Dalam masa Pertempuran Surabaya November 1945, nama Mbah Ho Padangan masyhur sebagai Kiai Penyepuh Senjata sekaligus pembina para Pejuang Kemerdekaan.
Terdapat adagium terkenal dalam tema perjuangan kemerdekaan di Bojonegoro. Bunyinya: “Pedang ojo digowo sedurunge disuwuk Mbah Ho” — Pedang jangan dibawa (ke medan tempur) sebelum didongani Mbah Ho. Para sesepuh di wilayah Kauman Kota Bojonegoro, banyak yang mengingat adagium tersebut.
Mbah Ho punya banyak santri di wilayah Kauman Kota Bojonegoro. Tak hanya di Kauman Kota, nama Mbah Ho juga cukup masyhur di wilayah Nganjuk, Lamongan, Tuban, dan Blora sebagai Kiai Lelana Brata, Mursyid Syattariyah yang mengajar santri di sejumlah daerah.
Mbah Ho Padangan ulama yang cukup sering disowani Syaikhina Maimoen Zuber. Saat Mbah Moen Sarang muda, beliau kerap ke Padangan. Di antara ulama yang ditemui Mbah Moen adalah Mbah Ho. Masyhur di kalangan santri, kisah saat Mbah Ho mencubit pipi Mbah Moen sebagai penyerahan tanda Kewalian.
Meski tak banyak diceritakan, Kota Bojonegoro tercatat empiris punya peran besar dalam pertempuran 10 November 1945. Bojonegoro, bahkan menjadi salah satu kota yang cukup banyak mensuplai “Pasukan Keramat” untuk terjun ke medan Pertempuran Surabaya.
Sesuai buku Sejarah Kota Bojonegoro (1988), wilayah Bojonegoro terdapat banyak Badan Kelaskaran Bersenjata yang turut serta dalam Pertempuran Surabaya. Di antaranya; Hisbullah, Sabilillah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pemuda Rakyat dan lain sebagainya. Itu belum termasuk “Pasukan Kramat” yang muncul dari para santri Tarekat.
Tarekat Padangan punya peran penting dalam Pertempuran 10 November Surabaya. Padangan menjadi “Lautan Pesuluk”. Pusat bermacam pemeluk tarekat. Mulai Syattariyah, Naqsabandiyah, Naqsabandi Kholidiyah, Syadziliyah, Rifa’iyyah, hingga Qodiriyyah yang sudah populer di Padangan sejak dua abad sebelumnya.
Tarekat Padangan sudah dikenal sebagai pensuplai pejuang sejak era Perang Jawa (1825 M). Pada Pertempuran Surabaya (1945), Tarekat Padangan kembali jadi pusat penggodhokan pejuang. Sampai abad 20 M, Padangan masih masyhur banyak tarekat mengajarkan ilmu kebal kanuragan.
Menjelang November 1945, para pejuang yang mayoritas santri tarekat, berkumpul di kediaman Mbah Ho, untuk melakukan riyadhah sebelum terjun ke medan tempur. Tak hanya dari kalangan Tarekat, tapi juga para pejuang lintas ideologi. Di tempat inilah, senjata para pejuang itu dikumpulkan untuk disepuh dan dirajah donga’ oleh Mbah Ho.
Pada Pertempuran 1945, Padangan dikenal sebagai tempat penyepuhan senjata. Di Padangan terdapat sejumlah titik yang dikenal dengan istilah Kedhung Kramat, lokasi yang masyhur sebagai tempat tafaulan bagi para pejuang sebelum berangkat ke medan perang.
Kedhung Kramat masyhur sejak lama sebagai tempat tafa’ul para Pejuang dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman Perjuangan Trunojoyo (1676), Perjuangan Mangkunegoro (1755), Perang Diponegoro (1825), hingga Perjuangan Revolusi Kemerdekaan (1945), Kedhung Kramat dikenal sebagai kawah azimat.
Baca Juga: Kedhung Kramat, Tanah yang Mengincar Rezim Amangkurat
Pada Perang Kemerdekaan 1945, banyak pemuda yang ikut “nyepuh senjata” lewat jalur Tarekat. Mengingat, waktu itu, Tarekat Padangan mengajarkan wirid kanuragan dan pertahanan diri. Ajaran yang sangat kontekstual pada zamannya ini, tercatat dalam lembar manuskrip.
Istilah “nyepuh senjata” tak semata berurusan dengan perang fisik. Secara semiotika, nyepuh senjata bermakna tazkiyatan nafs, proses ngaji tarekat. Pada momen 1945, banyak para pemuda datang untuk ngaji tarekat ke Padangan, sebelum berangkat ke medan pertempuran.
Mbah Ho Padangan memiliki nama lengkap Syekh al Hajj Muntaha bin Syamsuddin Betet Alfadangi (1870 – 1976 M), ulama kharismatik yang dikenal sebagai salah satu mursyid Thoriqoh Syattariyah Padangan, sekaligus pembina Pejuang Kemerdekaan Bojonegoro dalam medan laga Pertempuran Surabaya 1945.
Mbah Ho bagian dari Keluarga Besar Bani Syihabuddin Padangan. Mbah Ho putra dari Syekh Syamsuddin, cucu Syekh Syihabuddin, sekaligus santri dan keponakan Syekh Syahid Kembangan — ketiganya figur Masyayikh Padangan yang masyhur berporos dalam Jadug-Kanuragan
Kemasyhuran Mbah Ho sebagai mursyid Thoriqoh Syattariyah, bukan tanpa alasan. Tapi tercatat bersambung musalsal dari Syekh Syahid Kembangan, Syekh Syamsuddin Betet, hingga Syekh Ibrahim Ma’ali dan seterusnya sampai Syekh Abdullah Asy-Syattari.
Pada momen Pertempuran 1945, Mbah Ho figur yang membina sekaligus dimintai barokah doa, sebelum para Laskar Bersenjata dari Bojonegoro tersebut merangsek ke Surabaya, untuk ambil bagian dalam Medan Pertempuran Surabaya November 1945.