu terhadap perkataan Descartes yang aku berfikir maka aku ada, berarti warung-warung kopi masih memberi tempat kepada individu yang terus berfikir dan termifestasi oleh perkataan sehingga menstimuli akan adanya interaksi dan komunikasi.
Masih banyak individu atau pengunjung yang datang untuk ngopi tujuan utamanya bukan mabar, namun menghidupkan diskusi untuk mempertajam pikiran.
Secara garis besar warung kopi mampu dipahami sebagai embrio gerakan diskusi. Kesatuan pendapat bisa dibicarakan dengan santai tapi serius. Perlahan-lahan puncaknya yakni integrasi antar satu individu dengan individu lainnya, dari yang mungkin belum kenal menjadi kenal. Dari yang cuma sebatas kenal bisa jadi kolega seperjuangan.
Saya berani berkata begini, yakni masih ada ruh warung kopi. Masih terdapat geliat diskusi, ini bukan sekedar membangun hipotesa saja, ada rujukan empirisnya.
Sepanjang pengalaman menjadi mahasiswa diiringi pula seringnya datang ke warung kopi, saya masih menemukan mahasiswa atau kawan-kawan saya menjadikan warung kopi sebagai sarana bertukar pikiran.
Teringat betul di tahun lalu sebelum melangsungkan aksi galang seribu tanda tangan untuk mendukung agar RUU KPK dan RKUHP tidak disahkan, bersama-sama saya mendiskusikan hal-hal kontroversial di dalam RUU tersebut di warung kopi.
Walau pada akhirnya kedua RUU KPK tetap disahkan, setidaknya inilah wujud representasi warung kopi sebagai embrio gerakan, baik diskusi atau aksi turun jalan dan setiap hal-hal baik lainnya masih ada.