Pembangunan infrastruktur harus berjalan beriringan dengan pengembangan potensi dan kreativitas masyarakat (PPKM). Berikut alasannya.
PPKM, apa yang akan terlintas dalam pikiran kita jika mendengar sebutan ini? Hmm, mungkin kebanyakan dari kita akan berfikir PPKM adalah singkatan dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
Hal ini wajar saja terjadi mengingat istilah ini banyak digaungkan di berbagai media berita dan beberapa kabupaten sebagai upaya mengurangi persebaran virus Covid.
Namun pada kesempatan kali ini, Nabs. Saya akan mengajak pembaca untuk melihat PPKM dari sudut pandang yang berbeda, biar kesannya tidak hanya seputar Covid-19 saja.
Tulisan ini akan menjelaskan tentang pengembangan potensi dan kreativitas masyarakat (PPKM) dari kacamata pembangunan.
Pertama kali sebelum membahas PPKM kita harus terlebih dahulu mengetahui makna dari kata ‘pembangunan’. Selama ini pembangunan cenderung dimaknai sebagai upaya membangun infrastruktur sebuah daerah, baik dari tingkat desa, kabupaten, hingga negara.
Sebenarnya anggapan ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi pembangunan pada dasarnya memiliki arti yang sangat luas atau juga dapat dibilang masih abstrak.
Pada dasarnya pembangunan dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ke arah yang lebih baik.
Arti tersebut dirasa masih terlalu luas dan belum spesifik sehingga untuk menjadikan arti pembangunan lebih jelas dibutuhkan pengkategorian dalam bidang tertentu.
Kategorisasi yang dimaksud adalah mengelompokan pembangunan pada bidang-bidang tertentu sehingga muncul berbagai jenis pembangunan seperti pembangunan fisik, pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, pembangunan budaya, dan lain sebagainya.
Dari berbagai jenis pembangunan tersebut, tulisan ini akan fokus pada pembangunan sosial, salah satu jenis pembangunan yang secara khusus berorientasi kepada bidang sosial.
Menurut Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc., terdapat tiga aspek dalam pembangunan sosial yaitu aspek struktural, prosesual, dan kultural. Ketiga aspek ini dianggap sebagai hal yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan sosial.
Pertama, aspek struktural. Aspek ini menjelaskan bagaimana struktur sosial bekerja dalam pelaksanaan pembangunan. Secara sederhana, struktur sosial merupakan lapisan-lapisan yang membentuk pola hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat.
Hal ini membahas bagaimana caranya pemerintah dengan masyarakat saling bersinergi dalam hubungan yang lebih inklusif dalam pelaksanaan pembangunan.
Pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat yang dipimpinnya. Jangan sampai pelaksanaan pembangunan justru tidak melibatkan partisipasi masyarakat setempat dan menempatkan pemerintah menjadi aktor utama pembangunan.
Kedua, aspek prosesual. Aspek ini membahas tentang interaksi dan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan pembangunan.
Sebelum pelaksaanaan pembangunan harus ada penjelasan yang memadai dalam sebuah kesepakatan bersama, baik dari pemerintah maupun dari masayarakat.
Hal ini dianggap penting karena di dalam sebuah komunikasi yang terjadi akan diketahui tentang masalah apa yang sedang dihadapi, apa yang dibutuhkan, dan apa yang diharapkan serta bagaimana cara pelaksanaanya.
Dengan begitu ketika pada tahap pelaksanaan pembangunan nanti tujuan dari pembangunan dapat tercapai dengan optimal.
Ketiga, aspek kultural. Aspek ini berkaitan dengan bagaimana caranya pembangunan merubah budaya yang melekat di masyarakat seperti nilai, kebiasaan, atau adat istiadat ke arah yang lebih baik.
Budaya ini yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat sehingga juga berhubungan dengan kualitas diri masyarakat itu sendiri. Perlu diketahui bahwa tidak semua budaya yang ada di masyarakat mencerminkan cara hidup terbaik menuju sebuah kesejahteraan.
Oleh karena itu, pembangunan hadir untuk melakukan transformasi unsur-unsur budaya yang selama ini menjadi penghambat bagi masyarakat menuju peningkatan kualitas hidupnya.
Aspek ini digunakan untuk membebaskan masyarakat dari jeratan dari dalam diri mereka sendiri menuju penyadaran dan pemberdayaan.
Ketiga aspek tersebut pada dasarnya merupakan intisari dari pembangunan sosial yang berorientasi kepada membanguan kualitas diri masyarakat itu sendiri.
Ketiga aspek ini dapat dilaksanakan melalui program pengembangan potensi dan kreativitas masyarakat (PPKM).
Masyarakat di daerah mana saja pada intinya perlu sebuah pembangunan sosial. Mengapa demikian? karena setiap daerah pasti memiliki potensi yang dapat melahirkan kreativitas, baik potensi alam, budaya, maupun sumberdaya manusia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut masyarakat perlu disentuh dengan pelaksanaan pembangunan.
PPKM ini dapat dilakukan melalui beberapa tindakan seperti pemberdayaan, edukasi, sosialisasi, diskusi bersama dalam Forum Group Discussion (FGD) atau mencari hal-hal baru yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Program ini juga dapat melibatkan berbagai pihak, bukan hanya pemerintah dengan masyarakat saja, beberapa pihak yang dapat diajak bersinergi seperti mahasiswa, akademisi, Corporate Social Responsibilty (CSR), atau lembaga swadaya masyarakat serta peran penting media.
Melalui sinergi berbagai pihak ini maka program PPKM diharapkan dapat terlaksana secara optimal dan dapat diketahui banyak pihak.
Program PPKM pada masa pandemi seperti ini dianggap sebagai hal yang perlu dilakukan karena pandemi berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pada masa seperti saat ini masyarakat tetap diharuskan survive dengan kondisi yang ada guna mencukupi kebutuhannya.
Oleh karena itu, program ini dapat dijadikan alternatif baru dalam pelaksanaan pembangunan sosial saat ini di mana pada nantinya dapat berimbas pada bidang ekonomi masyarakat juga.
PPKM pada dasarnya dapat dilakukan di berbagai daerah dengan memanfaatkan potensi atau kearifan lokal yang ada di daerah itu sendiri, termasuk di Kabupaten Bojonegoro tercinta ini.
Sebagaimana kita tahu sebenarnya di Bojonegoro terdapat banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan guna menjadikan masyarakatnya kreatif.
Potensi ini dapat berupa potensi alam, sejarah, budaya, sumberdaya manusia hingga pekerjaan sehari-hari.
Sebagai contoh, di Desa Ngablak Kecamatan Dander yang sudah menjadi sentra jamu gendong di Kabupaten Bojonegoro dapat dikembangkan menjadi pusat wisata berbasis kesehatan.
Selain itu, potensi alam seperti di Mboti-Sekar (Mbose) Park yang masih alami dapat dikembangkan menjadi pariwisata dengan ekonomi kreatif baru dengan menambahkan inovasi baru dan unik di sana.
Potensi cagar budaya yang selama ini jarang terekspos, Bojonegoro punya situs kubur Kalang di desa Tanggir, Kecamatan Malo dan Kawengan, Kecamatan Kedewan.
Situs ini dapat dikembangkan menjadi pusat studi sejarah dan arkeologi baru di Bojonegoro layaknya museum Trinil di Ngawi dan Sangiran di Sragen. Selain itu, banyaknya pembuat ledre di Desa Kuniran, Kecamatan Purwosari dapat dikembangkan menjadi sentra dan pusat edukasi ledre di Bojonegoro. Selain potensi-potensi tersebut sebenarnya masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan di kabupaten tercinta kita ini.
Tujuan PPKM adalah membawa perubahan ke arah yang positif bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Kabupaten Bojonegoro.
Melalui sinergi berbagai macam pihak dan strategi tepat sasaran diharapkan PPKM dapat membuka peluang baru bagi masyarakat. Potensi dan kerifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah apabila dilakukan dengan pembangunan sosial yang benar maka penulis meyakini akan melahirkan kreativitas-kreativitas baru di masyarakat. Dengan begitu diharapkan masyarakat menjadi lebih berdaya melalui penciptaan lapangan pekerjaan dan ekonomi kreatif baru sehingga di masa depan Kabupaten Bojonegoro mampu menjadi kabupaten yang mandiri, produktif, energik, dan sejahtera dalam semangat pembangunan yang berkelanjutan.
Ridwan Arma S., adalah mahasiswa sosiologi UNESA dari Bojonegoro.