Apa yang menarik dari menjadi dewasa? Makin dewasa, kehidupan seolah menuntut kita memerankan adegan demi adegan tanpa jeda. Mengurung kita dalam runtutan peristiwa serta berbagai tuntutan hidup.
Skenario yang pernah kita reka ternyata di jungkir balikan kenyataan yang rasanya makin absurd saja, roda kehidupan yang pernah kita bangun justru berbalik menunggangi kita.
Hari ke hari seolah hanyalah jadwal rutinitas yang harus diselesaikan, daftar apa saja yang harus dituntaskan, makanan, barang, juga pengalaman.
Menuntut kita untuk cepat dalam memenuhi semua daftar list demi list. Kita terengah-engah di dalamnya kehabisan nafas memburu waktu. Mereka yang jengah mengatakan, “Yang menarik dari menjadi dewasa ternyata cuma filmnya saja”.
Ngobrol dengan kawan dianggap mulai membuang-buang waktu, terlalu memakan waktu. Maka diciptakan Facebook, Instagram, maka diciptakan alat telekomunikasi yang menawarkan keunggulan komunikasi mutakhir.
Kita jadi tahu warna bikini selebgram hari ini, kita jadi tahu diskon yang hari ini mampir di gerai mall dan layanan shopping online.
Dunia penuhi dengan pawai hingar-bingar mempercantik diri bersaing dengan berbagai keistimewaan. Perasaan risau yang jamak saya dan kalian alami menuju era industri 4.0 seperti saat ini.
Coba cek data mengenai tingkat stres dan depresi masyarakat di Google, niscaya grafiknya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Dekade kedua milenium ini, media sosial menjadi kanal revolusi generasi 2.0. Kita seperti kembali belajar lagi cara berbicara, mendengar dan memahami. Teknologi menjadi jembatan penghubung interaksi sosial manusia era modern.
Ini mempermudah dan juga sekaligus mempersulit cara kita menyesuaikan satu sama lain sebagai spesies. Kita semua menjelma cendikiawan, Avatar adalah bentuk dari aktualisasi diri untuk menegaskan eksistensi kita di ruang sosial “media”.
Peneliti telah menemukan hubungan antara penggunaan media sosial dan FOMO (fear of missing out atau takut ketinggalan) dan pembandingan sosial, Nabs.
Karena media sosial adalah sesuatu yang relatif baru, penggunaan media sosial sebagai bentuk aplikasi interaktif selain untuk berkomunikasi juga mendukung pengguna meraih target-target pribadi.
Kita mulai mengenal dunia yang serba canggih namun dengan logika yang terkesan paradoks. Kehidupan dimana manusia terpaksa hidup di dua dunia antar nyata dan virtual, namun tanpa bisa memiliki kesadaran ganda.
Relasi kita dengan orang lain tak cukup dibuktikan di dunia nyata, tetapi juga dengan saling follow, add, dan berinteraksi di dunia maya. Kita menjalani kehidupan onlife, online dan life di mana batas antar dunia nyata dan maya menjadi bias. Naasnya, kita menjalani ini semua dengan kesadaran tunggal.
Kita tak tahu lagi berapa banyaknya berita dan informasi yang ada di belantara semesta digital itu dalam satu hari. Atau bahkan kita tak sempat melihat kabar kawan-kawan kita yang tak begitu aktif di dunia maya kita menyebutnya kudet.
Kemudian ini disebut ekonomi atensi ialah yang kita hadapi saat ini. Kita dihadapkan dengan berbagai pihak yang meminta atensi kita dengan berbagai cara.
Rasanya lumrah bahkan bila produsen besar layanan digital mengembangkan rekayasa atensi, agar mata kita tak pernah berpaling dari layar 5,6 inci tersebut. Sehari-hari kita selalu terdistraksi oleh gawai. Keengganan kita untuk menyadari bahwa segala kemajuan ini adalah bentuk lain dari dunia yang makin gelap dan serba superioritas.
Memang menyebalkan jika ternyata kita masih kerap merasa terasing dari kerumunan saat gawai tak ada dalam genggaman. Maka jalan satu-satunya untuk berhenti sementara adalah istirahat. Ya, duduk sejenak. Sudahi cemasmu, cari tempat yang mampu menenangkan sumpekmu, stresmu, dan gundahmu. Salah seorang kawan pernah bersabda maka nyangkruklah.
Bagi saya dalam hal ini alternatif pilihan yang bisa di coba adalah cangkrukan. Simpan dulu gadgetmu! Mari cangkrukan nikmati liburmu selepas mungkin sebelum tiba Senin morat-maret.
Substansi dalam Khazanah cangkrukan selalu berhasil mendeskripsikan kesederhanaan dengan begitu syahdu. Kehidupan sederhana ala masyarakat kelas pekerja pedesaan yang justru terasa begitu menentramkan.
Mampu menetralisir kegundahan juga mendealektisir cinta sekaligus melepas lelah dari ketersisihan, dengan kesadaran penuh memilih untuk sejenak berhenti dari laju dunia yang serba gelisah. Kedigdayaan suasana cangkrukan adalah tempat pulang dari segala gundah gulananya kehidupan.
Saat kebanyakan anak-anak muda lain menuntaskan hiburannya di internet dan sibuk dengan gawai. Kami dan kadang dengan para bapak-bapak menghabiskan waktu luang dengan nyangkruk di gerdu. Kami jadi tahu musim yang bagus untuk menanam singkong, kami jadi mengerti rasi bintang mana yang jadi petunjuk mencari belut di pematang, atau cerita hantu yang menunggu di sudut desa yang kadang membuat kami bergidik merinding. Meski tak ada pemandangan rumah mewah, kendaraan mentereng dan gadget bagus disini. Saya tahu bahwa mereka adalah orang-orang kaya.
***
Selayang Pandang,
Lanskap dibatas sore menjelang malam, pemandangan siluet jingga digelar oleh langit di atas hamparan hijau persawahan. Rona bahagia terurai, senyum ramah kembang desa menyuguhkan kearifan. Desir lembut angin sore melambaikan pucuk-pucuk bambu, menggugurkan kembang sitar semerbak wanginya mengandaikan ketenteraman.
Duduk barang sejenak, tak ada hari yang buru-buru disini, tak ada sarapan di jalan, tak ada langkah kaki yang di percepat atau obrolan singkat sambil berlalu.
Serupa rindu, Sukosari desa kecil sebelah selatan kabupaten Madiun. Selalu menghadirkan memoar. Dulu, dulu sekali. Desa kami serupa surga, tak hanya kecantikan alam tapi juga ketentraman hidup yang niscaya.
***
Duduk bersama, seorang kawan menceritakan kenangannya sambil menyeruput kopi membicarakan kenangan masa kecil bersama rekan seangkatan, Ingatan tentang sawah, sepeda ontel tengik, rumah mungil, motor vespa, teman yang sedikit nggapleki.
Bentuk solidaritas organik dalam budaya cangkrukan pada masyarakat Jawa timuran merupakan impresi kita sebagai makhluk sosial, bahwa manusia membutuhkan kehadiran orang lain, bukan dalam hal ketergantungan pada satu-dua tokoh kuat, melainkan satu sama lain terhubung pada harapan dan kepercayaan yang sama.
Di balik hingar-bingar dunia dan sibuknya menjadi dewasa beserta gagasan dan ambisi bagi kami masyarakat desa, nyangkruk merupakan tempat yang benar-benar menenangkan. Sebab nyangkruk menjadi semacam sihir yang menyatukan kami semua dengan berbagai latar pengetahuan dan wawas yang lebih perspektif. Melalui budaya cangkrukan menjadi Khasanah masyarakat komunal menyelesaikan berbagai masalah dengan ciri keterbukaan.
Pertemuan yang kental dengan keakraban menjadi nuansa yang khas pada kegiatan nyangkruk. Proses pertukaran informasi, ilmu, gagasan, wacana serta berbagai pengetahuan lain menjadi lebih ringan dan efektif. Dan karena cangkrukanlah kami tak pernah berniat menjual ginjal.