Senyuman memang sangat berbahaya. Apalagi tersenyum saat ditanya soal pernikahan. Bisa-bisa memicu kesalahpahaman. Sebab, senyum “iya” dan senyum “tidak” agak sulit dibedakan.
Semester akhir menjadi momok menyeramkan bagi sebagian mahasiswa. Tidak hanya dikejar tugas akhir yang bikin sambat, tetapi juga pertanyaan pilu saat pengabdian masyarakat.
Sebulan lalu, saya dan teman saya berada di hari-hari akhir Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang diadakan kampus bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah Lumajang. Selama hampir sebulan itu, tentu banyak hal menarik yang sangat sayang jika tidak diceritakan. Hehe
Tentu kau bisa membayangkan, lelaki agak-tampan-tapi-jomblo seperti saya ini magang di KUA, rasanya kayak pengen segera dinikahkan aja. Bagaimana tidak, lha wong tiap hari ngurusi orang nikah, Je. Kan pengen.
Selesai PKL, ada yang menggelitik saya, yakni arti senyum saat ditanya tentang masalah membangun rumah tangga. Sebenarnya ini kegelisahan saya secara personal sih. Akibat banyaknya teman yang mengupload undangan nikah dan ucapan selamat berbahagia. Tolong, jangan tanya saya kapan ya ~
Menurut hitungan kalender Islam, saat ini Bulan Rajab. Bulan di mana banyak umat muslim yang giat beribadah. Tak terkecuali ibadah mistis berupa menyempurnakan separuh iman, nikah.
Nikah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Oleh karenanya, menikah tidak cukup hanya persoalan ucapan cinta dan akad, tetapi lebih dari itu, menikah ikatan suci lahiriah dan batiniah dua pasangan yang saling mencinta.
Ibadah sakral ini tak boleh dianggap main-main. Karena di dalamnya mencakup kebahagiaan. Baik ketika hari H atau setelahnya. Tentu, dalam proses menemukan pasangan orang-orang tak akan sembarangan. Banyak kriteria yang dibuat agar menikah benar-benar mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan yang abadi.
Bagi mahasiswa, pertanyaan tentang menikah juga akan sering muncul. Terutama mahasiswa yang dekat dengan masa tenggang kelulusan. Dan kau tahu, Inilah yang saya alami selama PKL.
Tempat kami melakukan pengabdian masyarakat berada di daerah yang angka pernikahan dan perceraian cukup tinggi. Kau bisa bayangkan, jomblo yang tiap hari terpapar radiasi data pernikahan dan perceraian, rasanya pengen ikut bercerai dan menikah aja. He, Plastik Puyer, kau kira nikah itu apa?
Setelah kami telusuri, iya, kami menelusurinya beneran lho. Ternyata sejak dahulu, banyak orang “terburu-buru” menikah dengan beragam alasan. Kalau saat ini, mungkin karena sering ngelihat status WA temannya. Sehingga usia pernikahan tidak berlangsung lama.
Saya jadi penasaran, apa ini ada kaitannya dengan arti tersenyum saat ditanya tentang menikah. Seperti “apa kamu mau menikah dengannya?”, “apa kamu merasa cocok?” atau pertanyaan-pertanyaan lain yang senada.
Padahal, senyum tak sesederhana berarti iya dan sepakat lho ya.
Senyuman memang sangat berbahaya. Apalagi tersenyum saat ditanya soal pernikahan. Bisa-bisa ini memicu kesalahpahaman. Sebab, antara senyum “iya, mau” dan senyum “nggak, tidak mau” agak sulit dibedakan.
Konon, dahulu ada seorang pria berniat baik meminang seorang gadis. Datanglah dia dan keluarganya mengutarakan niat baik itu. Saat ditanya apakah mau menerima cinta dari lelaki itu, gadis itu tersenyum.
Serentak kemudian orang-orang mengucap syukur tanda si gadis menerima. Padahal senyum gadis itu berarti sikap menghormati tamunya, bukan menerima cintanya ~
Nah, ini yang masih membudaya di sekitar kita. Acap kali ketika ditanya tentang menikah dan dijawab dengan tersenyum, maka orang-orang yakin kita menerimanya. Padahal belum tentu ini benar menerimanya.
Masalahnya rumit sih, Nabs. Misal saya ditanya gitu, pasti juga senyum. Lha masak mau bilang “enggak” atau “nggak mau” atau “no-no-no” kayak anak kecil disuruh tidur siang gitu kan ya nggak masuk. Hmm
Bagi orang Inggris, Skandinavia atau Jerman, senyum berarti rasa malu atau marah. Sedangkan senyum bagi orang Amerika, berarti “topeng” untuk menutupi keadaan sebenarnya.
Sebagaimana dikemukakan Borisoff dan Merrill, orang Amerika, terkhusus perempuan diharapkan sangat ekspresif. Wajah mereka mencerminkan keadaaan emosinya, terutama senyumannya.
Sejak kanak-kanak, mereka didorong untuk tersenyum guna menyenangkan orang lain. Sebaliknya kaum lelaki diajari untuk tampil maskulin. Senyum menandakan tampilan netral.
Oleh karena itu, senyum tidak melulu tentang senang dan sepakat. Bisa jadi hanya sikap menghormati lawan bicaranya.
Seperti saat saya ditanya ketika PKL, “apa mau menikah dengan perempuan sini?” Saya hanya tersenyum, tapi sambil berharap sih. Eh ~