Thomas Raffles menyebut Tlatah Njipangan sebagai reruntuhan Medang Kamulan. Faktanya, memang terbukti secara literatur dan jejak artefak.
Medang Kamulan, wilayah melegenda yang dikenal sebagai rahim kerajaan-kerajaan Jawa, sejauh ini dikenal dari sudut pandang folklore. Meski, tak sedikit dari folklore yang ada di Pulau Jawa, sesungguhnya kerap mengisyaratkan sedimentasi fakta sejarah. Begitupun Medang Kamulan.
“Antara pantai utara Jawa dengan Istana Kesultanan Jawa, dari Grobogan menuju Lamongan, terdapat kawasan hutan purba, membentang sepanjang bukit kapur Kendeng Tengah dan Utara. Di dalam hutan inilah, asal-usul peradaban Jawa dimulai”. Begitu Totok Supriyanto (2023), menggambarkan Medang Kamulan, titik di mana manusia purba pernah ditemukan.
Dalam konteks geohistoris, Medang Kamulan berkait erat dengan wilayah Njipangan, perlintasan sungai Lusi dan Bengawan, yang membentang panjang dari Grobogan, Blora, dan Bojonegoro. Thomas Stamford Raffles (1817) menyebut kawasan ini dengan istilah The Ruins of Medang Kamulan.

Jipang, yang kini dikenal dengan Bojonegoro dan separuh Blora, secara geohistoris memang berkaitan erat dengan Medang Kamulan. Nama Jipang sudah terdeteksi sejak zaman Prasasti Telang (903 M) dan Prasasti Sangsang (907 M). Namun, nama itu tercatat sahih pada Prasasti Maribong (1264 M).
Secara geo-politik, Jipang menjadi kawasan penting karena menjadi titik Bhinnasrantaloka — tempat di mana Jenggala (Jawa Utara) dan Panjalu (Jawa Selatan) dipersatukan. Pemersatunya, tentu Para Begawan. Wilayah Jipang memang dikenal sebagai Ranah Begawan, tempat para penjaga denyut nadi Pulau Jawa.
Baca Juga: Nagari Jipang, Cikal Bakal Blora dan Bojonegoro
Wilayah Jipang yang membentang dari Jipangulu sampai Jipangilir, pernah dipecah-pecah menjadi enam bagian, di antaranya; Jipang Panolan, Jipang Padangan, Jipang Rajekwesi, Jipang Tinawun, Jipang Sekaran, dan Jipang Baureno. Meski dipecah-pecah, ia tetap gagah dan membahayakan kolonial.

Sampai pada masa Perang Jawa (1825), nama Jipang masih gagah menghantui Londo Jowo dan Londo Holland. Baru pada September 1828 M, dengan bermacam upaya serius, nama Jipang dihilangkan, diganti dengan nama baru: Bojonegoro. Tentu, dalam rangka mengubur kebesarannya.
Tak hanya diganti, dua lokasi yang menjadi “cakra” Njipangan dipotong dijadikan dua. Dipisah. Jipang Panolan diikutkan Jawa Tengah, Jipang Padangan diikutkan Jawa Timur. Sementara nama Jipang sendiri dibonsai menjadi sebuah desa kecil yang di peta pun sulit dicari.
Tak hanya itu, titik Jipang yang sudah dibonsai menjadi kecil itu, ditanami residu perang kolosal yang baru dibuat pada abad 19 M. Penulisnya bernama JJ. Meinsma dibantu Londo Jowo. Sebegitu hebatnya mereka berupaya menghilangkan jejak Jipang. Untungnya, mereka tetap gagal.
Spirit Medang Kamulan
Di kawasan Jipang (Bojonegoro dan separuh Blora), jejak Medang Kamulan sebagai cikal bakal masih terjaga hingga saat ini. Nama Dusun Medang dan Desa Kamulan masih ditemui di wilayah Kabupaten Blora. Sampai saat ini pun, nama Medang dan Kamolan ini masih menjadi toponim kawasan tersebut.
Dalam Nederlanche Oost-Indie (1857 M), pelancong Belanda bernama Abraham Jacob merekam sebuah Bale Kambang (pasar perahu) bernama Kamulan. Lokasinya berada di barat Bojonegoro, dan di timur Padangan. Kawasan Kamulan ini, kini masuk wilayah Desa Telang, Malo, Kabupaten Bojonegoro.
Medang Kamulan sebagai tanah cikal bakal Jipang (Blora dan Bojonegoro), tentu bukan sekadar dongeng. Sebab, jauh-jauh hari, para sejarawan telah melakukan penelitian terkait keberadaan Medang Kamulan di sejumlah titik wilayah Jipang. Sehingga, bukti literatur dan jejak artefaknya pun, masih ada.
Jejak Literatur
Daniel Van der Meulen (1894-1989), seorang penjelajah Belanda mengemukakan, Medang Kamulan mengacu pada istilah “Hasin-Medang-Kawu-Lang-Pi-Ya” yang disebut dalam catatan Tiongkok. Dalam sejumlah mitos, menurutnya, Medang Kamulan adalah sisa ingatan kolektif masyarakat Jawa tentang kerajaan Medang — berkaitan dengan Kerajaan Medang pada abad ke-8 hingga 11 M.
Hipotesa Van der Meulen tentu didukung basis literatur. Prasasti Telang (903 M) dan Prasasti Sangsang (907 M) yang dikeluarkan Penguasa Medang, Raja Dyah Baletung (898 – 910 M), tak hanya membahas produksi lengo (minyak tanah), tapi juga menyebut sejumlah titik seperti Sotasrungga, Pagerwesi, dan Sima Pungpunana, kawasan penting zaman Medang, yang kini masuk wilayah administratif Bojonegoro.
Prasasti Sangsang (907 M) dan Prasasti Telang (903 M), yang notabene ditulis pada awal abad 10 M oleh Raja Dyah Baletung (898 -910), juga membahas peradaban masyarakat Bale Lantung di kawasan yang saat ini masuk wilayah Blora dan Bojonegoro. Kedua Prasasti ini membahas status sosial berperadaban tinggi seperti Vinkas, Variga, Kalang, Kalima, dan Gusti.
Perjalanan Bujangga Manik
Bujangga Manik, penjelajah abad 15 M dari Jawa Barat, menceritakan kisah perjalanannya berangkat ke kawasan timur Jawa. Setelah melewati Pulutan (Grobogan), dia bergerak ke arah timur, ke Medang Kamulan. Setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, ia tiba di kawasan Gegelang yang terletak di selatan Medang Kamulan.
Sungai Wuluyu, secara empiris, adalah nama kuno Bengawan — sungai besar terpanjang di Pulau Jawa. Sedangkan Gegelang, saat ini dikenal sebagai kawasan di antara Ngawi-Madiun. Dalam konteks literatur di atas, Medang Kamulan yang disebut Bujangga Manik adalah wilayah peradaban sungai Bengawan, yang kini jadi batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Selain mencatat perjalanan berangkat, Bujangga Manik juga mencatat perjalanan pulang kembali ke arah barat. Dalam catatannya ia menyebut, sepulang dari timur Jawa, dia bergerak ke arah barat, melintasi Gunung Lawu di selatan, kemudian berjalan ke utara, ke kawasan bukit kapur bernama Urawan, yang berbatasan dengan Gegelang.
Dalam konteks geografis, lokasi Urawan yang dicatat Bujangga Manik tersebut, berada di arah timur laut Gegelang (Madiun). Dan berada di arah tenggara Bojonegoro. Para sejarawan mendeskripsikan wilayah Urawan (Ngurawan) ini, sebagai nama kuno kawasan bukit kapur di sudut tenggara Bojonegoro, yang kini dikenal kawasan Gunung Pegat, Baureno.
Jejak Artefak
Seorang kurator dan kolektor keramik kuno, Egbert Willem van Orsoy (1886-1964), pada 1940, melakukan ekspedisi pencarian bukti keberadaan keraton Medang Kamulan di wilayah Grobogan dan Blora. Dari ekspedisi penelitian itu, ia memang tak menemukan bekas keraton Medang. Namun, ia menemukan keramik Cina dari abad 8 M hingga 10 M, periode era Medang.
Sementara di wilayah Jipang (Bojonegoro), pada 1862 M, peneliti Belanda bernama J. F. G. Brumund pernah meneliti Jipangulu (Margomulyo). Ia mencatat, di tempat itu ditemui banyak batu bata berukuran besar dari abad 8 M hingga 10 M. Brumund berasumsi, pada masa lalu, Jipangulu merupakan bagian penting yang jadi pusat peradaban Jipang (Bojonegoro).
Sejak zaman Medang Kamulan hingga Jipang, banyak narasi kejayaan tersimpan di tempat ini. Banyaknya kejayaan inilah, yang membuat kolonial (terutama Londo Jowo) tak menyukainya, dan berupaya menghilangkannya. Untungnya Tuhan Maha Baik. Buktinya, mentalitet kolonial selalu gagal.
Thomas Raffles menyebut Tlatah Njipangan sebagai The Ruins of Medang Kamulan (reruntuhan Medang Kamulan). Faktanya, memang terbukti secara literatur maupun jejak artefak. Njipangan adalah pewaris spirit Telang dan Sangsang yang sangat ditakuti Londo Jowo dan mentalitet kolonial.