Tapi, sekali lagi, hormatlah pada nila-nilai kebaikan yang diajarkan oleh siapapun, terlepas ia guru atau bukan.
Tik tok tik tok… …Jam dinding dalam rumah akan berhenti saat baterai habis saja. Setiap hari jam selalu bekerja, akan terus berputar dan berpindah dari satu angka ke angka lainnya.
Seperti cintaku, putus dari A pindah ke N. Itu artinya, hari juga demikian selalu berganti. Tapi semoga cintaku tidak selalu berganti. Wqwq ~
Mata sudah sangat lelah sekali, tak kuasa menahan segala lelah yang sudah menunggu badan untuk diistirahatkan. Rasa lelah segalanya tergeser usai melirik di dinding depan terlihat jelas, hari ini tepat 25 November 2020.
Tentu saja ingatanku merujuk kesana. Di tanggal itu ada peringatan hari besar. Melebihi besarnya janji-janji dia padaku kala itu… Huft.
Ya, apalagi kalau bukan Hari Guru Nasional. Nabsky, seberapa penting hari guru bagimu? Seberapa pentingnya ucapan itu diberikan? Seberapa pentingnya harus diperingati?
Seberapa pentingnya harus memberi setangkai bunga? Seberapa pentingnya berfoto-foto untuk merayakannya?
Tentu saja itu semua memiliki level derajat penting, dan masing-masing tergantung pada siapa yang mendefenisikannya.
Nabsky yang kusanyangi, segalnya di hari guru. Sorak-sorak lagu “Terima Kasihku” akan selalu terngiang di telinga. Semua lagu pujian akan terus mengalir menyertai peringatannya. Semua akan banjir menerima ucapakan selamat, kasih, doa-doa baik, harapan, dan bentuk puja-puja.
Tidak heran saat peringatan Hari Guru tiba, yang kita dengar adalah sejuta sanjungan. Termasuk untuk guru-guru kita tercinta.
Memang betul, Nabs. Tanpa guru musthail saya bisa menulis sesemangat ini. Tanpa guru mustahil saya bisa membaca. Tanpa guru mustahil saya tahu mana orang kaya mana orang miskin, mana kebaikan dan mana keburukan. Untuk itu memuliakan segala bentuk nilai kebaikan dan kemaslahatan yang diajarkan adalah suatu ketakdziman. Dan itu akan terus saya usahakan dan lakukan.
Namun satu yang perlu diingat. Tidak semua yang berkaitan dengan guru akan selalu baik dan benar. Sama halnya, tidak semua yang berkaitan dengan guru harus dan terus kita ikuti.
Lagi-lagi, sebagai manusia. Kita berbeda dengan hewan. Diberi akal sehat, untuk berpikir dan selalu belajar, mengolah emosi, mengolah rasa, mengolah segala hal yang ada, menimbang segala risiko yang ada, merefleksikan apa yang akan terjadi.
Sadar atau tidak kita sering terjebak dalam relasi kuasa yang selalu kita anggap baik-baik saja dan benar. Atau bahkan sama sekali tidak kita sadari.
Anggapan, guru adalah pahlawan yang selalu dimuliakan memang benar. Dalam garis besar jika cara memaknainya tepat dan pas.
Sudah sejauh mana memaknai kalimat itu dengan hati, Nabsky? Memuliakan memang perlu dan sudah sepatutnya sebagai murid berupaya terima kasih atas jasanya.
Saking memuliakannya jangan sampai kita lupa dengan berbagai macam rupa dunia lainnya yang juga pastinya butuh jawaban dari kita pribadi dalam melihat dunia tanpa terikat atau ikut dengan guru untuk memutuskannya. Tidak semua, namun ada hal-hal tertentu.
Saat menghadapi sebuah situasi yang dirasa cukup sulit. Pernah tidak kita menimbangnya? Jika memilih keputusan A dan itu selaras dengan yang dikehendaki guru, sekalipun itu baik tapi dampaknya apakah maslahat untuk khalayak umum? Atau justru itu menguntungkan kepentingan kelompok? Menguntungkan satu pihak saja dan banyak merugikan publik.
Poin-poin semacam itu yang sering kali dianggap tabu, sehingga ragu untuk dilakukan. Merasa takut jika akan menimbulkan masalah baru saat tidak mengikuti sarannya dan dianggap sebagai murid yang kurang baik.
Sesungguhnya itu adalah salah satu persoalan dari pelbagai ribuan masalah dalam kehidupan. Khususnya di lingkungan pendidikan.
Ketika hal-hal semacam ini masih terus dan sering ada, maka dunia pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang diharapkan.
Ruang-ruang berpikir bebas, menentukan segala ide-ide masih sering dibatasi, tidak adanya kerelaan guru untuk memberi ruang bicara pada muridnya dalam mengambil sebuah keputusan atau tidak memfasilitasinya. Justru malah sering terkesan mendikte.
Tentu hal ini dipicu banyak para kawula muda yang sering terbelenggu pada zona nyaman, sering acuh dengan segala situasi yang ada. Sebab sudah tertanam dibenaknya sosok guru “digugu lan ditiru” padahal mustinya hal ini bisa dimaknai dengan kacamata yang luas.
Yang berseragam, mengajar, dan berbayar belum tentu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Namun siapapun yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupannya, mereka adalah guru. Sekalipun tidak berprofesi sebagai guru. Itu patut kita apresiasi sebagai guru, ya guru kehidupan.
Membahas tentang kita wajib menghormati guru-guru kita juga memang tepat. Tapi kembali lagi, hormat itu bukan pada orang tapi pada nilai-nilai kebaikan yang diajarkannya.
Sebab apa, kita semua hidup di dunia sama. Yang membedakan adalah status sosial dan nasab. Selama kita bukan nabi, peluang menjadi sempurna itu tipis. Bisa disimpulkan kita semua sama di hadapan Tuhan kita masing-masing.
Untuk apa hormat pada sesama hamba? Sekali lagi hormatlah pada nila-nilai kebaikan yang diajarkan oleh siapapun, terlepas ia guru atau bukan itu beda cerita.
Seperti halnya kata Gus Dur, guru spiritual saya adalah realitas, guru realitas saya adalah spiritualitas.
Semoga melalui tulisan ini kita selalu mau belajar selalu. Selamat Hari Guru, terima kasih wahai guru kehidupan saya, keluarga saya, kyai-kyai saya, guru di lingkungan sekolah dan teman-teman saya. Kalian semua adalah guru dalam kebaikan.