Merasa dimanfaatkan kadang hanya ilusi. Sebab, kita merasa dimanfaatkan karena kita berharap menerima timbal balik.
Sebagian orang pasti pernah merasakan bahwa dirinya selalu dijadikan seperti objek atau pembantu namun tak pernah dibayar. Alias selalu dimanfaatkan keberadaannya dan keahliannya tanpa ada timbal balik yang diharapkan.
Entah itu selalu disuruh-suruh atau seseorang menyapa dan datang di kehidupannya hanya untuk memanfaatkannya lalu pergi begitu saja, tanpa kabar tanpa jejak.
Sebenarnya jawabannya sudah ada di awal paragraf tadi. Iya, mengharapkan timbal balik. Sebagian besar orang yang merasa keberadaannya dimanfaatkan tak lain dan tak bukan adalah karena mereka merasa orang yang memanfaatkan mereka harus membayar setimpal dengan sesuatu yang kita butuhkan atau inginkan. Apa yang kita butuh dan inginkan? Tidak ada orang yang tahu, kecuali diri kita sendiri dan Tuhan. Ini masalahnya.
Oleh karena itu bersyukurlah ada yang namanya uang. Jadi kita tidak perlu merasa berhutang budi atau merasa dimanfaatkan atau memanfaatkan setelah kita meminta atau menerima jasa atau barang dari seseorang.
Setelah bersepakat di awal tentang pertukaran barang atau jasa, lalu kewajiban masing-masing pihak sudah terpenuhi, urusan selesai. Kita tidak perlu merasa tidak enak, karena setiap pihak sudah mendapat haknya dan memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan di awal.
Namun kita akan berdalih, “Kan tidak semua hal bisa diukur dengan uang”. Benar sekali argumen ini. Namun sayangnya juga tidak semua orang, bahkan tidak ada orang yang bisa mengerti tentang dengan ukuran apa yang kita gunakan untuk membayar manfaat yang kita beri ke orang lain.
Nah, ukuran ini yang kadang menjadi dilema dan menjadi kambing hitam ke orang lain atas kesalahan kita dalam mengukur diri sampai mana kita bisa memberikan kebermanfaatan ke sesuatu sehingga itu tidak memberikan rasa kecewa yang berlarut.
Mari saya beri analogi. Jika kalian sering menonton film superhero, coba kalian melihat dari sudut pandang si antagonis. Kita gunakan ukuran-ukuran antagonis untuk menilai alur cerita. Kita bisa melihat bahwa ekspektasi yang mereka harapkan atas sesuatu berbeda dengan apa yang ada di kenyataan, sehingga mereka terbelenggu dalam lingkaran kekecewaan.
Berbeda dengan si protagonis, mereka lebih memilih mengambil sudut pandang lain yang bisa saja dia juga memiliki kekecewaan yang sama dengan si antagonis, namun mereka lebih memilih sikap yang berbeda.
Hal ini juga berlaku pada pengorbanan. Seorang laki-laki telah merasa berkorban banyak dalam hidupnya untuk seorang wanita yang dicintainya. Namun kenyataannya, wanita itu tidak mencintainya atau berselingkuh.
Hal ini menyakitkan, namun rasa sakit itu pada dasarnya bukan karena ketidakcintaan atau perselingkuhan wanita itu. Namun ini karena seorang laki-laki itu merasa pengorbanan yang dilakukannya atas nama cinta tidak dibalas sesuai dengan logika kausalitasnya sendiri. Yakni jika dia berkorban untuk cinta, maka dia akan mencintai balik kita. Asas sains tersebut tidak berlaku di sini.
Ketika kita merasa memberi manfaat ke orang lain terkadang kita juga ingin merasakan manfaat dari orang lain yang kita beri itu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mula-mula ini menjadi hal yang biasa saja. Namun ketika di momen yang diharapkan, ternyata mereka tidak memberikan manfaat sesuai yang kita inginkan, kita kecewa.
Kenapa hal ini terjadi? Kita cenderung selalu ingin menyamakan sistem ukuran manfaat dan balas budi kita dengan orang lain. Padahal setiap orang itu unik, alias memiliki cara pandang yang berbeda-beda soal memberi atau menerima manfaat.
Lalu, bagaimana cara kita mencegah kekecewaan akibat dimanfaatkan oleh orang lain? Sederhananya, berbuatlah sesuatu yang kita sukai, inginkan, dan butuhkan. Berbuatlah karena itu memiliki kebaikan atau kebermanfaatan tersendiri bagi kita ketika melakukan hal tersebut. Ekstremnya, jika kalian tidak suka melakukan sesuatu, jangan lakukan. Daripada berakhir menyakitkan.
Terdengar egois memang, tapi demi kesehatan mental dan fisik kita, terkadang kita perlu setidaknya menyeimbangkan antara menyenangkan orang lain dan menyenangkan diri sendiri. Dan sangat beruntung bagi kalian yang bisa menyenangkan diri sendiri dengan menyenangkan orang lain.
Sebenarnya tulisan ini juga ada kaitannya dengan tulisan saya sebelumnya yang berjudul Egoisme Psikologis dan Kisah Abraham Lincoln. Jika masih ada waktu silahkan baca tulisan tersebut di portal ini.