Keikhlasan Salman Al Farisi, adalah inspirasi lelaki dalam hal berkorban. Atau menerima takdir. Atau menerima kenyataan. Atau menerima kekalahan.
Salman Al Farisi merupakan sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang masyhur tampan dan cakap. Kisah cinta dan bagaimana ia menerima kenyataan, adalah inspirasi bagi lelaki untuk bersikap rela secara elegan.
Dalam tiap buku sejarah Islam, peran Salman (dalam perang Ahzab dan idenya membuat jurang buatan saat berperang) selalu dituturkan. Bahkan, Salman identik sebagai pahlawan dalam perang Ahzab.
Banyak yang tahu jika Salman sosok sahabat yang teramat tampan dan rupawan. Berjiwa kesatria, gagah, dan memiliki keberanian di atas rata-rata. Perempuan mana yang tak kepincut pada sosok Salman?
Namun, jarang yang tahu jika Salman Al Farisi juga memiliki riwayat kisah cinta yang menggetarkan jiwa. Kisah tersebut termaktub dalam kitab Shifat al-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi.
Dikisahkan oleh Ibnu al-Jauzi, kala itu, Salman jatuh cinta dan berkeinginan menikahi seorang perempuan.
Salman pun minta bantuan Abu Darda. Sebab, Abu Darda sudah kenal pihak keluarga perempuan.
Salman menemui Abu Darda untuk meminta tolong agar keinginannya melamar gadis pujaan itu disampaikan pada keluarga si gadis. Karena takzim pada sahabatnya tersebut, Abu Darda pun menyanggupi dan pergi menemui keluarga si perempuan.
Setelah menemui keluarga perempuan tersebut, Abu Darda bercerita pada mereka tentang keunggulan dan kebaikan-kebaikan Salman sebagai sahabat senior yang lebih dulu masuk Islam. Setelah itu, ia utarakan maksud kedatangannya: meminang anak perempuan mereka untuk Salman.
Namun, di luar dugaan, keluarga perempuan itu malah berkata bahwa mereka tidak akan menikahkan anak perempuan mereka pada Salman. “Maaf, kami tidak akan menikahkan anak perempuan kami kepada Salman.” Kata satu di antara keluarga perempuan itu.
“Mengapa? Bukankah Salman orang baik. Sahabat saya yang diakui keilmuan dan kesalehannya?” Tanya Abu Darda terkejut.
“Kami sudah lama ingin menikahkan anak kami dengan orang lain,” jawab keluarga perempuan itu. “Kami sudah lama berharap menikahkannya dengan kamu! Ya, denganmu!” tuturnya lagi, yang memicu Abu Darda kaget tak karuan.
Mendengar itu, Abu Darda pun bingung. Senang dan sangat sedih. Senang karena tiba-tiba akan menikah dan sedih karena tak bisa memenuhi permintaan sahabatnya, Salman Al Farisi.
Bahkan, sebelum Abu Darda pulang, keluarga perempuan meminta agar Abu Darda segera melaksanakan akad nikah — sesuatu yang tak bisa ditolak Abu Darda. Pasca di-akadkan, Abu Darda baru pulang.
Abu Darda pun menemui Salman dan menjelaskan hasil perjumpaannya dengan keluarga perempuan. Meski, tentu saja, dia sedikit merasa bersalah. Sebab, sebelumnya, Darda sudah melaksanakan akad nikah.
“Pripun, ada informasi apa, Abu Darda?” Tanya Salman.
“Kemarin aku sudah datang ke keluarga perempuan yang njenengan inginkan. Namun, ternyata, pihak keluarganya berkehendak lain. Maafkan saya, Kang Salman.”
“Berkehendak lain bagaimana?”
“Ternyata mereka sudah merencanakan menjodohkan anaknya dengan saya. Dan selama ini saya tidak tahu akan hal itu. Jadi, saat ini, gadis itu sudah kunikahi, Kang. Maaf. Sebenarnya, saya sungkan sama njenengan, Kang” jawab Abu Darda sambil menunduk.
Mendengar kisah itu, Salman tidak marah dan tidak berpikir macam-macam. Bahkan, Salman merelakan gadis pujaannya itu menikah dengan Abu Darda. Dan justru, Salman memberi restu kepada Abu Darda.
“Tidak apa-apa, mestinya saya yang lebih malu. Kok beraninya meminang seorang perempuan yang ternyata sudah Allah takdirkan untukmu.” tutur Salman Al Farisi — sebuah kalimat yang membuat tembok pun bergetar.
Hati Salman sempat bergetar, tapi tidak hancur dan tidak roboh. Hati Salman tidak patah. Bahkan, Salman bersedia membantu melaksanakan pernikahan Abu Darda bersama gadis yang sempat dia idamkan itu.
Setelah peristiwa tersebut, Salman dan Abu Darda berteman sebagaimana biasa. Tidak ada sakit hati. Tak ada dendam satu sama lain. Tidak ada perbedaan dari sebelum kejadian dan setelah kejadian. Betapa mulianya Salman Al Farisi.
Jika yang dicari tidak menjadi miliknya, maka itu semata-mata Allah tidak menakdirkannya. Kesantunan dan keikhlasan Salman Al Farisi dalam menyikapi kisah cinta pada gadis pujaannya, adalah inspirasi setiap lelaki dalam hal menerima takdir. Atau menerima kenyataan. Atau menerima kekalahan.