Mata Pusaran dan Di Atas Lumpur. Dua karya tersebut ditulis saat Pram diasingkan di pulau Buru selama 14 tahun tanpa diadili. Selain tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca–yang disebut-sebut sebagai master piece nya, dua karya di atas barangkali juga menjadi karya yang tak kalah agungnya.
Mata Pusaran
Karya ini tidak pernah terbit hingga saat ini lantaran banyak sekali rute cadas yang dilaluinya. Dan seperti disebut di awal, naskah ini cacat. Tidak utuh. Tercabik. Dimutilasi dan hampir lenyap.
Sejarawan Muhidin M. Dahlan menengarai jika naskah ini sebenarnya juga rancang bangun “tetralogi buru lainnya”, selain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Dimulai dari Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik dan Drama Mangir.
Sayang sekali, Mata Pusaran ditemukan dengan kondisi mengenaskan; hanya terdiri dari beberapa bab saja. Ibarat kita baca skripsi, kita hanya mendapati bab 3 nya saja. “(… sempat hilang; ditemukan dengan remuk cacat dan hanya menyisakan halaman 232-362)”, tulis Muhidin.
Sampai akhirnya pada medio 1990, ada seorang Belanda yang rajin mencari literatur di pasar buku tua di Pasar Senen, Jakarta, secara ganjil menemukan naskah Mata Pusaran. Saat pertama kali ditemukan masih dalam ketikan setengah folio yang sudah difotokopi dan tidak utuh. Cacat. Akhirnya dibeli dan diberikan kepada Pram. Pram sangat kecewa, tentu saja. Usia dan kondisinya saat itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk menulis ulang roman bersejarah itu.
Kondisi yang Memprihatinkan
Kali pertama ditemukan, naskah Mata Pusaran sudah sangat memprihatinkan. Lebih dari separuh bagiannya hilang. Tersisa 130 halaman, mulai dari 232 hingga 362. Cerita awal dan akhir dimutilasi. Maklum, Mata Pusaran hanya tersampul pembungkus rokok Bentoel Royal Filter warna kuning kecoklatan. Diberi judul dengan coretan tangan “II – Mata Pusaran”. Tulisan yang diketik manual itu juga sudah mulai aus dan kabur.
Rasanya para pembaca Pram akan sangat penasaran dengan isi yang tersisa dari Mata Pusaran. Muhidin dalam ” Pram yang Berumah dalam Buku”, menulis, jika Mata Pusaran ini hanya tersisa 5 bab. Dimulai dari bab 10-14. Bab 10 bertitel “Arus dari Utara II” (232-262 hal), Bab 11 berjudul “Perang Lidah” (262-286 hal), Bab 12 berjudul: “Baru dalam Hati” (287-310 hal), Bab 13: “Arus dari Utara 3” (311-336 hal), dan bab 14: “Tuban” (337-362).
Tentu saja, 5 bab yang tersisa itu tidak bisa menjadi bahan yang bisa ditafsirkan. Apa yang hendak Pram sampaikan. Namun jika hanya menerka dan meraba, barangkali bisa ditautkan dengan urutan periode bangun jatuhnya sejarah Nusantara; Tumapel-Singasari (Arok-Dedes), Majapahit (Mata Pusaran), Demak-Mataram (Arus Balik), dan Mangir (Mangir-Mataram).
Dalam Bab 10 Mata Pusaran di lembar ketiga, setelah Pram membinasakan tokoh Indung Mangil sang penyihir oleh Saetu, irasionalitas harus ditumbangkan untuk menghadapi Utara.
“Para prajawan tak mengerti, apakah negara akan bisa bangkit kembali setelah perang lima tahun belakangan ini. Kekuatan laut Majapahit telah ambyar dengan busa. Bajak dan perompak dalam rombongan kecil merajalela di seluruh pantai. Sedang bajak dan perompak besar bergabung dengan armada pengiring dari Utara.
Keamanan laut yang tak menentu membikin perdagangan sendat. Sisa angkatan laut yang tak seberapa dengan Laksamana Suradi ditarik untuk mempertahankan Kerajaan Majapahit atas kepulauan rempah-rempah karena dengan hilangnya kekuasaan atasnya akan berarti matinya perjuangan, matinya Gresik, dan akan membikin Majapahit kembali jadi negeri pertanian seperti pada awal berdirinya “.
Di Atas Lumpur
Nah, naskah Di Atas Lumpur Ini sepertinya utuh, namun sama dengan Mata Pusaran; tidak pernah terbit. Pun ditulis saat di Buru. Naskah ” Di Atas Lumpur” Sampai saat ini masih tersimpan rapi di Perpustakaan Medayu Agung yang terletak di Medokan Ayu, Rungkut, daerah selatan Surabaya.

Perpustakaan ini dibuka pada tahun 2001 oleh seorang mantan wartawan sekaligus eks tapol yang juga pernah diasingkan di Buru bersama Pram bernama Oei Hiem Hwie. Pada dasarnya, perpustakaan ini merupakan perpustakaan pribadi yang terbuka untuk umum. Di perpustakaan ini juga banyak koran dan arsip serta naskah kuno dan langka. Termasuk naskah Di Atas Lumpur-nya Pram.
Mengutip dari laman resmi CNN Indonesia, “… Aku juga masih punya buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, yang berisi catatannya selama di Buru. Buku itu tak banyak beredar lagi sekarang. Naskah Di Atas Lumpur yang tak pernah diterbitkan pun, ada di tanganku. ”
Kini, di era digital yang sangat massif ini, semoga karya-karya yang belum terbit itu bisa dirundingkan dengan ahli waris Pram untuk terbit. (Meski amat susah). Di era serba ai, bdi mana banyak anak muda yang merujuk ke chat gpt, daripada ke perpustakaan dan ruang arsip, semoga saja nama Pram muncul di mesin pencarian mereka. Atau barangkali seperti Hanung; perlunya dibuat film atas beberapa karya Pram lainnya selain Bumi Manusia.
Terbukti masih ada, meskipun tak banyak, yang mengenal Pram. Yang awal mula kenal lewat sosok anak muda bekas boyband, Coboy Junior. Dilan. Eh, maksudnya Iqbaal Ramadhan.
Pram, selalu mempunyai daya lecut, bisa membangkitkan dan meletupkan siapa saja dengan sejadi-jadinya.