Spotify sebagai platform musik digital. Tidak hanya untuk koleksi saja. Juga digunakan sebagai ajang narsis. Pamer playlist. Menyusun dan memutar playlist sendiri. Lalu diposting lewat sosial media lain.
Berkembangnya teknologi memudahkan kamu untuk mencari segala hal. Mulai dari bacaan, film hingga musik. Dulu mau cari referensi saja susah. Harus menabung untuk beli rilisan fisik. Terlebih jika rilisan tidak hadir di kota kamu tinggal.
Sekarang sudah lebih mudah. Dengan hadirnya berbagai platform digital. Yang menyediakan semua lagu. Dari jaman batu sampai era dua ribu. Salah satunya spotify. Menawarkan akun premi berlangganan.
Kamu tinggal ketik-ketik lalu cari lagu apa yang kamu mau. Layaknya perpustakan musik seperti Lokananta. Spotify menyediakan hampir semua lagu ternama di seluruh jagad raya. Ditambah fitur premi yang bisa bebas klik tombol play sana sini.
Hadirnya digital musik poatform saat ini. Bisa dikatakan sebagai pengganti peran industri musik. Dengan mudah kamu bisa unggah karya kamu sendiri. Tanpa perlu apply demo sana sini seperti jaman dulu.
Distribusi digital sangat berpengaruh. Tidak perlu susah payah meyakinkan industri musik. Agar menerima demo kamu. Lalu diperdengarkan pada khalayak ramai. Tinggal unggah lalu jalankan strategi yang kamu punya.
Berdasar Online Music Streaming Survey 2018 oleh Daily Social. Hampir dua ribu responden di Indonesia.
88% responden sudah mendengarkan musik melalui streaming service. Dan sekitar 51% diantaranya selama per minggu. Menghabiskan waktu satu sampai empat belas jam untuk memanfaatkan layanan tersebut.
Kehadiran streaming musik juga mengundang kritik. Tak lain soal niali royalti. Bahkan beberapa musisi dunia pun juga turut mengkritik hal tersebut. Salah satunya Corey Taylor frontman dari Slipknot.
Corey menegaskan masalahnya adalah dengan perusahaan dibalik layanan streaming. Bukan hanya pada layanan streaming itu sendiri. Bahkan Thom Yorke juga angkat bicara. Bahwa tidak ada harapan lagi di industri musik dunia.
Teknologi adalah keniscayaan. Dengan berbagai alogaritma. Yang justru makin mempersempit piliham dunia kamu. Jelasnya seperti terlahirnya playlist dalam layanan streaming musik.
Kamu menyusun playlist berdasarkan yang kamu suka. Yang tanpa kamu sadari kamu sudah berada dalam sebuah toples. Dimana toples tersebut yang menjadi dunia kamu. Tidak ada lagi yang namanya kulik mengkulik.
Menawarkan kenyamanan. Hingga melahirkan narsis yang ada pada diri kamu. Bukan musik yang kamu nikmati tapi justru suasana momen yang kamu peringati. Hal ini juga dibenarkan oleh Daniel Ek, selaku CEO Spotify.
Krativitas musisi juga terbelenggu. Untuk melahirkan satu album baru. Karenanya para musisi memilih strategi. Untuk membuat single yang dirilis digital. Toh nantinya single ini juga akan bercampur. Dengan single musisi lainnya menjadi satu playlist bertema.
Meski distribusi terlihat mudah. Namun kreatifitas dan masalah nilai royalti. Menjadi fokus tersendiri karena berkembangnya teknologi. Satu jalan yang tidak bisa dipungkiri oleh musisi.
Adalah dengan cara merilis merchandise serta perjalanan tur. Untuk menawarkan rilisan album fisik. Agar karyanya didengar oleh khalayak ramai. Sehingga tidak membunuh kretifitas musisi untuk eksperimen dalam berkarya.