Meski Munir telah tiada, jiwanya akan terus terpelihara dan membiak berganda di tiap jengkal keberanian pemuda Indonesia.
Munir pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia yang sangat dihormati kaum buruh dan disegani pejabat pemerintah. Sebab, Munir sangat benci eksploitasi perusahaan kapitalis atas kaum buruh.
Munir Said Thalib lahir pada 8 Desember 1965, di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Munir keturunan Arab. Seandainya masih hidup, dia sudah berumur 59 tahun.
Orde baru adalah saksi cerewet bagaimana buruh digaji upah minim, kritik dibungkam, oposisi diharamkan. Jika ingin melawan, Dorr!! peluru siap meluncur kapanpun di manapun untuk menembus tubuh.
Sistem pemerintahan yang sangat otoriter dan menakutkan itulah, akhirnya Munir tergerak hatinya untuk melawan ketidakadilan yang sedang terjadi, melalui bermacam giat advokasi.
Ia mengetahui sepahit apa rasanya menjadi buruh di era orde baru kala itu, dan giat mencarikan solusi keadilan terkait apa yang harusnya diterima kaum proletarian.
Ia menyelesaikan beberapa kasus pra reformasi untuk menegakkan keadilan. Dari menjadi penasihat hukum Marsinah hingga kasus-kasus penculikan aktivis.
Namun, perjuangannya menegakkan keadilan sirna pasca ia dibunuh secara dingin — dengan racun arsenik— oleh oknum ketakutan yang sudah merencanakannya sejak awal.
Nabs, keberanian Munir menegakkan keadilan HAM adalah suatu contoh yang harus menjadi tauladan masyarakat Indonesia. Sejenis keberanian yang harus terus dirawat.
Karakter Munir sebagai sosok pemberani memang sudah ia dapat sedari kecil. Waktu kecil, selepas pulang sekolah, Munir mengajak bermain adik dan teman sebayanya di areal persawahan. Tiba-tiba, dia dan adiknya dibully tersebab keturunan Arab berambut pirang.
Munir kecil pun marah merasa terhina. Ya iyalah, lha wong saya yang pribumi saja, bakal marah-marah kalau dianggap mirip orang jepang. Bukan karena tak mau tampan, tapi karena jauh dari kebenaran aja.
Munir yang berbadan lebih kecil pun, tak gentar dengan perkelahian. Padahal, kalau ditinjau secara fisik, Munir kalah segalanya dari lawannya. Namun, ia terbukti berani melawan yang secara fisik lebih besar darinya. Sejak kecil, Munir memang tak pernah takut kepada siapapun, asal dirinya benar.
Teman semasa SD Munir, Saiful Amin pernah bercerita. Dia dan Munir dulu suka main bola di sawah. Kalau memancing dan berenang, suka di Sungai Brantas. Dia juga suka berkreasi membuat mobil-mobilan dari pelepah dan batang pisang.
“Dia juga suka bermain layang-layang,” kata Amin.
Ibu Faridah, guru SD Munir menceritakan, sejak kecil Munir memang sosok yang suka membela temannya yang lemah. Berani melawan demi membela temannya yang lemah. Dari sifatnya itu, Munir memiliki banyak teman.
“Munir sering melawan dan berkelahi untuk membela temannya yang lemah.” Kata Bu Faridah.
Selepas sekolah dasar, Munir melanjutkan pendidikan ke SMP di Batu. Di sini, para guru mengenalnya sebagai sosok siswa pemberani.Tak segan, Munir suka berdiskusi dan bertanya secar kritis mengenai banyak hal di hadapan guru. Berbeda dengan siswa sebayanya yang kala itu malu-malu dan apatis saat bertemu guru.
Saat seorang dokter hadir ke sekolah Munir untuk pemeriksaan kesehatan, misalnya, tiba-tiba Munir berseloroh dan bertanya: kenapa rambutnya berwarna merah dan berbeda dengan rambut temannya yang berwarna hitam? Ia tak canggung, dan terlihat mudah berkomunikasi.
Sementara saat bersekolah di SMA Batu, Munir dikenal suka duduk di bangku belakang. Saat guru menerangkan pelajaran, Munir sering terkantuk-kantuk. Kadang sampai tertidur di dalam kelas. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, Eny Suningsih, sering meminta Munir membasuh wajahnya di kamar mandi.
Namun, saat mendapat tugas dan maju menjawab pertanyaan, Munir bisa memberikan jawaban yang benar layaknya Gus Dur yang tertidur kala diskusi, tapi nyambung dan tepat saat kebagian waktu berbicara.
Nabs, dengan riwayat masa kecil yang memukau seperti itu, tak heran ketika kelak, Munir menjadi tokoh HAM paling penting di era Orde Baru hingga Reformasi Indonesia. Meski Munir telah tiada, jiwanya akan terus terpelihara dan membiak berganda di tiap jengkal keberanian pemuda Indonesia.