Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi menjadi tersangka kasus korupsi. Hal tersebut ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (18/9/2019) malam. Imam Nahrawi diduga menerima dana suap sebesar Rp 26,5 milyar. Kasus tersebut merupakan bagian dari kasus dana hibah KONI pada 2018.
Presiden RI, Joko Widodo mengatakan bahwa dia sudah bertemu dengan Imam Nahrawi. Itu terjadi pada Kamis (19/9/2019) pagi. Selalin menemui Jokowi, Imam juga menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Menpora.
“Tadi juga sudah disampaikan kepada saya surat pengunduran diri dari Menpora, bapak Imam Nahrawi,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta dikutip dari CNN Indonesia (19/9).
Imam Nahrawi menyatakan mengundurkan diri dari kursi menteri. Itu dia lakukan dengan memberikan surat pernyataan kepada Jokowi. Setelah itu, Imam menyatakan permintaan maaf kepada seluruh pihak. Baik presiden, wakil presiden, partai pengusung, serta masyarakat Indonesia. Itu dia lakukan di depan Gedung Menpora.
“Permohonan maaf saya kepada bapak presiden, bapak wakil presiden, ketua umum PKB, PBNU dan rakyat Indonesia, sekaligus saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kolega di Kemenpora,” kata Imam Nahrawi dikutip dari Antara (19/9).
Imam Nahrawi undur diri dan ingin berkonsentrasi menghadapi kasus hukum yang menimpanya. Dia juga berharap bahwa segala kebijakan Menpora tetap berlanjut. Jangan sampai kasus yang dia alami berdampak terhadap masyarakat.
Dia mengaku siap mengikuti proses hukum yang ada. Selain itu, dia berharap nantinya kasus ini terbuka. Proses hukum yang berlaku dapat memberikan jawaban sebenar-benarnya. Sehingga nantinya kasus ini akan terungkap.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian memuji keputusan tersebut. Dia menilai mundurnya Imam Nahrawi dari jabatannya sebagai sikap yang bijaksana. Pasalnya, Menpora termasuk mitra kerja Komisi X DPR RI. Mitra tersebut sempat mendapat penilaian Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
“Meskipun dalam prinsip hukum di Indonesia menerapkan azas praduga tak bersalah, tapi keputusan Imam Nahrawi mengundurkan diri adalah sikap yang bijaksana,” kata Hetifah Sjaifudian dikutip dari Antara.
Sikap yang diambil Imam Nahrawi boleh diacungi jempol. Pasalnya, status tersangka masih belum membuktikan bahwa dia bersalah. Namun, ini keputusan yang cukup berani dan terpuji. Tidak semua pejabat yang tersandung kasus mau untuk melakukannya.
Sebelumnya, pengunduran diri sudah banyak dilakukan para pejabat di lain negara. Itu dilakukan karena adanya kasus yang menyeret nama mereka. Bahkan, hanya karena kegagalan memberikan pelayanan. Namun, itu tidak terjadi di Indonesia. Mungkin ada, hanya tidak terdengar kabarnya.
Ini mengingatkan pada mantan Perdana Menteri China, Zhu Rongji. Zhu dilantik menjadi perdana menteri pada Maret 1998. Dalam pidato pelantikan tersebut, dia berani berkata lantang untuk melawan korupsi.
“Berikan kepada saya seratus peti mati. Sembilan puluh Sembilan untuk koruptor dan satu lagi untuk saya jika saya melakukan hal yang sama,” kata Zhu.
Kalimat tersebut berhasil membuat China berubah. Semenjak itu, China tak lagi sama. Besar atau kecil, segala bentuk korupsi dilawan. Dalam tiga tahun awal menjabat, terdapat lebih dari 4 ribu koruptor dihukum mati.
Permintaan maaf dan pengunduran diri tersangka korupsi termasuk sikap bijaksana. Itu jika dilihat dari skema Indonesia. Berbeda dengan di luar negeri. Permintaan maaf dan pengunduruan diri memang layak dilakukan. Ini sebagai tanggung jawab moral pemimpin negara atau pelayan publik.
Sikap yang diambil Imam Nahrawi memang bijaksana. Namun, bukan berarti bisa dianggap sebagai pahlawan. Ini merupakan tanggung jawab dan etika moral sebagai seorang pejabat publik. Pada nantinya, keputusan tetap beradai ditangan hukum.
Korupsi termasuk bentuk pengkhiantan terhadap negara. Dalam hal ini, negara adalah masyarakat. Pasalnya, adanya negara adalah untuk melindungi dan mensejahterakan warganya. Jika koruptor adalah penkhianat negara, tidak ada hukuman pantas selain mati. Itu karena pengkhianat memang layak untuk mati!








