“Nayoh”, “Genjong”, “Genyo”, “Njungok”, “Lebi”, “Jengklong”, “Erek”, “Sicok”, “Jengkeran”, dan sederet kosakata lainnya adalah sebuah keunikan bahasa yang akan sering anda jumpai di tanah Bojonegoro.
Sebagai alumni perantauan di kota pahlawan, teman-teman saya akan dengan mudah mengidentifikasi asal daerah saya melalui beberapa penggal kalimat yang saya ucapkan.
Contoh sederhananya adalah deretan kosakata di atas yang hanya lazim digunakan secara khas di daerah Bojonegoro dan tidak ditemui di daerah berbahasa Jawa yang lain pada umumnya.
Sama seperti wilayah Tegal, Banyumas, Pekalongan, dan sekitarnya yang terkenal dengan dialek Ngapaknya maka Bojonegoro dan kawasan sekitarnya punya dialeknya sendiri yang biasa disebut bahasa Jonegoroan.
Bahasa Jonegoroan atau biasa juga disebut sebagai dialek Aneman biasa dituturkan di daerah Bojonegoro, Tuban, Rembang, Blora, dan sebagian Pati.
Dialek Aneman memiliki perbedaan paling kentara pada penggunaan imbuhan pronomina kata ganti orang kedua, Nabs.
Apabila pada bahasa Jawa secara umumnya menggunakan imbuhan “-mu” untuk menunjukkan kepemilikan orang kedua maka di daerah Bojonegoro menggunakan klitik “-em” sebagai imbuhannya.
Seperti omahmu menjadi omahem, duwikmu menjadi duwik’em dan pada kata yang berakhiran huruf vokal diselipkan huruf N sebagai penyambung antara kata benda dengan klitiknya.
Semisal bukumu menjadi bukunem, gurumu menjadi gurunem, dan untumu menjadi untunem.
Keunikan lain bahasa Jonegoroan adalah adanya perbedaan pelafalan pada beberapa kata.
Bila biasanya daerah lain melafalkan kata putih dengan i seperti e pada kata “enak”, akan tetapi dalam dialek Aneman biasa melafalkan kata putih dengan i seperti e pada kata “cewek”.
Pun demikian dengan kata berakhiran serupa seperti getih, sugih, batih, dll.
Atau pelafalan pada kata berakhiran -uh seperti rubuh, butuh, embuh, dan utuh pada dialek Aneman lazim melafalkannya menjadi ruboh, butoh, emboh, dan utoh dengan pelafalan huruf o serupa pada kata “bodoh”.
Nabs, selain imbuhan “-em” dan pelafalan yang sedikit berbeda pada beberapa kata. Dialek Aneman juga punya beberapa kata khas seperti yang telah disebutkan pada paragraf awal.
Nayoh berarti mudah, genjong berarti memindah, genyo berarti mengapa, lebi berarti menutup, jengklong berarti nyamuk, sicok berarti satu, erek berarti dekat, dan jengkeran berarti bicara.
Kata-kata di atas akan menimbulkan tanda tanya besar pada isi kepala penutur bahasa Jawa pada umumnya.
Saya sering kali keceplosan mengucapkan kata-kata di atas pada nonpenutur bahasa Jonegoroan sehingga respon yang saya dapatkan adalah rekan-rekan saya akan bergeming dan menerka-neraka apa gerangan maksud yang hendak saya sampaikan.
Sementara itu ada pula kata yang sama digunakan di daerah lain tapi berbeda makna. Nah, perbedaan makna pada beberapa kata inilah yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara penutur dialek Jonegoroan dengan dialek bahasa Jawa lainnya.
Seperti kata lesu, jika pada dialek bahasa Jawa lainnya lesu berarti lemas, pada dialek Jonegoroan lesu berarti lapar.
Contoh sederhana dari kesalahpahaman akibat perbedaan dialek ini adalah saat saya sedang bercakap-cakap dengan kawan saya asal Banyuwangi, sebut saja Pucu.
“Puc, ayo golek mangan lesu aku!”
(Puc, ayo cari makan saya lapar!)
“La kon lara ta kok lesu?”
(Kamu sakit apa kok lemas?)
“Mosok kudu ngenteni lara mben iso mangan?”
(Masa harus nunggu sakit dulu biar bisa makan?)
Sungguh percakapan yang di luar nalar akibat perbedaan subkultur yang terjadi di antara dua orang berbeda latar budaya tersebut.
Perbedaan lain yang cukup merepotkan bagi penutur dialek Jonegoroan dengan penutur dialek bahasa Jawa di Jawa Timur pada umumnya adalah karena berbagai aspek kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya daerah Jawa Tengah daripada daerah Jawa Timur, termasuk salah satunya pada unsur bahasa (Sunaryo dkk, 1984).
Hal ini terjadi karena Bojonegoro sendiri sebelum kemerdekaan memang masih tercantum sebagai salah satu daerah di bawah administrasi Jawa Tengah.
Baru pada 1 Juli 1928 Bojonegoro bersama dengan Tuban digabungkan dengan Surabaya sehingga secara geografis beralih dari wilayah Jawa Tengah ke Jawa Timur (Warto, 2011).
Contoh kecil perbedaan pemaknaan ini adalah pada penggunaan kata mari. Bila di wilayah Jawa Timur pada umumnya kata mari mempunyai makna selesai atau sudah maka di Bojonegoro kata mari merujuk pada pemaknaan sembuh.
Sementara kata sembuh di daerah Jawa Timur lainnya biasa dilafalkan dengan kata waras. Namun di Bojonegoro sendiri kata waras lazim digunakan untuk menyebutkan kondisi sembuh setelah mengalami sakit kejiwaan bukan sakit secara fisik.
Berikut saya cantumkan dialog fiktif mengenai perbedaan pemaknaan antara penutur bahasa Jonegoroan dengan penutur bahasa Jawa pada umumnya di Jawa Timur.
“Tugasmu wis mari ta?”
(Tugasmu sudah selesai ‘kah?)
“Tugasku gak lara apa-apa kok mari. Yo opo sampeyan iki?”
(Tugasku tidak sakit apa-apa kok sembuh. Bagaimana kamu ini?)
Atau,
“Piye kabare ibumu wis waras ta?”
(Bagaimana kabar ibumu sudah sembuhkan?)
“Ibuku gak gendeng kok waras. Ngajak geger ta sampeyan?”
(Ibuku tidak gila kok sembuh. Mau ngajak ribut kamu?)
Keunikan-keunikan yang terjadi di dialek Aneman khususnya pada wilayah Bojonegoro menjadi subkultur tersendiri yang semakin memperkaya khazanah budaya Jawa.
Nabs, maka sebagai wilayah yang bahasa Jawanya berbeda sendiri dengan bahasa Jawa pada umumnya di wilayah Jawa Timur paling tidak masyarakat Bojonegoro harus berbangga hati memiliki keunikan subkultur tersebut.