Terkadang kita perlu menonaktifkan gadget agar bisa fokus untuk melakukan sesuatu. Sebagai misal membaca buku, kemudian menikmati makan di rumah, hingga mencuci perabotan memasak.
Atau pula, hal lain seperti merapikan kamar dan baju, menyapu lantai, kemudian juga membuang sampah, yang kemudian aneka pekerjaan tersebut selesai tanpa terganggu oleh notifikasi gadget.
Telah banyak contoh kita lihat bersama, bila pekerjaan-pekerjaan yang remeh lalu diiringi dengan bermain gadget, bagi penulis seakan tidak serius untuk menuntaskan pekerjaan yang dilakukan.
Ia “seperti” mengabaikan pekerjaan pokok, dan melakukan aktivitas yang tidak penting. Padahal –menggunakan gadget, bisa dilakukan setelah yang pokok selesai.
Hal ini selaras dengan hasil riset Putri dkk. (2024), manakala kita bisa membatasi penggunaan gadget –dengan mematikan saat mengisi batrai (cas) sebagai misal, itu sama dengan menaruh kepedulian sosial tuntas terlebih dahulu.
Tidak lantas menjadi individualis, yang menyebabkan seseorang abai dan kurang peduli terhadap hiruk-pikuk kehidupan sosial yang terjadi.
Tahan Lama
Kemudian, mengutip laman slashgear, Rabu (15/06/22) bila upaya menonaktifkan gadget sekali sepekan, ternyata bisa memperpanjang umur gadget. Artinya, masa penggunaan gadget akan bertahan lebih lama. Sebab, kala kita menonaktifkan gadget –di cas sebagai misal, performa gadget akan terjaga dengan optimal.
Selain fokus untuk menuntaskan pekerjaan, kemudian gadget menjadi tahan lama, hal yang lain kita memberi ruang istirahat kepada gadget.
Kita perlu merasa, bagaimana bila dalam sehari-semalam tidak tidur! Menilik Riset Fitriana (2021) disebutkan, bila kurang tidur terjadi pada manusia, kualitas hidupnya akan menurun, mood-nya menjadi tidak bagus, serta pekerjaan menjadi berantakan oleh karena tidak fokus.
Begitu pula bila kemudian kita hubungkan dengan gadget, ia kalau di on-kan setiap saat untuk bekerja melayani kebutuhan ruang sosial media (sosmed), “apa itu tidak menyiksa?” Alhasil, wajar bila terkadang gadget terjadi error. Oleh karena, kita sebagai pemilik memperlakukannya tidak dengan penuh kasih sayang.
Kita perlu sedikit memikir dengan pertimbangan hati nurani –atau merenung, bila gadget itu menjadi sarana kita mempermudah perihal yang dibutuhkan dalam urusan dunia. Upanya merenung meminjam bahasa Prof. Abuddin Nata (2017:114), oleh sebab hati nurani merupakan tempat di mana kita –sebagai manusia, dapat memperoleh saluran ilham dari Allah Swt.
Penggunaan hati nurani, diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah, muncul kemudian paham intuisisme, yang mengatakan bila perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati. Kebalikannya, perbuatan dikata tidak baik (buruk), manakala bertentangan dengan kata hati.
Bila kemudian dihubungkan dengan gadget, hanya karena ia benda mati yang tidak bisa diajak berdialog –secara langsung, kita sebagai pemilik memperlakukannya semena-mena.
Mulai dari dengan menggunakan setiap saat tanpa diistirahatkan, kemudian tidak dibersihkan sehingga gadget tampak kusam bercampur debu, minyak, serta jenis kotoran lain yang bisa menempel dibagian manapun. Inilah bagi penulis perilaku “tidak manusiawi” kepada benda mati.
Mungkin, kategori pemilik yang seperti ini, sedang lupa. Bila dari gadget yang dimiliki –meski jadul atau jelak, ia sangat membantu kehidupan. Ia sedang lupa, bila kebisaannya memiliki gadget secara teologis atas nikmat rizki dari Allah Swt yang diberikan kepada-Nya.
Jika demikian, rasa humanisme –memperlakukan layaknya manusia yang bisa menjerit, sakit dan sebagainya, perlu diasah. Justru dengan memperlakukannya dengan baik, dalam perspektif penulis adalah sebagai sikap syukur kita kepada-Nya.
Dengan menjaganya agar senantiasa bersih, juga bagian dari syukur kepada-Nya pula. Kemudian, dengan mematikan sejenak, agar perangkat hard-soft ware tidak bekerja full time yang tanpa batas, tentu bukti syukur agar usianya lama.
Akhirnya, mari kita nalar dengan akal sehat –menghubungkan dengan kata hati, bila pemilik gadget saja butuh istirahat, selayaknya gadgat begitu pula kan kawan!
Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri.