Tak sebagaimana stand up komedi, guyonan tradisional kebanyakan tidak berdiri sendiri. Guyonan tradisional sering menjadi bagian tak terpisah dari ekosistem kebudayaan. Dan di sanalah Cak Komet berada.
Saya kira, tak banyak dagelan yang punya latar belakang pendidik atau guru. Di antara yang sedikit itu, saya menemukan channel youtube yang menyiarkan Cak Komet.
Beberapa dalang yang berkolaborasi dengannya mengkampanyekan bahwa Cak Komet adalah satu-satunya dagelan dengan jenjang Pendidikan S2. Iya benar, dia lulusan sekolah pascasarjana alias magister.
Lelaki dengan nama asli Suprianto yang kesehariannya berprofesi sebagai guru, tepatnya guru di SDN Katur 1 Kecamatan Gayam Bojonegoro.
Sebagai guru, Cak Komet belum menjadi pegawai negeri, dia masih berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun begitu, dia, saya kira adalah guru yang bahagia.
Senyum lebar saat menyapa para muridnya, sesekali dia terlihat menikmati bermain voli di lapangan sekolah yang net-nya terbuat dari tali rafia. Sebuah keadaan SD Negeri yang miris, yang bahkan membeli bola voli dan net yang sewajarnya saja tak mampu meskipun lokasinya berada di kecamatan kilang minyak terbesar di Bojonegoro.
Kebahagiaan itu juga terlihat, suatu ketika dia masuk kelas dan murid-muridnya memberikan kejutan. Tak seperti di kota-kota besar yang siswanya dari kalangan mampu sehingga bisa memberikan hadiah dengan nominal tinggi. Atau kejutan klise yang dengan bahasa sekarang disebut prank yang justeru kebanyakan minim makna.
Tepat di hari guru itu, para siswa Cak Komet memberikan bungkusan. Dan isinya adalah sebungkus Rokok merk Senior. Semua tertawa, semua bahagia. Namun Cak Komet menyelipi pesan, lain kali tidak perlu mengasih hadiah rokok, itu tidak bagus, tentu sambil senyum-senyum dan memasukkan rokok itu cepat-cepat ke sakunya.
Saya akhir-akhir ini kembali mencari hiburan lawak tradisional, karena preferensi saya yang kebanyakan tidak nyambung dengan lawak modern yang kelewat urban. Saya tumbuh dan besar di desa dan dengan latarbelakang itulah saya lebih merasa dekat dengan kesenian tradisional.
Lawak modern bagi saya masih terasa jauh, selain juga sering terkesan klise dan didominasi guyonan soal jomblo atau kaum miskin kota yang menjadi olok-olok atas keterpinggiran mereka yang belum bisa menikmati gaya hidup borjuis.
Hal ini bisa Anda perdebatkan, namun sekali lagi, pilihan dan preferensi masing-masing punya selera.
Tak sebagaimana stand up komedi, guyonan tradisional kebanyakan tidak berdiri sendiri. Guyonan tradisional sering menjadi bagian tak terpisah dari ekosistem kebudayaan. Dan di sanalah Cak Komet berada.
“Lho arep nok ndi kok numpak jaran?”
“Lha Rhoma ki yo numpak jaran to”
“Karo nyangking opo kuwi”
“Nyangking diesel”
“Rhoma ki yo nyangking gitar to”
“Lha iyo adol diesel kanggo tuku gitar”
Paragraf di atas contoh dialog guyonan tradisional yang dibawakan Cak Komet. Guyonan macam itu bisa muncul di tengah goro-goro pertunjukan wayang, ketoprak, juga drama-drama tradisional lain. Kadang juga menjadi bagian acara musik campursari, bisa juga acar-acara tradisional lain semisal sunatan (khitanan, supitan).
Kembali lagi pada Cak Komet, pembanyol asli Dusun Clangap, Sumengko itu, akhir-akhir ini guyonannya sering saya nikmati. Guyonan Cak Komet terasa dekat dengan saya karena bahan candaanya masih terasa kesan dan warna “guru” yang banyak bisa ditemui.
Sebagai orang Bojonegoro, ia juga tetep “nggowo” dialek khas seperti akhiran em, leh ( Gonem, piye leh, mboyak leh). Meski dia terlihat berusaha menghindarinya, tapi tentu masih banyak juga yang mbrosot begitu saja.
Cak Komet bukan tipikal pelawak yang banyak mengumbar guyonan soal seksual meski dalam dosis tertentu, banyak joke soal seksual bisa ditolerir juga.
Latar belakangnya yang pendidik, saya kira, membatasinya melakukan adegan vulgar dengan para sinden dalam sebuah pertunjukan, meski sebagai pelawak dia jelas punya kesempatan untuk melakukannya dengan tujuan menghibur, dan ini yang membuat saya kian hormat.
Cak Komet juga bukan tipe komedian yang sering mengolah tragedi, misal saja ada komedian yang menyoal teman pernah mengkonsumsi narkoba, atau pernah dipenjara menjadi bahan candaan. Dia tak pernah.
Cak Komet juga bukan model pendagel yang sengaja merusak tubuh untuk dapat efek komedi. Banyak dagelan di luar sana misalnya, mengumbar adegan dengan lawannya menggunakan semburan air, menjatuhkan diri dari kursi, corat-coret muka, atau melempar kata-kata kasar di momen tertetu; semisal bacok, kaplok, sathem dan seterusnya.
Dalam hierarki banyolan, saya kira Cak Komet sudah mampu menghibur penontonnya dengan hanya tiga tingkatan lawak. Hierarki lawak ini konon bisa dirujuk keberadaanya dalam diri mbah Ranto Gudel, ayah seniman kondang Didi Kempot dan juga Mamiek Prakoso.
Mbah Ranto membuat ranking tentang konsep menghibur. Pelawak itu bisa membuat penonton terpingkal dengan emapt tingkatan. Pertama, ada tipe pelawak yang hanya dengan mebuat joke terkonsep sudah bikin gerr…penonton.
Jika hal pertama ini tak mampu membuat penonton tertawa, langkah kedua biasanya dengan polah entah joget lucu, subtil atau di luar kebiasaan tentunya. Jika hal kedua ini juga gagal, pilihannya kemudian ada pada langkah ketiga, yakni keahlian lain yang dimiliki pelawak; semisal olah vocal, sulap atau lainnya.
Yang terakhir, ketika ketiga semua usaha tersebut gagal, yang bisa dilakukan ya dengan ngerusak awak misal sembur-semburan, corek-corekan rahi, atau lungguh kursi nggeblak.
Dalam terminologi Mbah ranto itu, Cak Komet saya kira memiliki konsep guyonan yang baik, joget dan olah geraknya juga bagus dan tentu memiliki macam-macam vocal penyanyi bahkan bisa menirukan suara banyak tokoh kartun. Dan sampai saat ini, belum saya lihat Cak Komet menceburkan diri untuk sampai ngerusak awak.
Tawon ono ndase, lakon ono teruse. Tentu kita berharap Cak Komet terus menghibur, juga tentu banyak dagelan-dagelan lain asal Bojonegoro dengan joke-joke segar di tengah kehidupan yang kian nyinyir ini.
Ashri Kacung, dosen progresif yang kini melanjutkan studi PhD di Taiwan.