Di Kuncen Padangan, banyak Waliyullah penyebar islam, yang juga seorang pedagang tempe dele. Ini bukti autentik betapa tempe bukan sekadar makanan. Tapi jadi wasilah persebaran islam.
Tahu dan tempe merupakan komoditas yang sangat identik dengan Desa Kuncen Padangan. Di desa ini, tempe menjadi penganan populer sejak era 1800 M. Tentu ini data yang historis-empiris. Dalam Serat Centhini (1814-1823 M), tempe disebut penganan lokal favorit masyarakat Jawa.
Pada era kolonial, tempe bahkan jadi medium dakwah para penyebar islam di wilayah Kuncen Padangan. Sebab, pedagang tempe adalah entitas yang sulit di-intervensi kaum imperialis. Ini alasan banyak warga Kuncen Padangan yang dulunya berjualan tempe.
Di Kuncen Padangan, berdagang tempe tak sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Tapi juga metode kultural dalam rangka persebaran agama islam. Ini bukan tanpa bukti. Banyak para penyebar islam di Kuncen Padangan, yang di saat bersamaan, adalah seorang pedagang tempe.
Di antara banyak nama, ada dua Wali pedagang tempe yang sering diceritakan. Keduanya adalah Romo Yai Muhammad Suryadi (Mbah Suryo Kuncen) dan Mbah Abdullah Syihabuddin Kuncen. Hikayat keduanya, dituturkan secara lisan. Karena itu, harus ditulis agar tak hilang.
1. Mbah Suryo Kuncen
Romo Yai Muhammad Suryadi (Mbah Suryo Kuncen), adalah seorang alim ulama yang juga pedagang tempe. Beliau hidup di era keulamaan Syekh Ahmad Rowobayan (1827-1915 M). Selain mengajar ngaji di rumahnya, setiap hari Mbah Suryo juga berjualan tempe di Pasar Kedewan.
Sejak periode 1800 M, Desa Kuncen Padangan dipenuhi pedagang tempe. Setiap pagi, para pedagang tempe ini akan semebyar ke berbagai pasar yang ada di sekitaran Jipang Padangan untuk berjualan. Mbah Suryo termasuk pedagang tempe yang berjualan di Pasar Kedewan.
Kewalian Mbah Suryo tampak, mula-mula di kalangan para pedagang. Saat para pedagang berangkat ke Pasar Kedewan, Mbah Suryo masih terlihat nglalar Quran di rumah. Namun, saat para pedagang baru saja sampai di pasar, Mbah Suryo tampak sudah melayani pembeli. Sejak saat itu, banyak pedagang tempe yang belajar ngaji pada Mbah Suryo.
Syahdan, Mbah Suryo pulang berjualan dari Pasar Kedewan menuju rumahnya, menjelang adzan dzuhur. Hari itu hari Jumat. Begitu sampai depan Masjid Besar Padangan, banyak jamaah yang menggunjing, “Wong urip kok dodolan ae. Kapan ngibadahe!“, begitu kata para jamaah saat melihat Mbah Suryo melintas sambil membawa dagangan.
Mendengar ucapan jamaah, Mbah Ahmad Rowobayan bergegas keluar dari masjid dan mengejar Mbah Suryo yang masih tampak melintas di jalan. Dengan penuh rasa takdhim, Mbah Ahmad sungkem di depan Mbah Suryo sambil berkata, “Mbah, kula suwun jenengan sepunten tiang-tiang (para jamaah) niku. Nek mboten jenengan sepunten, kula kuwatir masjid niki ruboh”. Kata Mbah Ahmad pada beliau.
Mbah Suryo adalah satu di antara banyak Wali Mastur yang pernah ada di Kuncen Padangan. Mbah Suryo merupakan santri Ponpes Tremas Pacitan di era kepengasuhan Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo (kakek Syekh Mahfudz Tremas Pacitan). Saking alimnya, Mbah Suryo sempat mengajar di Tremas Pacitan, sebelum berdakwah sambil berjualan tempe di Kuncen Padangan.
Di Kuncen Padangan, Mbah Suryo hidup sezaman dengan Syekh Ahmad Rowobayan. Secara usia, Mbah Suryo lebih sepuh. Jika Syekh Ahmad Rowobayan Wali Masyhur, Mbah Suryo adalah Wali Mastur. Tentu ini representasi dari kaidah: لولا المستور لا خلق المشهور Jika tiada yang mastur (tersembunyi), maka tak ada yang masyhur.
Pada rezim Orde Baru (1970 M), ada rombongan santri Tremas Pacitan yang entah mendapat isyaroh apa, tiba-tiba datang ke Kuncen Padangan untuk mencari makam Romo Yai Muhammad Suryadi, untuk bertabaruk. Sejak kedatangan rombongan santri Tremas Pacitan itulah, masyarakat mulai tahu, siapa sosok Mbah Suryo yang sesungguhnya.
Cerita tentang Mbah Suryo ini, saya dapat langsung dari KM. Arifin Mustagfiri. Saya merasa riwayat ini harus ditulis agar tak hilang dimakan zaman. Sehingga, generasi penerus tetap bisa mengambil ibrah dari keberadaannya.
2. Mbah Abdullah Syihab
Jika pernah mendengar ada ulama asal Pulau Jawa yang berdagang tempe di Siam (Thailand), beliau adalah Mbah Abdullah Syihab. Kisah diplomasi tempe dele di Thailand ini, jadi cerita melegenda di kalangan masyarakat Kuncen Padangan. Meski, kisah ini rentan hilang karena tak lagi banyak diceritakan.
Mbah Abdullah adalah seorang ulama yang juga pedagang tempe di Desa Kuncen Padangan. Sekira tahun 1845, di usia 40 tahun, Mbah Abdullah Syihab melaksanakan ibadah haji ke tanah Haram. Di sana, beliau tak hanya beribadah haji. Tapi juga bermulazamah pada sejumlah ulama besar Tanah Hijaz abad 19 M.
Sekira 5 tahun di Tanah Hijaz, beliau pun pulang ke Pulau Jawa pada 1850. Namun, kapal laut yang beliau tumpangi terdampar di wilayah Siam (Thailand). Beliau sempat kehabisan bekal hidup di Siam. Alhasil, keahliannya sebagai pembuat ragi tempe kembali diasah, demi melanjutkan hidup di tanah yang asing tersebut.
Mbah Abdullah Syihab kemudian berjualan tempe di Siam, untuk mengumpulkan uang agar bisa kembali pulang. Tak hanya berjualan, tapi juga berdakwah, mengamalkan ilmu yang telah dipelajari selama berada di Makkah. Usahanya kian berkembang. Pelan-pelan, banyak pula santri yang ikut mengaji pada beliau.
Tapi, kemuliaan yang beliau dapatkan di Siam, seperti tak mampu membendung keinginan untuk kembali pulang ke tanah kelahiran. Sebab, saat berangkat ke Makkah, beliau meninggalkan seorang istri dan 4 anak perempuan. Kerinduan pada anak-anaknya, mungkin jadi penyebab utama keinginannya untuk pulang.
Mbah Abdullah Syihab atau KH Abdullah bin Syihabuddin merupakan putra dari Syekh Syihabuddin Betet, sekaligus bagian dari keluarga Bani Syihabuddin. Nama Mbah Abdullah mungkin tak begitu dikenal. Tapi, cucu-cucunya masyhur sebagai seorang Wali.
Mbah Abdullah Syihabuddin adalah kakek dari KH Zainuddin Mojosari (1850-1954), dari putri bernama Nyai Mukmin binti Abdullah. Beliau juga kakek dari KH Mustajab Gedongsari (1865-1953), dari putri bernama Nyai Zarkasyi binti Abdullah. Kedua cucunya, kelak masyhur dikenal Sohibul Wilayah Kota Nganjuk.
Mbah Abdullah Syihabuddin wafat di Kuncen Padangan. Beliau wafat lebih dulu dibanding sang ayah, Syekh Syihabuddin. Ini alasan kenapa makam Syekh Syihabuddin berada di Kuncen Padangan, bukan di Betet (lokasi pesantren yang beliau bangun). Sebab, pasca sang putra (Mbah Abdullah) wafat, Syekh Syihabuddin menjadi wali nikah bagi cucu-cucu perempuannya.
Kisah tentang perjalanan Mbah Abdullah Syihab ini, saya dapat dari Kiai Bachtiar Afendi (Mbah Modin Kuncen). Saya merasa, riwayat ini harus ditulis agar tak hilang dimakan zaman. Sehingga, generasi penerus tetap bisa mengambil ibrah dari keberadaannya.
Kuncen Padangan memang wilayah penghasil tahu-tempe sejak periode 1800 (abad 19 M). Di tempat ini, banyak para penyebar islam, yang juga dikenal sebagai seorang pedagang tempe. Ini bukti autentik betapa tempe tak sekadar makanan. Tapi mampu jadi wasilah persebaran islam.