Paradigma psikologis dan semi ilmiah, tentang bagaimana metodologi doa dan suwuk berperan memicu kesembuhan penyakit manusia.
Asal masih punya nyawa, setiap orang pasti pernah merasakan sakit. Setiap orang juga pernah merasakan sehat. Tapi, disadari atau tidak, ada semacam keanehan kolektif yang kita alami bersama; bahwa rasa sakit jauh lebih diperhatikan daripada rasa sehat.
Padahal, “rasa sakit” dibutuhkan agar manusia memiliki pengalaman untuk mendefinisikan “rasa sehat”. Tanpa pernah mengalami “rasa sakit”, manusia akan kesulitan memberi definisi terhadap “bagaimana rasanya sehat”.
Tapi, anehnya, rasa sakit jauh lebih familiar dibanding dengan rasa sehat. Buktinya; coba baca: “rasa sakit” dan “rasa sehat”. Enak mana saat didengar? Ya, lebih enak “rasa sakit” kan? Apa alasannya?
Mari kita koceki secara mendalam. “rasa sakit” merupakan frasa yang terbentuk dari dua kata: rasa dan sakit. Sementara “rasa sehat” juga merupakan frasa yang terbentuk dari dua kata: rasa dan sehat. Frasa tersebut dibentuk oleh kata benda dan kata sifat.
Artinya, rasa sakit dan rasa sehat merupakan frasa yang kedudukannya sama. Ia dibentuk dari kata benda dan kata sifat untuk mendeskripsikan keadaan. Tapi, anehnya, kenapa istilah “rasa sakit” lebih enak didengar dan lebih familiar di telinga dibanding istilah “rasa sehat”?
Ya, mungkin tubuh kita terlalu peka pada rasa sakit. Mungkin terlalu banyak indikator rasa sakit dalam tubuh kita. Sementara pada rasa sehat, kita tak pernah peka. Coba ingat: kejedot pintu, sakit; batuk-batuk kecil, sakit; nggak disapa, sakit; dicuekin, sakit; WA nggak segera dibalas, sakit.
Lihatlah, betapa tubuh kita mudah sekali merespon sakit. Tapi saat sedang tak merasa sakit, kita tak pernah bilang sedang sehat. Malah bilang: biasa-biasa saja. Atau bilang: nggak kenapa-kenapa. Lihatlah, betapa manusia tak pernah menghargai kehadiran rasa sehat.
Disadari atau tidak, pada tubuh sendiri pun, kita sudah nggak adil sejak dalam pikiran. Kita, sudah nggak adil bahkan dalam memaknai kondisi tubuh sendiri. Kita jarang ingat kondisi sehat, tapi sangat cepat merespon rasa sakit.
Saya dan seorang kawan pernah berdiskusi berhari-hari tentang betapa sesungguhnya, dalam konteks tertentu, rasa sakit hanyalah ilusi. Secara ekstrim, kawan saya sempat meyakini bahwa dalam kadar tertentu, sakit adalah ilusi sosial yang diproduksi dan diyakini secara kolektif. Yang, sialnya, diawetkan dengan bermacam promosi.
Dari diskusi selama hampir tiga malam tanpa henti itu, akhirnya kami menyimpulkan bahwa: sakit memang ada. Sakit memang berbahaya. Tapi, respon tubuh terhadap informasi mengenai rasa sakit jauh lebih berbahaya daripada rasa sakit itu sendiri.
Buktinya. Kita kerap merasakan sakit bahkan sebelum sakit itu menghampiri tubuh kita sendiri. Sebab, kita terlalu percaya bahwa rasa sakit yang diderita orang lain, bakal direspon tubuh kita dengan cara yang sama. Padahal, belum tentu tubuh kita merespon dengan cara yang sama.
Tubuh manusia memiliki kemampuan unik dan berbeda-beda. Seseorang yang terserang demam karena musim penghujan, misalnya, bisa jadi hanya bakal direspon tubuh kita sebagai gatal-gatal. Itulah keunikan tubuh manusia.
Artinya, dalam kondisi dan kadar tertentu, sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain, belum tentu direspon sebagai rasa sakit oleh tubuh kita. Sesekali, berilah sugesti pada diri sendiri bahwa tubuh kita beda. Tubuh kita itu sehat. Meski, secara umum, harus tetap menjaga kesehatan.
Madutombo dan Rasa Sakit
Semasa kecil, saya termasuk anak yang paling sering disuwuk. Baik disuwuk oleh Kiai atau disuwuk kakek saya sendiri. Saya sering sekali mendapat tiupan atau ludahan kecil, baik di kepala atau bagian-bagian tubuh lainnya.
Tiap kali saya ikut orang tua sowan ke Kiai, kadang saya sering dimintakan suwuk doa. Baik untuk mendapat berkah, untuk menyembuhkan sakit, atau agar saya tak menjadi anak yang nakal. Metode suwuk sangat familiar dengan masa kecil saya.
Kakek saya, Mbah Khasiron, masyhur sebagai tabib suwuk. Dulu semasa hidup, banyak tamu yang datang ke rumah beliau untuk minta disuwuk. Saat saya kecil, saya masih menangi beliau nyuwuk. Tamu-tamu datang dengan berbagai macam keluhan. Ada yang sakit gigi, sakit mata, atau sakit-sakit lain yang saya tak diberitahu namanya.
Tak sedikit orang datang membawa bayi yang sedang tantrum dan nangis-nangis tak jelas. Lalu saat kakek menyentuh kepala bayi itu sambil berdoa, entah kenapa, bayi itu bisa tenang begitu saja.
Sebagai anak kecil, tentu saya janggal. Bagaimana bisa kombinasi ayat doa dan air putih bisa menyembuhkan bermacam penyakit yang tak saling berkaitan. Doa dan air putihnya sama. Keluhannya berbeda. Tapi kok semua keluhan itu bisa sembuh begitu saja?
Suwuk, pada akhirnya, adalah kemampuan meyakinkan orang lain. Sejenis sugesti dengan medium air. Ini alasan kenapa suwuk kadang terasa tidak logis. Sebab, yang disentuh bukan logika, tapi sisi psikologis. Sisi yang mampu men-sugesti diri sendiri. Bahwa tubuh kita itu sehat, tubuh kita itu kuat.
Tak semua orang bisa nyuwuk. Saya pernah diajari Kiai saya. Tapi toh saya tidak bisa. Mungkin belum waktunya bisa. Sebab konon, untuk bisa nyuwuk, butuh terbiasa berdoa, terbiasa berserah diri, dan butuh usia yang cukup matang.
Selain butuh terbiasa berdoa dan berserah diri, suwuk butuh kemampuan mengendalikan diri yang kuat. Dan pengendalian diri yang kuat, biasanya hanya bisa dilakukan “orang-orang sepuh”.
Itu alasan kenapa Kiai saya dan kakek saya dulu sering berpuasa. Atau puasa muteh. Kakek saya, bahkan menjalani puasa muteh sampai beliau wafat.
Suwuk, merupakan manunggaling dungo lan ati ingkang ombo (penyatuan doa dan kebesaran hati). Agar mudah saya ingat, sering saya singkat jadi Madutombo. Suwuk butuh doa yang mantap dan kebesaran hati.
Suwuk butuh doa sekaligus hati yang ikhlas menerima apa saja. Menerima apapun yang terjadi dan ditakdirkan untuk kita.
Kiai saya sering berpesan, doa bisa tembus langit jika tubuh tak terkontaminasi barang syubhat, apalagi barang haram. Doa juga bisa tembus langit kalau hati bisa ikhlas. Itu alasan utama tak semua orang doanya mustajabah.
Itu juga alasan orang-orang dulu hidup secara zuhud dan wira’i (sederhana dan hati-hati), bahkan sering berpuasa. Sehingga kaidah manunggaling dungo lan ati ingkang ombo, benar-benar bisa jadi wasilah.
Bagi saya, Madutombo adalah kaidah dan prinsip tentang betapa pentingnya doa dan kebesaran hati dalam menjalani hidup. Seperti yang pernah diajarkan kakek dan Kiai saya. Bukan merk madu atau jenis madu tertentu. Meski saya memang sedang berjualan madu. Hehe