Lhaiya. Lha wong ikut acara sakral Kamisan nun jauh di sana kok ya nggak sengaja melihat orang latihan tari Thengul di videotron. Panggah kelingan sliramu aku, Nabs.
Ngomong soal Kamis, banyak penjelasan tentangnya. Ada tentang puasa Sunnah Kamis, Yasinan Kamis, Sunnah Rasul dengan beragam varian, hingga laporan perbuatan manusia naik ke langit pada hari Kamis.
Memang hari Kamis benar-benar istimewa, lantas bagaimana Kamismu, Nabsky?
Berbicara soal kamis. Saya ingat saat sedang menginjakkan kaki di Jakarta beberapa waktu silam. Waktu itu, saya sedang ikut sebuah pelatihan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di sana.
Senang campur syukur. Bisa bertemu, berinteraksi, dan berdiskusi dengan aktivis-aktivis dari berbagai penjuru negeri yang berkecimpung dalam bidang hukum dan HAM.
Tepatnya Kamis Agustus 2019. Berhubung Agustus bulan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Investor Indonesia (NKRI), beberapa daerah di tanah air ramai dengan iklan sampo umbul-umbul yang beraneka ragam dan warna.
Ada motif merah dan putih, gambar proklamator RI (Bung Karno dan Hatta), dan beragam jenis variasi lainnya. Apalagi tempatnya berada di pusat pemerintahan negara kayak Jakarta.
Wow…pastinya ramai bingitz dung. Di depan Istana Negara dengan penjagaan super ketat hingga sulit bernafas dan bisa dikunjungi oleh semua rakyat Indonesia orang-orang tertentu saja tersebut.
Kamis itu, suasananya berbeda. Penulis bersama kawan-kawan ngangsu kaweruh tentang hukum dan HAM di suatu tempat dengan balutan nuansa kemerdekaan.
Bermalam di sebuah tempat yang berada di Jakarta Pusat. Dekat dengan penjual bubur ayam Cikini, riuh ramai Ibu Kota menjadi alunan musik yang tak berirama saban hari.
Dari suara kokok ayam yang jarang terdengar hingga matahari terbenam, Jakarta tetap ramai. Benar kalau ada ungkapan Jakarta tidak tidur, yang tidur beberapa penghuninya saja.
Waktu itu, kami ikut agenda yang hanya dilihat Presiden dari balik kaca mobil dengan pengawalan TNI dan polisi. Aksi ini sangat sakral nan melegenda bagi aktivis Ibu Kota dan kita semua.
Sebuah aksi yang sudah tak asing lagi bagi warga yang kerap melintas di sekitar depan Istana Negara saban Kamis. Jangan bilang orang Indonesia, kalau belum ikut dan menyuarakannya, hehe..
Aksi humanity dengan ciri khas payung hitam, dan suara; “hidup korban”, “jangan diam”, dan “lawan” menjadi pemompa semangat untuk menyuarakan keadilan. Walau panas dan hujan, aksi ini akan terus dan tetap berjalan.
Yap..apalagi kalau bukan Aksi Kamisan. Nabsky, pastinya tidak asing dengan nama-nama aktivis seperti Hendriawan, Elang Mulya Lesmana, Petrus Bima, Cak Munir Said Thalib, dan sebagainya.
Apakah Nabsky masih ingat dengan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)? Yang diajarkan dan dipelajari ketika duduk di bangku putih merah, putih biru, putih abu-abu, hingga menempuh studi di Perguruan Tinggi?
Masih ingat dengan materi hukum dan HAM yang membahas mengenai pelanggaran HAM seperti peristiwa Talangsari, Tanjung Priuk, Mei 98, penembak misterius alias petrus, dan sebagainya?
Dalam beragam peristiwa seperti yang tersebut di atas, terdapat orang-orang yang menjadi korban. Nah aksi Kamisan, berfungsi sebagai alarm atau pengingat tercapainya keadilan. Sekaligus menghakimi para dalang dan terduga pelaku pelanggaran HAM.
Nah, ketika membahas PPKN, saya ingat sejumlah guru yang mewaranai dinamika intelektual seperti Bu Leli, Bu Kiswati, dan Bu Ike. Apalagi saat mbahas HAM, selalu terngiang Bu Kiswati, sebab cara melafalkan “HAM” sangat berkarakter dengan intonasi yang khas tiada duanya.
Beliau mengucapkannya dengan, “HAAAAM” pastinya kenangan itu akan selalu mukim di otak dan pikiran, sekaligus menunjukkan eksistensi atau keberadaan Bu Kiswati sebagai pejuang HAM di sekolahan. Hehe
Kembali ke Jakarta. Dengan terik mentari yang menyengat, gedung-gedung pencakar hati langit bertebaran di mana-mana, ikon-ikon Ibu Kota yang dulu hingga sekarang sering nongol di beberapa cover buku mata pelajaran ketika duduk di bangku madrasah bisa disaksikan dengan mata telanjang seperti monumen nasional (monas), gedung mahkamah konstitusi RI, istana presiden, dan banyak lagi.
Selain itu, ketika berada di Jakarta, saya teringat puisi karangan Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul Gadis Kecil Berkaleng Kecil yang begitu ciamik dimusikalisasi duet maut Kang Ari dan Mbak Reda di Galeri Indonesia Kaya (GIK).
Sepanjang perjalanan, sembari menikmati pemandangan Ibu Kota dan ingatan akan puisi tersebut, membuat kesan tersendiri.
Dalam perjalanan menuju depan Istana Negara menggunakan Bus Kopaja, kawan-kawan yang berasal dari beragam daerah bercampur menjadi satu. Untuk memecah keheningan, kita bermain sahut-sahutan pantun. Gelak tawa mewarnai sepanjang perjalanan menuju depan Istana Negara.
Jarak semakin dekat, di sekitar Istana berdiri mas-mas polisi dengan gagah dan agak berkeringat alias mruntos. Kemudian kita memulai aksi, dengan mengenakan pakaian hitam dan ada yang membawa payung hitam langsung head to head dengan mas-mas calon menantu idaman ibu-ibu itu.
Keberadaan intel juga mudah terendus kalau lebih cermat dalam memahami situasi dan kondisi seperti itu. Mereka biasanya melakukan hal-hal sederhana atau tak pernah kita pikirkan sebelumnya.
Misal, nongski tampak sopan dan santuy, nyruput kopi, dan melamun. Tapi juga menajamkan pandangan untuk melihat situasi dan kondisi terkini, kemudian melapor ke atasan.
Kalimat “hidup korban”, “jangan diam”, dan “lawan” menggema dan mengalur-alur di depan Istana Negara. Semacam penyemangat untuk menyuarakan keadilan. Kalau masih ada yang berpikir aksi tersebut kurang gawean atau sia-sia, berarti mereka kurang piknik.
Bayangkan, Nabs. Bagaimana jika salah satu dari keluarga tercinta kita ada yang dihilangkan secara paksa, di-interogasi tanpa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan, dianiaya, dan sebagainya. Betapa pedih dan perih sanubari.
Ketika aksi Kamisan berlangsung. Mata saya menengok ke sebuah videotron yang ada di depan Istana. Lhadalah….yang ditampilkan adalah tari dengan ciri khas gerakan metenteng dan methungul, apalagi kalau bukan tarian khas Kabupaten yang katanya lumbung pangan dan energi: Bojonegoro.
Waw…….rasa rindu kampung halaman dan kelingan sliramu membuat campur aduk isi kepala. Eits, jangan terbawa suasana, saya berpesan dalam sanubari bahwa yang utama di sini adalah aksi Kamisan, bukan menonton latihan Tari Thengul yang terpampang di videotron dalam rangka seremonial kemerdekaan itu.
Saya sempat mikir. Lhaiya. Lha wong ikut acara sakral Kamisan nun jauh di sana kok ya nggak sengaja melihat orang latihan tari Thengul di videotron. Panggah kelingan sliramu aku, Nabs. Pertanda apa ini? Apa jangan-jangan ada pelanggaran HAM di dalam eh….
Senja menyapa Ibu Kota. Poster, orasi, pembacaan puisi, dan foto-foto terduga pelaku pelanggaran HAM terpampang jadi pernak-pernik aksi Kamisan. Setelah aksi Kamisan usai, saya dan kawan-kawan kembali ke Kopaja.
Menyaksikan lalu-lalang kendaraan yang padat merayap, orang-orang berjalan di trotoar, dan tidak lupa kita kembali bermain sahut-sahutan pantun untuk meramaikan suasana serta menambah keakraban dan mempererat tali sliaturahim antar peserta.
Akhir kata, namun bukan akhir segalanya. Saya ingin mengutip kalimat dari Cak Munir, “Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas”.
Baik, Nabs. Selamat Kamis malam Jum’at. Bagi Jurnabiyyin yang tak asing dengan lagu “saban malam jum’at ahli kubur muleh nang omah, kanggo njaluk dungo wacan qur’an senajan sak kalimat….”. Sila yasinan, ngopi, ngudud, dan aktivitas lainnya. Oh ya, jangan lupa kirim do’a buat para pejuang (kemanusiaan) dan anggota keluarga yang telah mendahului kita (wafat).