Lomba Agustusan menunjukan pada kita bahwa hasil tak selalu menjadi penentuan, menang kalah dari pertarungan.
Dari bermacam literatur, tradisi lomba Agustusan mulai marak pada 1950-an, beberapa tahun pasca proklamasi kemerdekaan. Waktu itu, rakjat Indonesia masih kental terbawa dampak euforia bebas dari dekap penjajahan. Tentunya, sangat bahagia.
Merasakan kemerdekaan ibarat jatuh cinta. Lalu, cintanya direstui calon mertua. Saat seseorang sedang jatuh cinta, ada 12 area di dalam otak saling terhubung, melepas senyawa kimia pemicu rasa bahagia seperti oksitosin, dopamin dan adrenalin.
Nah, pasca merdeka dari penjajahan, kombinasi tiga hormon ini menghasilkan euforia pada bagian yang berhubungan dengan fungsi kognitif otak. Dan, ya, fungsi kognitif inilah yang memicu efek kreatif muncul.
Karena itu, saat merasakan bahagia, kreativitas berlebih biasanya mulai bermunculan. Menurut saya, keberlebihan kreativitas itulah yang memunculkan berbagai macam tradisi lomba agustusan.
Tapi ada yang aneh. Jika lomba adalah berjuang dan bersaing, bukankah perlombaan menjadi simbol dari berperang itu sendiri? Berperang untuk saling mengalahkan lawan dalam lomba makan kerupuk, misalnya.
Nah, lomba-lomba itu menunjukan bahwa setelah perang usai, kita justru ingin “berperang” lagi dan lagi, bukan? Hanya, bedanya, ada perang yang ini ada unsur guyonnya.
Dan, unsur guyon lah, yang menjadi kunci dan esensi berbagai lomba Agustusan diadakan saat ini. Dalam proses berperang melawan pesaing pada lomba Agustusan, ada satu rasa yang tidak pernah tertinggal: bahagia.
Kalah ataupun menang dalam proses perlombaan, kita jarang sekali merasa kecewa. Setelah perlombaan selesai digelar, misalnya, yang ada justru tertawa dan saling memaafkan. Entah menertawakan kekalahan ataupun memaafkan kemanangan orang lain.
Memaafkan kemenangan orang lain inilah yang sangat jarang kita temui akhir-akhir ini. Barangkali, kita disuruh mencontoh tradisi Agustusan agar mudah menerima dan memaafkan, saat musuh kita mendapat anugerah berupa kemenangan.
Jika hidup adalah perkelahian atau perjuangan atau perlombaan atau persaingan atau apapun yang kerap dikatakan para motivator itu, harusnya bisa dimasuki unsur guyonan seperti lomba Agustusan. Sehingga tak ada kecewa bagi yang kalah dan tak ada jumawa bagi yang menang.
Di dalam lomba Agustusan, yang menjadi pusat kenikmatan adalah proses perlombaan, bukan hasil dari apa yang telah dilombakan. Sebab, siapapun yang menang, toh semuanya akan tertawa karena merasakan nikmatnya proses perlombaan. Lomba Agustusan menunjukkan pada kita bahwa hasil tidak selalu menjadi penentuan menang kalah dari pertarungan.
Jika kita mampu memaknai dan membaca tanda dari kehadiran lomba Agustusan; tidak ada lagi suporter sepakbola yang marah-marah dan merusak fasilitas umum hanya gara-gara klub kebanggaannya kalah bertanding, tidak ada lagi seseorang yang kecewa hanya karena cintanya tidak direstui takdir.
Dan tidak ada lagi tim sukses yang menyimpan dendam hanya karena jagoannya akan/sudah kalah saat mencalonkan diri menjadi pemimpin.