Di zaman ketika baca-tulis bukan lagi sebuah perkara yang penting, membaca atau menulis adalah pilihan yang ketika tak dipilihpun tak menjadi masalah.
Pertama-tama, saya setuju bahwa penulis adalah kerja keabadian, seperti kata Pram. Tulisan diinvestasikan untuk mengatasi masalah ingatan pada manusia, lebih-lebih umurnya yang tak panjang.
Sebagaimana pula pernah ditulis dalam The Story of Libraries oleh Fred Lerner, bahwa kuil berlangsung lama, sedang penjaganya tidak. Itu mengapa catatan dibuat, agar pengetahuan tidak punah bersama usia manusia.
Dan untuk itu pula saya membaca, salah satunya untuk menimba pengetahuan dari orang-orang terbaik pada masing-masing jaman. Itu apabila tulisannya menjadi layak dan penting untuk dibaca.
Di generasi Z, baca-tulis bukan lagi kemampuan yang ‘wah’ sehingga harus diagung-agungkan. Tulisan, baik berupa buku, artikel, dan lain sebagainya adalah medium untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi dari A ke B, C, D, E dan seterusnya. Dari satu ke banyak orang.
Yang menjadi esensi adalah apa yang ditulisnya. Yang menjadi penting adalah apa yang disampaikan di dalamnya sehingga menggerakkan, atau mengubah, atau membuka yang selama ini tak diketahui orang.
Yang menjadi penting adalah bagaimana cara penyampaiannya sehingga menarik orang untuk membaca.
Jika pun tidak, maka lebih baik tulisan itu berfungsi menghibur, sehingga tepat menjadi sarana rekreasi pikiran. Entah dengan jalan memainkan emosi, memicu kerja otak, atau yang lain.
Sehingga tak ada lagi, bagi saya pribadi utamanya, untuk menganggap bahwa ketika saya menulis, atau ketika saya membaca, maka saya lebih baik dari kebanyakan orang.
Di generasi ketika baca-tulis bukan lagi persoalan, kecuali generasi tua yang amat sedikit jumlahnya, maka menulis atau membaca adalah pilihan.
Tak perlu buku…story Whatsapp, cuitan twitter, caption instagram adalah bukti bahwa sebagian besar dari kita telah menulis.
Tak perlu buku…sms yang kita terima, nama bahan dalam bungkus makanan, atau bahkan daftar menu adalah tulisan yang kita baca sehari-hari. Maka itu, menulis sebuah buku adalah pilihan, begitu pun menjadi penulis.
Membaca sebuah buku saat waktu dapat digunakan untuk menonton televisi pun adalah pilihan, dan itu tak membuat kita lebih baik dari orang yang tak menulis atau tak membaca buku. Semua adalah pilihan, dan itu bergantung pula pada kebutuhan masing-masing orang.
Di jaman ketika buku bisa dicetak secara pribadi, maka setiap orang bisa menjadi penulis. Tulisan menjadi kerja untuk keabadian selama tulisan itu dibaca dari masa ke masa, atau setidaknya memiliki relevansi di kehidupan mendatang, mempengaruhi banyak orang.
Tapi ketika sebuah buku hanya numpang lewat dalam percetakan, dipajang di etalase buku, lalu satu-dua tahun kemudian dilupakan karena buku-buku baru seperti ikan di lautan yang tak terbatas jumlahnya, maka di situ eksistensi penulis A dipertanyakan.
Benarkah sebuah buku pernah terbit? Oke, jawabannya dapat kita cari pada mesin pencari google. “Oh, ternyata pernah!”
Bagaimana orang bisa tak tahu bahwa buku A pernah terbit? Karena orang-orang itu tak punya urusan dengan apa yang ditulis di dalam buku A. Barangkali, buku itu tak ada korelasinya dengan kehidupan si X, Y, , Z.
Dan untuk itu, sebagus apapun buku A, maka jika tak ditulis pun, tak apa-apa. Tak ada kegaduhan di dunia X, Y, Z. Tak mengubah kondisi sosial-politik atau ekonomi yang berimbas pada kehidupan X, Y, Z. Tak ada pengaruhnya pula bagi kerja tubuh seperti otak dan juga psikis X, Y, Z.
Saya hampir-hampir marah ketika seorang penulis mengatakan pada teman bahwa rekannya, yang menempuh pendidikan lebih tinggi, bahkan tak bisa menjadi penulis sepertinya.
Di kota dengan jumlah penerbit dan penjual buku yang mungkin lebih banyak dari rumah makan itu, katanya sambil merendahkan kota metropolitan yang dipenuhi hedonis dan pragmatis yang jauh dari idealisme dan intelektualisme, warung kopi menjadi tempat diskusi bagi para penulis yang idealis.
Saya tak menyangkal bahwa warung kopi adalah tempat diskusi yang nyaman, tapi juga tak membenarkan bahwa cafe dan restoran menjadi lebih rendah derajatnya bagi intelektualitas.
Memicingkan mata pada kapitalisme seolah baju dan sepatu yang digunakan tak diproduksi secara massal oleh pabrik adalah kenaifan yang amat lucu. Seolah-olah penulis adalah jalan memberi makan idealisme yang harus dibanggakan dan orang lain patut tahu dan memuji itu.
Tepat ketika saya mendengar sebuah cerita sampai di telinga, ingin rasanya bertanya, apakah buku yang dihasilkan si Penulis sudah sesuai kebutuhan? Atau menuruti penerbitan dengan target penjualan dan kalkulasi keuntungan…yang jika bisa besar kenapa harus dicetak sedikit?
Apakah karyanya menjadi satu dobrakan besar, setidaknya di dunia literasi yang maha agung, sehingga nama dan pikirannya akan dikenang seratus tahun kemudian?
Menulis, saya masih percaya, adalah kerja untuk keabadian. Masing-masing tulisan pun akan memiliki pembacanya sendiri. Saya pun percaya bahwa jumlah, entah itu cetakan buku atau pembaca, tak mengurangi sedikitpun esensi dari sebuah tulisan.
Dan karena ide itu telah ditulis, maka biarkan pembaca yang berbicara. Penulis harus sudah mati saat bukunya diterbitkan. Maka pujian atau makian, sepenuhnya, adalah milik pembaca. Kebesaran gagasan atau sekadar bualan dan omong kosong, biarlah pembaca yang menilai.
Di zaman ketika baca-tulis bukan lagi sebuah perkara yang penting, membaca atau menulis adalah pilihan yang ketika tak dipilihpun tak menjadi masalah.
Merendahkan pilihan, profesi, atau kehidupan lain dari yang kita miliki tak pernah membawa kita pada tempat yang lebih tinggi. Tak sesenti pun.