Aku akan tenang dengan semua penularan lewat jalur manapun, asal jangan sentuhan.
Langit malam semakin pekat. Rembulan terselimuti awan gelap. Bintang gemintang memilih bersembunyi di balik kabut hitam.
Perlahan halilintar menyambar. Mendung datang. Cakrawala menitikkan air mata. Pelan hingga membuncah. Kristal bening tumpah ruah memenuhi bumi. Dingin.
Suara gaduh terdengar dari kamar VVIP Rumah Sakit Purnama. Salah seorang dokter hampir saja diserang pasien corona dengan ludahnya. Tapi, berhasil menghindar.
Sedang pasien itu, tergeletak memejamkan mata setelah disuntik obat penenang. Tertidur.
“Maaf, saya tidak sanggup,” ujar salah satu suster ragu-ragu di ruang perawat, saat dia ditanya apakah siap merawat pasien corona itu.
Satu per satu para suster menolak dan mundur.
“Brak!”
Suara gebrakan meja terdengar nyaring. Semua menunduk. Takut.
“Kalian mau dipecat? Ini sudah menjadi resiko. Siapa pun itu harus mau,” bentak Kepala Perawat.
“Saya, Bu. Saya yang akan menjaganya. Tanpa perlu digilir,” ucap Ellisa ragu-ragu.
“Apa? Jangan Ell, terlalu berbahaya. Saya akan mencarikan suster lain untuk pasien itu,” sahut Dokter Firman yang tiba-tiba datang.
Semua terdiam.
“Tidak perlu, Dok. Saya siap.”
Itu adalah keputusan Ellisa. Meski sesungguhnya rasa takut itu menyelimuti nyalinya. Rasa khawatir itu menghantuinya.
Tapi, bukankah memang sebagai umat islam kita diperintah untuk saling tolong menolong? Tanpa membedakan setitik apa pun?
** **
Amarah Rayhan tak menyurut juga. Setelah sadar dan melihat Ellisa menyiapkan obat-obat untuknya, rencana itu kembali datang.
Dia geram akan takdir Tuhan. Mengapa hidup sekonyol ini? Sekejam ini? Bukankah selama ini dia berbaik sikap? Bukankah selama ini dia mematuhi ajaran Tuhan? Bukankah selama ini dia tak pernah memakan barang haram? Tangannya menggenggam erat selimut. Menyimpan amarah
Hasrat menularkan penderitaannya kembali datang. Toh katanya berbagi itu indah. Namun, niatnya urung dilakukan ketika melihat Ellisa tak takut sekalipun. Tetap tenang.
“Kau tidak takut aku ludahi?” Tanya Rayhan.
“Mengapa harus takut? Aku justru takut bila kamu memegangku tanpa penghalang apa pun,” jawab Ellisa yang masih sibuk dengan obat-obatan itu.
“Bukannya penularan virus corona juga bisa lewat ludah?” Pertanyaan itu berlanjut.
“Memang. Bukan hanya itu, bisa lewat berbicara, batuk dan bersin juga sentuhan,” jawab Ellisa yang sedang memasang suntik di infus Rayhan.
“Lantas mengapa kamu tidak takut ketika ingin kuludahi?” Rayhan terus bertanya.
“Di lauhul mahfudz, jodoh, mati dan rezeki sudah tertuliskan dengan jelas. Bila memang kematianku berkahir dengan corona, aku ikhlas. Karena itu takdir yang dipilihkan Tuhan. Aku akan tenang dengan semua penularan lewat jalur manapun asal jangan sentuhan,” terang Ellisa panjang lebar.
Obat-obat itu dirapikannya kembali. Lantas bersiap untuk pergi.
“Sebentar aku ingin bertanya.”
Langkah Ellisa terhenti. Berbalik badan dan bertanya, “ada apa?”
“Mengapa kamu tak ingin disentuh?”
“Jika sehelai rambutku terlihat oleh yang bukan mahram, neraka menungguku. Maka apalagi sentuhan. Dan bila aku terpenjara di neraka, maka ayah, saudara lelakiku dan kelak suamiku akan terjerat pula. Aku tidak ingin kesalahanku ditanggung oleh orang-orang yang tak bersalah.”
Hening. Rayhan diam membisu. Sedang Ellisa keluar ruangan. Di benak Rayhan, Ellisa tampak berbeda. Tidak seperti suster kemarin yang lari gulungkuming ketakutan. Ellisa benar-benar berbeda.
** **
Malam itu bulan menyabit. Tak ada awan yang jadi selimut malamnya. Hanya ada bintang gemintang yang jadi temannya. Terang. Tenang. Indah.
Rayhan menatap kuasa Tuhan dari balik jendela rumah sakit. Wajah Ellisa muncul seketika di antara beribu bintang. Tersenyum. Bertutur ramah.
Sekejap suster cantik itu datang. Membawa senampan makan malam dan obat-obatan. Berusaha menyembuhkan Rayhan dari penyakit mematikan.
Penyakit yang didapat Rayhan dari temannya. Mungkin itu alasan Rayhan ingin menularkan virus itu. Agar orang lain juga merasakah betapa sakitnya dia. Betapa kesepiannya dia dikucilkan.
“Apakah pasien yang bernama Johan masih hidup?” Tanya Rayhan.
“Masih. Namun keadaannya semakin hari kian memburuk,” jawab Ellisa.
“Ibuku pernah berkata, bila gigi dibalas gigi, bila mata dibalas mata, maka semua orang di dunia akan buta. Bukankah hidup terlalu singkat untuk saling membenci? Maka jangan sia-siakan. Jangan membenci orang yang telah menyakiti.” Tiba-tiba Ellisa berpetuah seperti itu.
Dia tahu bahwa Johan yang membuat pasien dua puluh tujuh tahun itu tergelatak tak berdaya.
“Mereka melakukan itu sebab iri, dengki. Jika kamu membalas, lantas apa bedanya kamu dengan mereka? Jangan hidup kayaknya binatang. Buas. Penuh amarah. Dendam kesumat.”
Pergi. Ya, Ellisa langsung pergi tanpa menunggu reaksi Rayhan. Pasien itu hanya terpaku. Sekali lagi terpana oleh kata-kata suster itu.
Mungkin benar, jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, maka semua akan nampak lebih baik. Lebih bahagia.
Seperti halnya virus corona. Coba kita lihat dari sudut pandang yang lebih baik. Semua yang diciptakan Tuhan, pasti ada sebab dan akibat.
Sebab corona lah Rayhan menyadari kekeliruannya. Akibatnya dia bertemu Ellisa yang membuat hatinya mulai luluh. Dendam itu perlahan padam. Dan dia mulai berdamai dengan langit.
** **
Siang itu Dokter Firman memeriksa perkembangan Rayhan. Cukup baik. Suster Ellisa membantu. Mereka terlihat sangat dekat. Bahkan sepertinya lebih dari akrab.
Jantung Rayhan berdegup kencang. Ada rasa yang berbeda. Cemburu? Entahlah, dia tak begitu pandai menafsirkan perasaan.
“Sus, umurmu berapa?” Tanya Rayhan tiba-tiba saat waktu minum obat.
“Dua puluh lima.”
Dua tahun lebih muda darinya. Tapi tutur katanya begitu sederhana namun cukup menusuk jiwa untuk diresapi. Dipahami. Bagaimana adilnya langit membagi takdir.
Ellisa lah yang berkata bahwa tak peduli dengan cara apa manusia berakhir. Yang terpenting ketika Malaikat Maut menjemput, manusia dalam keadaan beriman. Islam. Dan meninggal dengan penghujung yang baik. Khusnul khotimah.
Bukankah lebih baik buruk di awal namun baik di akhir?. Dari pada terlahir sebagai ulama namun mati sebagai orang bejat?
“Sus, aku ingin shalat.” Ragu-ragu Rayhan berucap.
Bingkai itu tersenyum. Indah. Begitu manis. Parasnya semakin ayu.
“Sebentar.”
Dengan bahagia, Ellisa mengambil sapu tangan. Mengusapkan kain itu pada bingkai jendela agar tak berdebu. Lantas menyodorkan pada Rayhan.
Tangan Rayhan tertadah. Mulutnya basah. Hatinya pilu. Matanya sendu. Air itu, perlahan turun.
*****
“Brak!”
Suara nampan berisi obat-obatan terjatuh dari tangan seorang dokter ketika melihat Ellisa tersungkur masih menggunakan mukena.
Rayhan terduduk lemah di sampingnya. Suster itu berlari kencang. Sekejap para perawat dan Dokter Firman datang. Tubuh mungil itu langsung dibopong Dokter Firman. Dibawa ke UGD.
Sedang matanya menatap tajam Rayhan. Semburat amarah terpancar di wajahnya. Lelaki itu, iya Rayhan, penyebab dara yang dicintainya tak sadarkan diri.
Di UGD didapati Ellisa sudah tak bernyawa. Tangan Dokter Firman mengepal. Menyimpan amarah yang begitu besar. Secepat kilat dia keluar menemui Rayhan yang sedari tadi mengintip keadaan Ellisa di balik jendela ruangan.
Hantaman keras melesat dengan cepat. Tubuh lemah Rayhan tersungkur. Sekali lagi. Lagi. Dan lagi serangan itu terus bertubi-tubi hingga salah satu dokter melerai.
“Bajingan! Bangsat! Kau apakan Ellisa?”
“Sungguh aku tidak bersalah.”
Buggg!
Pukulan itu kembali mendarat. Dokter itu segera membawa Dokter Firman pergi. Kemudian CCTV rumah sakit kamar Rayhan di rawat diputar.
Saat itu Ellisa tengah shalat. Sedang Rayhan memerhatikan dengan tatapan kekaguman. Ketika bersujud di rakaat terakhir, tubuh itu tak segera bangun. Hampir lima belas menit.
Rayhan khawatir. Selang infus dicopot dari tangannya. Mencoba menggoyangkan tubuh Ellisa. Badan itu ambruk. Dengan ketakutan dia memegang pergelangan tangan dengan satir mukena.
Rayhan tahu dia harus menjaga kehormatan Ellisa. Katanya tak boleh sedikitpun tersentuh. Denyut nadi itu tak ada. Telunjukknya mendekat di depan hidung Ellisa. Nafas itu, nafas itu tak berhembus. Dia menjemput akhir yang bahagia. Saat tengah bercinta dengan Tuhannya.
*****
Lima tahun kemudian.
“Maaf Bu, untuk rawat inap harus menyelesaikan biaya administrasi dulu,” tegas suster pada ibu dengan anak kecil di gendongan.
“Saya janji Sus, setelah ini saya lunasi. Tolong anak saya. Saya mohon Sus.”
“Ada apa ini?”
“Ini Dok, ibu ini tidak punya biaya untuk perawatan.”
“Silahkan di bawa ke UGD adik itu. Semua biaya saya yang tanggung.”
Sejak kematian Ellisa, Rayhan divonis sembuh total dari corona. Sejak saat itu juga dia memutuskan untuk kuliah jurusan kedokteran. Menjadi dokter dan membantu siapa pun tanpa pandang bulu.
Tuban, Kamis 19 Maret 2020