Jika keseharian kita “sibuk” menonton gadget, lalu apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini?
Kalimat mendalam (filosofis) yang penulis tuangkan di atas, patut menjadi renungan bersama. Itu karena, geliat menjadi “penonton” atau perilaku saben hari rajin menonton informasi terbaru dari gadget, seakan-akan telah menjadi kebiasaan yang membudaya.
Secuil pernyataan penulis di atas bukan tanpa alasan. Coba pembaca amati di sekeliling. Anak kecil oke tidak rewel, karena sudah pewe menonton gadget. Ibu-ibu milenial gonta-ganti baju dan segala pernak-perniknya, karena demen nonton jualan online.
Para remaja, pemuda, aktif bin sibuk sambil mengepulkan asap rokok, karena asyik melihat yang lagi viral. Belum lagi bapak-bapak pun sama, demen pula buka-tutup tontonan yang serupa.
Teknologi-informasi yang hadir, pelan-pelan menjadikan kita yang hari ini menggenggam gadget beralih “suka” menjadi penonton. Apa saja ditonton. Ya foto, ya status WhatsApp, ya video yang lagi viral dari orang lain. Semua tidak pernah absen dan terlewatkan untuk finish ditonton.
Boleh kita menonton apa saja. Bila itu sekadarnya. Yang agak keterlaluan adalah, bila gaya hidup “menonton” menjadi pekerjaan utama keseharian. Menggantikan tanggung jawab primer-sekunder meraih sukses masa depan yang perlu terus diperjuangkan.
Kita tidak sadar dengan banyak menonton, waktu yang dimiliki ternyata habis. Menjadi unproduktif. Oleh karena, terlalu khusuk, istikamah baik individu maupun berjemaah memelototi gadget masing-masing.
Seperti lihat Instagram-lah, Facebook-lah, YouTube-lah, Tik Tok-lah, Twitter-lah, masih ditambah WhatsApp-lah. Kita seperti beralih pada ruang pekerjaan semu menjadi “penonton” setia. Semua tontonan gadget dilibas hingga menjadi rutinitas prilaku keseharian.
Pengalihan
Perlu kita ketahui bersama, kecanggihan teknologi-informasi bernama gadget “menjadi ciri khas” era kekinian kerajinan menonton orang lain. Budaya menonton telah mengalihkan dan seakan-akan melahirkan bentuk peradaban baru.
Yang biasanya bertemu saling tanya, diskusi, ngobrol ngalor-ngidul hingga puas, kini pertemuan itu serasa hampa. Kering oleh kehadiran aktivitas pengalih yang memiliki magnet besar bernama “menonton”.
Potret pertemuan antara dua orang, kini akan ditinggal chatting via WhatsApp, melihat Instagram, YouTube dan sebagainya. Alhasil, sunyi dalam keramaian akanlah terjadi dalam pertemuan.
Bahkan jamak ditemukan, dalam silang komunikasi yang terjadi aspek perhatian pembicaraan menjadi terabaikan. Konsentrasi buyar. Individualis. Karena asyik mentelengi gadgetnya sendiri-sendiri.
Karenanya, menjadi benar bila akan muncul pertanyaan ulang “Apa tadi yang kamu omongkan?” Lalu, “Bagaimana-bagaimana tadi?” yang hal itu membikin bad mood romansa pertemuan.
Jika begitu besar dampak negatif “menonton” gadget, tentu perlu segera kita sikapi. Kita yang saat ini melek teknologi, semestinya juga menghargai orang yang ada bersama kita.
Caranya, kita letakkan sejenak gadget yang ada digenggaman untuk kemudian menuntaskan pertemuan secara humanis, interaktif, dan saling melihat ekspresi bahagia, duka, dan sebagainya antar muka.
Bila hal itu kita lakukan, teknologi yang kita genggam bisa kita kendalikan. Nilai kemanusiaan bisa maujud dengan sesama. Dan pertemuan yang dilakukan memiliki sejuta makna.
Jangan malah terbalik. Kita justru dikendalikan gadget dan “marah” atau “cemberut” kala diingatkan.
Penyebabnya, karena belum tuntas-tas dan tas menyelesaikan aneka tontonan.
Sudah mafhum terlihat, memelototi tontonan di gadget tidak akan ada habisnya.
Karena gadget adalah ruang maya yang tidak henti memproduksi informasi terkini yang selalu memancing kita sibuk, menjadi sibuk, dan super sibuk mengamatinya sampai selesai.
Penutup tema gadget, coba lihatlah tangan kita. Menjadi “gatal” jika tidak memegangnya. Pikirannya segera ingin melihatnya bila terdengar notivikasi nada.
Terhadap tulisan ini, cukup pembaca resapi saja. Pelan-pelan. Perlahan-lahan, tentang apa yang penulis sampaikan. Terima kasih, dan sampai bertemu pada ulasan berikutnya.
*Penulis adalah Dosen Prodi PAI Unugiri Bojonegoro.