Masa revolusi industri 4.0 dalam bingkai pandemi diharuskan kreatif dalam berbagai lini. Sat set wat wet, with computational thinking, bisa jadi opsi solusi.
Nabs, permasalahan selama pandemi membuat beberapa remaja khususnya tingkatan pelajar menengah atas menemui titik boring.
Menghadapi pandemi dengan kemajuan teknologi menjadi sebuah solusi yang terasa pasti walaupun tertatih.
Teknologi membantu aktivitas masyarakat saat diterapkannya pembatasan sosial. Masa revolusi industri 4.0, seperti menuntut kita mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Penggunaan teknologi seakan-akan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Semua kebutuhan dan kewajiban kita dapat terintegrasi dengan praktis.
Pengembangan teknologi dan informasi dilakukan secara masif bertujuan mempermudah pekerjaan manusia yang sudah menggunakan konsep internet of things dan intelegensi artifisial.
Penerapan teknologi dan informasi dalam dunia pendidikan dinilai sangat penting sebagai fondasi generasi selanjutnya, Nabs.
Teknologi mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam jangkauan seluruh wilayah Indonesia yang selama ini menjadi salah satu permasalahan.
Pembelajaran sudah seharusnya didesain sesuai kompetensi abad 21 berbasis digital.
Nabs, computational thinking dianggap salah satu keterampilan yang relevan dengan kompetensi abad 21 berbasis teknologi dan informasi.
Selain itu juga, computational thinking is sometimes portrayed as universal approach to problem solving (Denning & Tedre, 2019). Tahun 1980 dan 1996 computational thinking diperkenalkan pertama kali oleh Seymour Papert.
Pada Maret 2006, Jeanette Wing kembali memperkenalkan istilah computational thinking. Dimana computational thinking merupakan metode menyelesaikan persoalan dengan menerapkan teknik ilmu komputer dan informasi.
Keterampilan computational thinking, pada dasarnya memecahkan masalah yang kompleks dengan sederhana secara tepat. Desain pembelajaran dengan keterampilan computational thinking dinilai relevan dengan kompetensi abad 21 pada semua mata pelajaran termasuk pembelajaran sejarah.
Empat pemikiran computational thinking terdiri dari decomposition, pattern recognition, abstraksi, dan algorithm design .
Nabs, computational thinking membuat berfikir secara cepat dengan menyederhanakan masalah dengan cara paling tepat.
Pertama, decomposition, yaitu memecahkan masalah atau sistem kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih mudah diatur.
Kedua, pattern recognition dengan mencari persamaan di antara dan di dalam masalah.
Ketiga, abstraksi yaitu berfokus pada informasi penting saja, mengabaikan detail yang tidak relevan.
Kemudian, algorithm design, yaitu mengembangkan solusi langkah demi langkah untuk masalah tersebut, atau aturan yang harus diikuti untuk menyelesaikan masalah.
Penulis adalah guru madrasah yang aktif dalam kegiatan-kegiatan pendidikan dan sejarah