Ketertarikan dalam menikmati suasana nostalgia bukan sekadar tren semata. Tapi identifikasi terhadap sesuatu yang kontemplatif.
Kita telah memasuki era postmodern. Masa dimana keterbukaan arus pertukaran informasi terjadi tanpa batas ruang dan waktu, dalam sirkuit interkoneksi global. Sebagai generasi digital natives atau “terlahir digital” dimana kita lahir dan besar di masa teknologi yang telah berkembang sedemikian pesat.
Saya dan kalian adalah generasi yang saat ini jauh lebih antusias bersosial menggunakan platform media online. Ruang negosiasi identitas dan ekspresi diri di media sosial lebih terbuka luas. Walau demikian, banyak dari generasi saat ini memiliki minat yang besar pada era 80-an dan 90-an
Dunia digital, anggaplah instagram misalnya, selama ini mendamba sesuatu yang filmis, mengandalkan sisi visual yang estetik, bahkan tidak jarang manipulatif demi terlihat keren. Sementara kita menuju keintiman yang kontemplatif, di mana cara menikmatinya bukan sekadar dilihat, tapi juga dirasakan, dan dimaknai.
Kontekstualitas inilah yang menyebabkan tren di dekade sebelumnya menjadi wujud anyar atas nama konten.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena yang cenderung bergaya jadul ditunjang dengan penampilan visual yang populer di dekade sebelumnya, seperti gaya rambut, pakaian, kendaraan atau tempat nongkrong yang instagrameble bernuansa semi lawas serta meningkatnya minat pada kunjungan museum dan pameran tempo dulu serta palet warna yang mulai menuju ke arah vintage dan retro.
Linimasa sejarah memang telah memberi arti penting bagi eksistensi budaya yang sedang berlangsung saat ini. Objek-objek dan gambar mampu membawa pengembaraan imajinasi seseorang ke alam lintas batas.
Bagaimana mungkin lewat kelir yang serba lawas, kuno dan tradisional kita diajak bertandang ke vibes dan era yang cukup sejuk. Tentu saja, kemegahan itu hanya ada dalam imajinasi masing-masing personal
Lantas, bagaimana kita bisa tersasar di dalam lembah nostalgia?
Akses Internet adalah faktor kuat pendukung tanpa batas kepada milenial dan generasi setelahnya untuk mengeksplor media dan arsip masa lampau. Di mana bermunculan foto-foto, video, dan film yang menunjukkan warna palet menarik dari dekade awal sebelumnya.
Seperti kemunculan Film Dilan 1991 misalnya, hanya satu bulan pemutaran menyedot perhatian dua juta penonton yang mayoritas adalah kaum muda hingga mengantarkannya jadi film terlaris kedua sepanjang sejarah perfilman Indonesia saat itu.
Hal ini menjadi menarik karena latar belakang film tersebut dapat menjadi semacam jendela, bagi generasi yang dilahir tahun 1990-an, untuk melihat potret kehidupan atau pergaulan remaja pada masa ketika akses internat belum marak seperti sekarang . Potret kecil tentang Indonesia di era kolonial atau era Orde Baru
Ketertarikan generasi 2.0 pada era 90-an dapat dibuktikan melalui komentar-komentar mereka di salah satu konten “tempo dulu” atau “throwback” beberapa pernyataannya dalam unggahan yang menampilkan gambar tempo dulu mereka mengatakan alangkah nikmatnya andai kata dewasa di era 90-an.
Alasan para milenial menyebutkan hal itu adalah ketika mereka melihat masa lalu, anggapan bahwa selalu ada hal yang membuat nyaman dan akhirnya cenderung hanya melihat hal-hal positifnya saja, daripada memperhatikan hal-hal kecil yang menjadi suatu kekurangan dari masa tersebut.
Manusia, hanya mengingat hal-hal yang benar-benar penting dan melupakan sisanya. Dewasa ini di era internet melupakan sesuatu menjadi jauh lebih sulit. Manusia terus mengidentifikasikan ulang apa yang benar-benar di anggap penting sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Internet terlalu menggoda pengguna sebagai medium yang mudah untuk menyimpan atau menyusur kembali memori lama dengan jumlah tak terbatas.
Fasilitas dalam layanan digital misalnya fitur “On This Day” kenangan Pada Hari Ini di Facebook menyimpan memori bagi pengguna ketika muncul pesan tentang orang yang dikasihi telah meninggal atau potret permainan era tradisional. Kini lebih banyak orang tersandung kenangan masa lalu saat sedang beraktivitas di internet atau media sosial favorit mereka.
Karena manusia selalu banyak lupa, kita berusaha bagaimana menjaga hal-hal yang benar-benar penting. Kita tidak mampu menyimpan setiap catatan dan hal-hal yang dianggap penting lain dari beberapa dekade sebelumnya dengan baik, tetapi internet dapat menyajikan beragam kelebihan untuk kembali mengulas hal-hal dan sejarah di masa lampau menyimpan arsip-asrip yang kapan saja bisa di akses.
Tentu saja, orang membuat catatan, dan ingatan yang direkam mencerminkan pilihan yang dibuat oleh mereka-mereka yang memiliki kuasa dan sarana untuk melestarikan sesuatu. Ditambah lagi, alat pencarian yang kuat dan ada dimana-mana telah membuat sejumlah besar kenangan digital ini mudah dan cepat diakses.
Kepribadian sebagai salah satu komponen identitas generasi 2.0 di dunia nyata maupun maya sedikit banyak dipengaruhi juga oleh bagaimana identitas personal maupun kelompok mereka di ruang sosial termediasi melalui internet. Secara tidak langsung, melalui fenomena itu, ada sesuatu dari kepribadian mereka yang ingin ditunjukan.
Ada interaksi yang berusaha dimulai melalui simbol-simbol dan citra yang di bangun dari cara berpenampilan, bermusik, dan cara-cara lain yang serupa. Memiliki cerita spesial atau nilai ekstrinsik tertentu yang bisa menunjukkan prestise. Entah yang terwakilkan melalui unsur visual itu sendiri ataupun melalui caption dari gambar yang dicitrakan.
Memori digital yang komprehensif menjadi teleportasi bagi pengguna menuju dunia yang tak kenal batas, dunia yang membuat kita tak bisa menyangkal kemampuan satu sama lain dan diri kita sendiri untuk berevolusi, tumbuh, dan berubah.
Kemampuan untuk mengeksplorasi ingatan di masa lampau tidak sepenuhnya merupakan kutukan, tetapi mungkin juga sebuah berkah. ketertarikan dalam menikmati suasana nostalgia bukan hanya sekedar tren semata, melainkan bagaimana mereka mengidentifikasikan generasi dalam kurun waktu yang panjang sebelum mengenal adanya teknologi seperti sekarang.
Kita semua hidup di masa depan, dan sadar bahwa ini bukan sekadar tren di dekade sebelumnya dan menerapkan kembali bukan sebuah hal yang basi. Sesuatu yang dianggap estetik menjadi perhatian besar, dimana ini mengacu pada style dan tren lain di era 90-an. Anak muda, laiknya saya dan kita semua adalah generasi yang menunjukkan interaksi positif terhadap barang-barang tua.
Adanya juga anggapan bahwa itu bagian dari pemenuhan selera seni mereka, seperti bagaimana kita mulai menggunakan kamera analog dan kamera disposable dengan filter efek vintage menjadi hal utamanya, ketimbang menggunakan kamera digital yang menghasilkan gambar lebih jernih tanpa adanya filter efek ala tempoe doeloe.