Sebagai perantau, saya akrab dengan ugal-ugalan dan ngawurnya bus. Begitu juga akrab dengan keramahan sekaligus keegoisan masing-masing penumpangnya.
Di kendaraan umum seperti bus, selain awal sebuah pertemuan dua pasang kekasih seperti yang seringkali kita lihat di televisi yang nahasnya nyaris mustahil dialami oleh saya pribadi terutama, yang akrab adalah perkenalan biasa dengan penumpang lain.
Saling senyum dan bertanya dari mana mau ke mana. Pertanyaan itu muncul mendahului identitas yang paling melekat, yakni nama. Ini artinya asal dan tujuan jauh lebih penting dari nama…bagi penumpang kendaraan umum. Ini yang menyulitkan saya untuk menulis satu cerita sederhana di atas bus.
Di sisi lain, tidak usah dipungkiri bahwa Bojonegoro, atau Indonesia sajalah, lebih banyak dihuni orang-orang individualis. Kenapa saya bisa bilang begitu? Lho, masih perlu saya jelaskan?
Sebagai penumpang bus ekonomi yang sudah sering sekali dengan tipu-daya kernet, saya jadi akrab dengan desak-desakan di atas bus yang penuh sesak oleh orang dan berbagai macam keringat.
Gak ngono, gak iso mbalik mergawe. Di masa-masa sulit itu, semua orang sibuk menyelamatkan diri mereka masing-masing dalam kenyamanan. Iyo opo ora? Ngaku! Mana peduli sama ibu-ibu yang sedang gendong anak bayi, atau ibu-ibu hamil, atau orang tua, atau orang-orang difabel.
Masih nggak mau dibilang individualis? Ngaku aja, sebagian besar masyarakat kita masih seperti itu. Belum lagi yang egois seperti Kernet dan Sopir Bus yang terus-terusan berteriak, “kosong, kosong!” padahal penumpangnya mau kentut saja kesulitan karena nggak ada ruang bebas sama sekali di dalam.
Di balik rasa jengkel saya pada Bapak Kernet yang terus meminta sopir untuk menepi, memasukkan beberapa penumpang lagi, saya bersyukur bahwa masih ada belas kasih dan kepedulian di bus ini. Adegan sederhana sebenarnya, tapi saya sendiri bahkan tak yakin akan melakukannya di posisi yang sama.
Seorang anak muda, perempuan seusiaku (ya anggap saja masih mudalah ya), dengan kacamata hitam bundar dan baju berwarna senada yang duduk di kursi deretan pertama.
Dengan tergesa perempuan itu berdiri dari duduknya, saya kira hendak turun, tapi bus baru saja berangkat (bahkan belum meninggalkan Kabupaten Bojonegoro).
Begitu ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya naik dari pintu belakang, lantas berjalan ke tengah dan berdiri sembari menggendong anaknya, gadis yang duduk di bangku paling depan itu segera berdiri, mempersilakan ibu-ibu itu untuk duduk, lantas dengan kerelaan, ia bergabung bersama kami, barisan yang siap berdiri sampai tempat tujuan.
Saya lihat sekitar saya, banyak juga anak muda lain, perempuan dan laki-laki, yang duduk. Hanya dia, gadis berkacamata yang mengenakan baju warna hitam, yang mau memanggil ibu-ibu muda tadi untuk bertukar tempat.
Di satu sisi, ketika satu penumpang yang duduk di sebelah saya kemudian turun, saya mempersilakan seorang anak kecil untuk duduk mengisi kursi tersebut, yang terjadi adalah anak perempuan muda, kukira seorang mahasiswi, nyelonong mengambil alih kursi tersebut tanpa mempedulikan anak kecil yang sedang terdesak.
Lha nek mung gawe kowe, mending tak gawe lungguh dewe ae, Mbak. Tapi, saya tidak boleh emosi. Biar saja mahasiswi yang juga berkacamata, berbaju biru dengan celana kotak-kotak itu duduk dengan manis, dengan egois, dan tetap menjadi makhluk individualis.
Bukan hal yang besar memang, tapi lihat, betapa hal kecil saja tidak banyak yang mau melakukan. Apalagi dengan kebaikan-kebaikan besar? Perkara kecil saja, orang-orang berebut mengesampingkan yang lebih membutuhkan, apalagi perkara besar?
Hidup itu seperti menaiki anak tangga. Kita perlu memulai dari anak tangga yang paling rendah untuk mencapai yang tertinggi. Begitu juga menebar laku baik dan kepedulian. Jika hal kecil saja luput kita pedulikan, bagaimana hal besar mampu diurus oleh tangan?
Seperti yang saya tuliskan di awal. Perihal keakraban penumpang bus justru pada kesamaan asal ataupun tujuan. Itu pulalah yang menyulitkan saya untuk mengetahui identitas utama manusia, nama.
Apapun itu, siapapun mereka, sepertinya kita butuh belajar dari Mbak-mbak berkacamata bundar dan berbaju hitam untuk lebih menjadi manusia, yang konon adalah makhluk sosial, dan mengurangi laku seperti mbak-mbak berkacamata putih bundar dan berbaju biru dengan celana kotak-kotak di atas bus Dali Mas yang menuju arah Surabaya sore ini.
Jika pada suatu kebetulan, dua tokoh dalam tulisan ini membaca, kepada keduanya saya ucapkan terima kasih. Satu untuk dijadikan teladan berkebaikan, satu lagi untuk dijadikan contoh agar tak dilakukan.