Masyarakat Jawa Kuno (Nusantara) meyakini orang asing dan saudagar berstatus budak. Dan budak haram berbicara agama.
Untuk diketahui sejak awal, Jawa bukan sekadar Pulau Jawa. Tapi Cakravala Mandala Dvipantara (Nusantara), sebuah teritorial luas yang membentang di sekujur wilayah Asia Tenggara.
Nusantara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, hingga Brunei Darusalam. Ini alasan utama ulama-ulama dari Thailand pernah bernisbat Al Jawi (Nusantara). Syekh Daud Fattani Al-Jawi (1720-1879) adalah sedikit di antara contohnya.
Islam masuk ke Nusantara cukup sulit. Tak hanya Islam, bahkan Hindu dan Budha juga mengalami kesulitan. Sebab, masyarakat Nusantara (Jawa Kuno) meyakini bahwa orang asing dan saudagar berstatus budak. Dan budak tak boleh berbicara soal agama.
Orang asing yang masuk wilayah Nusantara, auto budak. Langsung berstatus budak. Ini alasan utama kenapa ideologi dari bangsa asing cukup sulit diterima masyarakat Nusantara. Sebab, Nusantara kala itu sudah berperadaban.
Islam hadir ke Nusantara, tercatat sejak abad 7 M (periode 600 M). Yakni era Rani Simha (Kerajaan Kalingga). P. Wheatley dalam The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula Before A.D. 1500 menyebut, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab.
Para saudagar ini sudah membangun jalur hubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum era Islam. Saat ajaran islam datang, para saudagar Arab yang kebetulan sudah masuk islam, ikut menyebarkan islam sambil berniaga. Tapi, di era kedatangan pertama ini, islam tertolak.
Lalu, islam datang lagi pada abad ke-10 M (periode 900 M). Sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang yang disalin S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia menyebut, islam hadir lagi di Nusantara lewat migrasi keluarga Lor Persia yang datang pada zaman raja Nasiruddin bin Badr.
Keluarga Lor ini tinggal di Jawa dan mendirikan kampung dengan nama Loran, Loram, atau Leran, yang bermakna kediaman orang Lor. Sambil berdagang, mereka juga datang dengan membawa misi dakwah. Sayangnya, di era kedatangan kedua ini, Islam belum juga diterima dengan baik.
Masih di abad 10 M, Historiografi Jawa yang ditulis R. Tanoyo menyebut, Sultan al-Gabah, Raja Negeri Rum yang memerintah pada 913 M, mengirim 20 ribu keluarga muslim ke Pulau Jawa untuk menyebarkan islam. Namun, lagi-lagi, islam belum juga bisa diterima, bahkan banyak di antara mereka yang tewas terbunuh, dan tersisa hanya sekitar 200 keluarga saja.
Mengetahui hal itu, Sultan al-Gabah dikisahkan marah kemudian mengirim rombongan ulama Min Auliyaillah (Wali Keramat) ke Pulau Jawa untuk menumbali para jin, siluman, dan penunggu Pulau Jawa. Inilah era di mana Syekh Subakir, sang penumbal Tanah Jawa, didatangkan.
Secara ilmiah, sejak abad ke- 7 (600 M), dilanjut abad ke-10 (900 M), hingga seterusnya, islam cukup sulit masuk ke Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-15 (1450 M), di era Wali Songo, islam bisa diterima khalayak luas. Artinya, ada rentang delapan abad (800 tahun) sejak kedatangan awal hingga bisa diterima. Pertanyaannya, kenapa islam datang ke Nusantara cukup sulit?
Kuatnya Keyakinan Orang Jawa Kuno
KH Agus Sunyoto, mengutip kitab Salokantara dan Nawanadya menyebut, masyarakat Jawa Kuno punya konsep sosial yang sangat kuat. Terutama dalam penerapan strata sosial. Masyarakat Jawa Kuno membagi manusia menjadi 7 golongan sosial.
Konsep sosial masyarakat Jawa Kuno, berbeda dengan konsep sosial masyarakat era pasca-kolonial seperti saat ini. Ketujuh strata sosial yang dipegang dan diyakini masyarakat Jawa Kuno (Nusantara) itu adalah sebagai berikut:
1. Brahmana. Mereka ini tinggal di hutan, di pertapaan, tidak pula punya kekayaan pribadi.
2. Ksatria. Orang yang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi tapi kehidupannya dijamin oleh institusi negara
3. Waisya. Yaitu golongan petani. Tukang kebun. Mereka memiliki tugas menumbuhkan tanaman makanan untuk manusia.
4. Sudra. Mereka adalah saudagar, pengusaha, rentenir. Orang yang pikirannya hanya cuan dan cuan.
5. Candala. Yakni orang yang hidup dari membunuh makhluk lain. Algojo. Tukang jagal. Pemburu.
6. Mleca. Yaitu semua orang asing yang bukan pribumi dan para saudagar dari negeri seberang.
7. Tuja. Mereka yang hidupnya selalu merugikan masyarakat. Penipu, maling, dll
Masyarakat Jawa Kuno saat itu, adalah masyarakat berperadaban. Mereka punya kaidah hidup yang kuat. Bagi masyarakat Jawa Kuno, agama tak boleh dibicarakan sembarangan orang. Yang boleh bicara agama hanya golongan Brahmana dan Ksatria. Golongan di bawahnya seperti Sudra dan Mleca “haram” membicarakan masalah agama.
Artinya, saudagar dan orang asing masuk golongan Sudra dan Mleca. Golongan rendah. Golongan budak. Jadi, saat para saudagar itu berdakwah, bukannya didengar dan dikasih panggung, tapi langsung dibunuh. Sebab, orang asing dan saudagar haram berbicara agama. Ini alasan kenapa islam awalnya cukup sulit masuk Tanah Nusantara.
Melalui penerapan strata sosial ini, orang asing tak punya lini gerak sedikitpun. Sebab, mereka datang auto budak. Menginjakan kaki di Nusantara, langsung berstatus budak.
Kehadiran Wali Songo
Wali Songo (lembaga dakwah para Wali Nusantara abad 15 M) bergerak secara adaptatif dan sistematis. Para anggotanya datang dan menempatkan diri sebagai Brahmana (orang zuhud, wira’i, dan tidak pula punya kekayaan pribadi). Mereka tidak datang sebagai saudagar nan fashionable. Tapi sebagai sufi yang adaptable.
Ini alasan utama hampir semua mayoritas Wali Nusantara menampakkan diri sebagai tokoh sufi. Sebab, hanya dengan itu dakwah mereka bisa didengar dan diterima. Mereka berdakwah dengan menonjolkan konsep mauidhoh hasanah.
Wali Songo berpegang pada metode tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran). Hidup secara egaliter. Berakulturasi dengan warga lokal. Tak mengenakan nama fam. Dan bahkan berasimilasi (kawin dengan warga lokal).
Perkawinan juga jadi strategi dakwah. Dengan menikahi warga lokal, mereka akan menurunkan anak-turun berdarah campuran. Sehingga, status mereka yang semula orang asing (Mleca/budak), berkat menikahi warga setempat, berubah menjadi warga lokal (brahmana).
Tak heran jika secara ilmiah, para Ulama Nusantara memiliki tanda-tanda berdarah campuran. Sebab, leluhur mereka telah berasimilasi dengan warga lokal sebagai bagian dari strategi dakwah dan syiar islam.
Islam Indonesia atau Islam Nusantara disepuh dengan budaya. Islam yang berhias lokalitas. Islam yang tidak kaku dan tidak kagetan, begitu kata Gus Dur. Islam Indonesia, saat ini menjadi role model dan perhatian dunia sebagai islam damai nan berbudaya.