Ada korelasi magis-psikologis antara sebuah buku dan seorang bapak. Meski tak semua bapak memahaminya.
Atok M. Nur Rozaqi, kawan baik saya, hari ini pukul 20.14 memosting sebuah gambar melalui status WA yang menunjukan sejumlah tokoh bangsa sedang membaca buku. Tentu, dia tak sedang berjualan buku.
Atok, kawan baik saya itu, sedang memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang jatuh tiap 17 Mei. Andai Atok tak memosting gambar itu, praktis saya lupa dan tak akan tahu jika hari ini adalah Hari Buku.
Saya berterimakasih pada Atok. Berkat dia, saya jadi tak lupa bahwa hari ini adalah Hari Buku. Meski, rasa terimakasih itu tak saya ucapkan secara langsung kepadanya. Saya khawatir jika saya ucapkan, dia langsung bergegas membaca buku.
Atok kawan yang cukup sering membahas buku dengan saya. Dari buku yang tertulis hingga buku yang tak tertulis. Mulai dari pembahasan serius hingga yang tak serius. Meski, kebanyakan memang tak pernah serius.
Buku, bagi kami berdua, adalah rokok. Sesuatu yang mampu membuat perbincangan terasa fleksibel dan tak kaku. Meski, di saat sama, banyak pemikiran radikal-kaku yang justru lahir dari proses membaca buku. Atok dan saya sangat menyadari itu.
Ada satu judul buku sastra yang selalu ingin saya rekomendasikan pada Atok. Agar dia baca. Buku itu berjudul La Casa de Papel karya Carlos Maria Dominguez. Hanya 70-an halaman. Tipis sekali. Sialnya, tiap kali ketemu Atok, saya sering lupa menyampaikannya.
Dalam buku itu, di baris pertama paragraf kedua bab 1 (bab pembuka buku), ada kalimat berbunyi: “buku mengubah takdir hidup orang-orang”. Sementara di baris terakhir paragraf pertama bab 4 (bab penutup buku), ada kalimat berbunyi: “orang rupanya juga bisa mengubah takdir buku-buku”.
Kalimat itu sangat magis dan filosofis. Sebab, setidaknya, ada tiga variabel yang mungkin tertangkap dari kalimat magis itu: buku, orang dan takdir. Saya tak ingin membahasnya. Biar dibahas Atok, saat dia sudah membacanya.
Dalam konteks non sastra, satu buku yang sangat saya rekomendasikan untuk Atok adalah The Geography of Bliss karya Eric Weiner. Ini buku jalan-jalan yang sangat luar biasa bagus. Terlebih ditulis seorang jurnalis.
Saya hampir tak menemukan kelemahan buku ini. Sebab ditulis dengan bahasa naratif yang sangat berkelas. Di mana, di tiap kelokan paragrafnya, ada pesan-pesan filosofis yang tak mudah disadari kehadirannya. Kalaupun ada kelemahannya, hanya satu: ditulis sekitar 400 halaman.
Dua buku di atas, adalah buku bagus yang ditulis secara bagus. Yang saat dibaca, meski tak selesai, kita bisa benar-benar menikmati cara penulis membawa kepala kita berkeliling ke semesta yang lain secara bahagiawi.
Tapi andai Atok tak membaca dua buku bagus itu pun, tak masalah. Sebab saat ini, Atok adalah buku itu sendiri. Atok sudah menjadi buku bagi anak lelakinya. Bukankah buku pertama yang dibaca seorang anak adalah Ibu dan bapaknya?
Ya, lebaran tahun ini, Atok sudah menjadi bapak. Sebuah capaian yang nilainya lebih besar dibanding jadi manajer atau bos atau kepala atau apapun yang ada di dunia usaha. Sebab selain tak mengenal lobi, hanya orang-orang terpilih yang mampu mencapainya.
Menjadi Bapak adalah menjadi Buku
Dulu, bapak saya sering bergurau begini: bapak iku bab opo-opo kudu pepak (bapak itu, perkara apa saja harus lengkap). Kelak, ketika sudah menjadi bapak, saya benar-benar merasakan ucapan bapak saya itu.
Menjadi bapak, berarti menjadi sesuatu yang akan dibaca oleh anak. Sesuatu yang akan sering sekali ditanya oleh anak, bahkan pada perihal yang sangat tak masuk akal. Itu alasan kenapa harus pepak (lengkap), agar bisa menjawab saat ditanya.
Saya tak akan mengucapkan selamat Hari Buku Nasional pada Atok. Tapi saya akan mengucapkan, selamat menjadi buku, Atok.
Kamu buku pertama bagi anakmu. Biarkan dia membaca hal-hal menyenangkan darimu.