Sesaat sebelum kau lulus kuliah, kau berjumpa seorang lelaki yang aneh. Lelaki yang — sebenarnya dia asyik sih tapi… — sering membuatmu ilfil. Dia tak mudah berkompromi dengan siapapun, tak terkecuali dirimu.
Denganmu, sepertinya dia berbeda pandangan politik. Berbeda pandangan hidup. Dan berbeda pandangan dalam hal apapun. Kalian hanya sama dalam satu hal: tempat bekerja. Itu saja.
Menjelang wisuda, kau bekerja sebagai desainer produk di sebuah agensi. Sedangkan lelaki itu editor naskah iklan. Itu artinya, harusnya kau mengenal lelaki itu. Tapi, alih-alih mengenalnya, kau justru tak pernah bertutur sapa.
Dia lebih lama bekerja di tempat itu daripada dirimu. Pekerjaannya berhubungan erat dengan kerjaanmu. Dia bekerja ketika kau sudah menyelesaikan pekerjaan. Atau sebaliknya.
Sebulan setelah dirimu terhitung bekerja di perusahaan agensi tersebut, kau sengaja iseng memperlambat proses kerjaanmu. Harapannya, kau berharap lelaki sombong itu menggupuhimu dan mengajakmu berbicara.
Tapi, yang terjadi, dia justru keluar untuk merokok di bawah pohon di belakang kantor. Kerjaan kalian telat. Klien marah-marah. Dan kau dan dia, secara otomatis, mendapat marah dari atasan.
Kau sempat marah-marah. Alih-alih memarahinya, mengajak dia bicara saja kau sungkan, “lelaki itu terbuat dari apa sih? mentang-mentang senior.” katamu dalam hati.
Kau mulai tak sabar dengan lelaki alien itu. Kau mulai mencari-cari tahu tentang namanya di mesin pencari. Melalui riwayat jejak digital, kau membaca banyak cerita dan berita tentang sesuatu yang berhubungan dengan lelaki itu.
Dia mantan aktivis yang pernah dipenjara. Sedikit-sedikit, kau mulai tahu siapa dia. Setidaknya, di balik sikap dingin dan anehnya, kau tahu bahwa dia menyimpan banyak cerita.
Rasa penasaranmu terobati ketika salah seorang teman kerjamu, yang juga perempuan, bercerita padamu tentang lelaki sombong itu. Kata dia, lelaki yang namanya tak pernah ingin kau sebut itu, DO dari kampus dan pernah berurusan dengan polisi sebanyak 4 kali karena terlibat organisasi rahasia.
“Beberapa temannya meninggal saat demonstrasi, itu membuatnya jadi lelaki pemurung,” kata temanmu itu padamu.
“Dia tidak pemurung sebenarnya. Dia hanya belum menemukan teman,” jawabmu.
Meski tampak tak pernah mengurusi penampilan, lelaki itu sebenarnya lelaki baik dan pekerja keras. Kau bisa melihat dari caranya bekerja hingga cara dia bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Tapi, sikapnya yang apatis terhadap hidup, membuat banyak orang salah membacanya.
Suatu hari, di depan meja kerjanya — yang kebetulan dekat dengan mejamu —kau memergokinya diam sambil membaca sebuah buku. Kau tak berani bertanya. Kau hanya meliriknya saja. Tapi setelah dia pergi dan meninggalkan buku itu, kau sempat membaca judulnya.
Dari bacaannya saja, kau tahu dia lelaki berhati lembut. Tapi dia berupaya mati-matian menutupi kelembutan hati itu dengan perangai yang tidak mengenakan. Dan kau sering melihat kelembutan hatinya tampak tanpa dia sadari.
Pernah jilbabmu kejatuhan tai cicak. Dengan kesigapan seorang pemadam kebakaran, dia mengambil kotoran berwarna hitam putih itu dengan tangannya. Tapi, ya, cuma mengambil saja. Tanpa banyak berbicara.
“Jangan ke sini, aku sedang merokok” katanya suatu sore di bawah pohon yang ada di belakang kantormu, “kamu sedang batuk kan?”
Kau sempat kaget. Dia bisa memperhatikan kau sedang batuk. Padahal, kalian tak pernah berbicara dan itu batuk yang biasa saja bagimu. Kau sempat mendengar kata-katanya dan sempat mau menghentikan langkah. Tapi…
Tidak, tidak. Kau tak ingin mendengar kata-katanya. Kau mendekat padanya. Menyapanya dari jarak dekat dan duduk di sebelahnya. Tangan kananmu menyambar bungkus rokok, mengambil sebatang lalu memainkannya dengan jari-jarimu—- sebelum akhirnya kau buang.
Di bawah pohon rindang di belakang kantor itu, kalian duduk berdua. Sembari menyia-nyiakan waktu sebelum pulang kerja, kau berupaya membangun komunikasi dengannya. Tapi kau bingung mau membahas apa. Sebab membahas pekerjaan sangatlah membosankan.
Kau bingung mau ngobrol tentang apa. Sementara dia tampak seperti sedang tidur dan tak bisa diganggu. Kau ingin bertanya padanya tentang feminisme atau facisme atau apapun yang berhubungan dengan isme-isme. Tapi kau mengurungkannya.
Kau sempat ingin bertanya bagaimana kecoak bisa betah hidup di dalam toilet, sementara banyak kotoran di dalamnya. Atau bagaimana nyamuk bisa mengebor celana jeans ketat tanpa sedikitpun menimbulkan getaran. Tapi, lagi-lagi, kau mengurungkan niat itu.
Kau juga sempat kepikiran bertanya padanya tentang pandangan hidup, kebahagiaan atau sesuatu yang sering dibicarakan para motivator. Tapi kau merasa itu terlalu moralis dan kau mengurungkannya.
Kau membatin, ini kesempatan bagus untuk berkomunikasi, tapi kau justru buntu tak beraturan. Tapi keinginanmu untuk berbicara dengan lelaki separuh alien itu tak terbendung. Kau hanya ingin berbicara. Itu saja.
“Apa yang paling kau benci dalam hidup?” Tiba-tiba pertanyaan itu mengucur saja dari mulutmu. Kau sempat merasa norak, tapi pura-pura biasa saja.
“Kau ingin aku menjawabnya?” Dia balik bertanya.
“Iya, masak aku bertanya pada pohon?”
“Aku benci menjadi dewasa” jawabnya.
“Apa alasannya?”
” Kau ingin aku menjawabnya?” Dia bertanya balik lagi.
“Iya, masak aku bertanya pada pohon?”
“Orang dewasa itu ajaib. Saat ditimpa masalah, mereka selalu menjadi anak-anak kecil. Dan aku membenci itu,”
“Alasannya apa?”
“Kau ingin aku menjawabnya?” Lagi-lagi, dia bertanya balik.
“Iya, masak aku bertanya pada pohon?”
“Anak kecil selalu bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadi dewasa. Sedangkan orang dewasa sering menyelesaikan masalah dengan cara anak kecil. Dan itu, bagiku, serupa kenaifan yang ajaib.”
“Kau tidak bertanya padaku apa yang paling aku benci dalam hidup?” Tanyamu padanya.
“Tidak.” Jawabnya singkat.
“Alasannya apa?”
“Karena kamu sering bertanya alasan.”