Ihwal blusukan di area Bojonegoro Kota dan bagaimana tulisan ini lahir di dunia.
Kamis (8/9) di tengah kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja, harga BBM di Indonesia naik sedangkan harga minyak dunia turun, drama yang diperagakan oleh ‘negara’, dan berbagai peristiwa unik lainnya.
Saya berkendara di area Bojonegoro Kota yang juga tidak sedang baik-baik saja. Perubahan “wajah kota” yang ditandai dengan penabangan pohon, terjadi di Bojonegoro Kota dan sekitarnya. Saya berkendara di Jalan Teuku Umar, Jalan Panglima Sudirman, Jalan Muhammad Husni Thamrin, Jalan Untung Suropati, Jalan Dr. Wahidin, Jalan Diponegoro, dan lain-lain. Hal tersebut saya lakukan karena, pada malam Jum’at ada kegiatan seperti biasa.
Bukan merapal jimat yang marak dikomersialisasikan oleh pemuka padepokan maupun orang-orang yang konon bisa melihat masa depan manusia. Bukan itu, melainkan membuat karya (tulisan) ihwal urban legend kemudian disimak secara jama’ah bersama kawan-kawan di Maktabah, Nabs.
Berkeliling kota juga karena bingung, mau menulis tentang apa, namun berkeliling di area Bojonegoro Kota bisa melahirkan ide yang tak terduga. Pada sore itu, saya ingin menuju ke sebuah gang yang menurut sepengakuan saya, belum pernah saya masuki. Seperti Gang Ringin Catur dan sekitarnya, yang berada di Kelurahan Kadipaten, Bojonegoro Kota.
Ketika masuk di Gang Ringin Catur, membuat saya seolah-olah tidak berada di area kota, melainkan berada di sebuah desa yang berada di jenggala (hutan). Masuk di area Gang Ringin Catur, membuat mata tak henti-hentinya menengok ke segala penjuru. Ada dua orang perempuan dan seorang anak yang sedang berdiri di tengah jalan gang. Mereka sedang bercengkrama dan menikmati sore di Bojonegoro Kota.
Dari kejauhan, nampak pria berkumis tebal, membersihkan badan mobil yang terkena debu jalan. Dan juga seorang bapak-bapak, yang duduk menikmati sore. Saya berhenti sejenak, mematikan mesin motor. Terngiang dalam pikiran, “Ini, daerah apa ya, dulunya?”. Saya berpikir sejenak, selang satu menit, saya mengeluarkan gawai dari dalam tas. Membuka sandi, dan memilih fitur kamera. Saya mengabadikan nuansa Gang Ringin Catur dan sekitarnya pada waktu sore kala itu.
Setelah itu, pikiran saya terbayang, sebuah peta yang ada di perpustakaan digital Universitas Leiden tentang peta Bojonegoro Kota. Dugaan saya, kawasan Gang Ringin Catur yang berada di Jalan Teuku Umar, merupakan perumahan petugas hutan. Nampak dari bentuk arsitektur rumah. Namun, saya agak kebingungan, ketika menghubungkan Gang Ringin Catur dengan urban legend.
“Apakah, dulu, ada sebuah pohon ringin yang rindang kemudian di bawah pohon ringin digunakan untuk bermain catur?”, atau “Di sebuah Kelurahan Kadipaten, ada pohon beringin yang berjumlah catur atau empat?” pikir saya. “Ah…cari yang lain saja,..” saya berpikir seperti itu ketika belum bisa menghubungkan tema urban legend dengan Ringin Catur.
Setelah itu, laju kendaraan saya arahkan ke Jalan Dr. Wahidin. Di sekitar depan gedung Kelurahan Kepatihan, saya berhenti. Ada Gang Srinayan dan Sumur Ringin. Saya menuju Gang Sumur Ringin, dalam hati, ingin bercengkrama dengan warga yang berada di sekitar Sumur Ringin. Namun, seorang warga yang rumahnya dekat dengan Sumur Ringin yang akan saya tuju tertutup pintu rumahnya.
“Lha terus, mau nulis apa?”, pikiran saya terus berputar-putar tentang urban legend yang berada di Bojonegoro Kota. Dalam perjalanan, terilhami kalimat, “Matekram Sang Legenda Bojonegoro Kota”. Saya menuju ke area Ledok. Menuju Jalan Kapten Rameli. Kemudian menuju Gang Matekram lorong I dan IV. Lagi dan lagi, saya masih belum bisa mengaitkan antara “Matekram” dengan urban legend.
Menjelang magrib berkumandang. Terbayang dalam pikiran tentang Andhong Sari dan Gerdu Suto. “Waduh…surup-surup (waktu menjelang azan magrib) masak mau ke makam Andhong Sari?”. Setelah pertanyaan di atas terbesit dalam pikiran, langsung saya menuju ke sebuah warung bakso yang dekat dengan Gerdu Suto. Karena ketika surup berkunjung ‘ziarah’ ke Makam Andhong Sari, saya berpikir lebih dari satu kali.
Sampai di sebuah warung berjenis bongkar pasang yang menjual bakso, saya menikmati semangkuk bakso, krupuk, dan segelas es teh. Dua orang perempuan, satu masih muda, yang satu memasuki usia senja, bergiat di warung bakso dekat Gerdu Suto. Setelah menikmati semangkuk bakso, saya bertanya-tanya ihwal Gerdu Suto kepada perempuan yang memasuki usia senja.
Saya lupa, belum tanya namanya. Perempuan tersebut bercerita kalau Gerdu Suto yang berada di Ledok, Bojonegoro Kota, yang ikonik itu, dibangun oleh Mbah Suto. Maka dari itu, gardu tersebut diberi nama Gerdu Suto. Di sela-sela cengkrama, azan magrib menggema di Bojonegoro Kota. Lampu taman yang berada di pertigaan dekat Gerdu Suto menyala. Malam jatuh di Bojonegoro Kota.