Indonesia dikenal sebagai negara yang punya budaya komunikasi konteks tinggi. Ini sangat berbeda dengan mayoritas negara barat yang identik dengan komunikasi tingkat rendah. Seperti apa ya Nabs budaya komunikasi konteks tinggi di Indonesia?
Salah satu analisis populer tentang perbedaan gaya komunikasi dalam masyarakat dikemukakan oleh Edward T. Hall. Menurut antropologis Amerika Serikat tersebut, budaya dapat diklasifikasikan ke dalam gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah.
Secara sederhana komunikasi konteks tinggi bisa diartikan sebagai gaya komunikasi yang bersifat ambigu, yang menuntut penerima pesan untuk menafsirkannya sendiri. Sedangkan komunikasi konteks rendah merupakan gaya komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, dan tak berbelit-belit.
Orang berbudaya konteks rendah dianggap berbicara berlebihan, mengulang-ulang suatu yang sudah jelas. Sementara itu, orang berbudaya konteks tinggi gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang, dan cenderung misterius.
Orang Amerika yang berbudaya konteks rendah menganggap orang yang banyak berbicara sebagai individu yang lebih menarik. Sedangkan orang Jepang yang dikenal berbudaya konteks tinggi justru menganggap orang yang banyak bicara sebagai orang yang berpikiran dangkal.
Selain Jepang, negara-negara di kawasan Asia lainnya seperti China, Arab dan Indonesia juga dikategorikan sebagai penganut budaya konteks tinggi. Masyarakat yang berbudaya konteks tinggi menekankan isyarat kontekstual. Suatu pertanyaan harus dimaknai berdasarkan konteksnya.
Contoh sederhana dari komunikasi konteks tinggi bisa kita temui di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari kita tentu pernah bertanya “Kamu kenapa?” kepada pasangan. Pasangan kita kemudian menjawab dengan kalimat “Aku nggak kenapa-napa” diikuti dengan raut wajah yang muram. Hayo Nabs, siapa yang pernah kayak gini?
Jawaban “Aku nggak kenapa-napa” dengan raut wajah muram ini tidak serta merta bisa dimaknai secara sederhana. Terkadang ada sesuatu yang disembunyikan dari jawaban dan ekspresi wajah tersebut. Si penerima pesan harus bisa menafsirkan dengan baik atau lebih peka.
Dalam budaya komunikasi konteks tinggi ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tak terucapkan.
Di Indonesia, pertanyaan “Mau pergi ke mana?” yang dilemparkan kepada orang lain yang sedang lewat seringkali tak membutuhkan jawaban. Itu adalah cara untuk menunjukkan kalau kita ramah atau bahkan mengakui eksistensinya bahwa Ia adalah manusia.
Dalam beberapa budaya (terutama beberapa kelompok yang berbicara bahasa Inggris), bertanya dianggap sebagai tindakan usil. Ada sebuah penelitian sederhana yang dilakukan Dosen Komunikasi asal Bandung, Deddy Mulyana bersama para mahasiswanya.
Deddy meminta mahasiswanya untuk mewawancarai dosen asing yang mengajar sukarela di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Bandung tentang pertanyaan dari warga lokal yang dianggap paling menganggu.
Dari hasil wawancara tersebut ada dua pertanyaan dari warga lokal yang dianggap mengganggu yakni “Where are you going?” dan “Where do you live?”. Andaikan saja orang asing itu tahu bahwa kedua jenis pertanyaan tersebut sekadar basa-basi untuk menunjukkan keramahan (sebagaimana kalimat “How are You?”), mereka tentu tak perlu jengkel.
Masyarakat Indonesia memang sering menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi. Ambil contoh ketika kita sedang bertamu ke rumah orang. Kita cenderung menolak ketika ditawari makanan atau minuman saat bertamu. Misalnya dengan mengatakan “Tidak usah repot-repot,” atau “Tadi saya sudah makan,”.
Ungkapan atau jawaban yang disampaikan tersebut hanya sebuah basa-basi belaka. Toh, pada akhirnya kita tetap disuguhi makanan dan minuman oleh si tuan rumah, bukan?
Meskipun budaya Indonesia bersifat konteks tinggi. Derajat konteks tingginya tidak sama antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain. Budaya Jawa yang dominan dan sangat kental mewarnai budaya Indonesia jelas sangat konteks tinggi. Begitu pula dengan budaya sunda.
Namun sebaliknya, budaya batak adalah budaya yang derajat konteks tingginya cenderung paling rendah. Itu disebabkan oleh karakater orang Batak yang bicara dengan lugas, langsung, tanpa basa-basi.
Budaya komunikasi konteks tinggi di Indonesia memang cukup kental. Apa yang diucapkan kadang tak berbanding lurus dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan. Inilah Indonesia, dengan segala gaya komunikasi konteks tinggi yang digunakannya.