Dalam musibah pun, masih ada nikmat yang harus disyukuri, seperti apa yang dicontohkan Mbah Yai Arwani.
KH. Arwani Amin atau Mbah Arwani Kudus merupakan kiai pakar Al Quran asal Kudus. Selain dikenal sebagai pendiri Ponpes legendaris Yanbu’ul Qur’an, beliau juga masyhur sebagai guru dari para guru ilmu Qur’an yang ada di seluruh Indonesia.
Ponpes Yanbu’ul Qur’an Kudus, merupakan salah satu kiblat Hamilul Qur’an yang ada di Indonesia. Hampir semua ulama Al Qur’an yang ada di Indonesia, setidaknya bersanad ilmu dari Yanbu’ul Qur’an Kudus.
Syahdan, saat Mbah Yai Arwani bepergian dan turun dari bus di terminal Terboyo Semarang, beliau kecopetan. Entah sudah tahu atau memang pura-pura tidak tahu, Mbah Arwani tak peduli jika baru saja kecopetan.
Justru, para santri yang mendampingi dan tahu kejadian itu, bingung luar biasa. Seketika itu juga, santri tersebut mengejar si pencopetnya. Tapi karena si pencopet lebih lincah dan menguasai medan, para santri gagal menangkapnya.
Para santri kecewa dan marah-marah pada pencopet yang gagal ditangkap itu. Sebab, berani-beraninya dia mencopet sosok kiai yang mereka dampingi itu.
Para santri itu kembali mendekat ke Mbah Yai Arwani, yang sejak tadi terlihat tenang seperti tak terjadi apa-apa. Bahkan, salah satu santri harus memberitahu bahwa Mbah Yai baru saja kehilangan dompet.
“Kyai, Njenengan baru saja kecopetan.” kata santrinya memberitahu sambil gugup.
“Oh, ya?” jawab Kyai santai.
“Benar, Yai. Tapi kami gagal menangkap pencopetnya! Keterlaluan betul pencopet itu!”
“Alhamdulillah …. Sudahlah kalian tidak perlu ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!”
“Lho, pripun maksudnya, Kyai?”
“Syukur …. Alhamdulillah. Karena saya yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!”
Tentu saja para santri pada bengong mendengar jawaban Kyai yang teramat filosofis dan butuh permenungan mendalam tersebut.
“Kok ngoten, Yai?”
“Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya, lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi tukang copetnya?” tanya beliau kemudian.
Jawaban Mbah Yai sungguh tak terbantahkan dan sangat masuk akal. Nuansa zuhud dan sufi mengiringi ucapan-ucapan Mbah Yai. Para santri yang menyertai beliau pada geleng-geleng kepala tanda paham dan takjub.
Para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam berbagai kelas teori. Yakni, dalam musibah pun, bisa timbul rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Mbah Yai Arwani.