Penangkapan warga yang sedang melangsungkan hajatan di tengah covid 19, berikut tinjauan logika atas kebijakan tersebut.
Baru-baru ini publik Bojonegoro digemparkan dengan adanya penangkapan seorang warga yang melangsungkan hajatan di tengah pandemi Covid-19.Terdapat tiga lapis pasal yang dikenakan pihak kepolisian kepada tersangka.
Kasatreskrim Polres Bojonegoro, AKP Iwan Hari Poernomo, menjelaskan unsur pidana yang disangkakan kepada tersangka adalah pasal 160 KUHP tentang Penghasutan, pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, serta pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Dari ketiga pasal di atas, saya mencoba menggarisbawahi tentang pasal 93 UU Karantina.
UU Karantina membahas mengenai segala hal maupun prosedur yang berkaitan dengan kekarantinaan. Apa itu Karantina? Ada beberapa ayat yang menjelaskan mengenai pengertian karantina.
Pertama pengertian tentang Karantina Kesehatan, dicantumkan dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi,
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”
Selanjutnya ada definisi Karantina seperti yang termaktub dalam pasal 1 ayat (6), “Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya.”
Kemudian yang marak berlangsung akhir-akhir ini yaitu PSBB, ditulis dalam pasal 1 ayat (11),
“Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”
Dari sini terdapat tiga rumusan utama yang memiliki diferensiasi pengertian satu sama lain yaitu, Kekarantinaan Kesehatan, Karantina, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam penerapan UU Karantina sendiri, pemerintah memiliki beberapa kewajiban. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum diberlakukannya UU Karantina.
Beberapa di antaranya adalah Pasal 4 berbunyi, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.”
Dikatakan dalam pasal tersebut bahwa permintaan pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit, tentu dalam kasus ini adalah penyakit akibat sebaran Covid-19.
Coba kita telisik, Rekor kasus harian tertinggi terjadi pada Jumat (8/1/2021) dengan penambahan kasus sebanyak 10.617.
Wow, ini kalau di Instagram dengan 10.000 followers sudah bisa dibuat swipe up. Lantas disusul dalam 4 hari terakhir, selalu terjadi pemecahan rekor untuk kasus harian tertinggi. Dimulai sejak 13 Januari lalu dengan 11.278 kasus baru, lantas 14 Januari dengan 11.557 kasus, kemudian 15 Januari dengan 12.818 kasus, dan terakhir hari ini, 16 Januari, kembali memecahkan rekor dengan tambahan 14.224 kasus.
Luar biasa sekali bukan? Ini baru dari satu data tentang tambahan kasus harian belum fakta lapangan yang lain mengenai kekurangan SDM, langkanya ruangan IGD di rumah sakit, tingginya persentase positif harian, dan sederet pekerjaan rumah lainnya.
Maka saya rasa ini jauh dari kata sukses atas implementasi dari pasal 4 di atas.
Atau kita simak pasal lainnya, dalam pasal 6 berbunyi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
Sedikit data mengenai ketersediaan sumber daya per 12 Januari 2021. Dikutip dari laman tirto.id, dari 27 RS Rujukan di DI Yogyakarta 23 rumah sakit di antaranya tak bisa lagi menerima pasien baru bahkan sebagian bilang masih ada sejumlah pasien COVID-19 yang mengantre di Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena belum mendapatkan ruang perawatan.
Dua rumah sakit lain menyatakan masih menerima pasien COVID-19 tapi khusus pasien perempuan. Satu rumah sakit menyatakan masih memiliki enam ruang perawatan COVID-19 tapi khusus penderita gangguan jiwa. Sedangkan satu rumah sakit lagi tak bisa kami hubungi.
Dari dua pasal di atas saja pemerintah belum maksimal, kalau tidak boleh dikatakan gagal, dalam menerapkan UU Karantina.
Maka mari kita simak bersama-sama mengenai pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Disebutkan dalam pasal 93 bahwa,
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Denda paling banyak.”
Pasal tersebut memiliki kesinambungan dengan pasal 9 ayat (1) yang berisi, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.”
Seperti yang diatur dalam pasal 93 tadi, seseorang bisa disangkakan pasal tersebut apabila memenuhi dua kriteria.
Kriteria pertama adalah orang tersebut telah melanggar penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan kriteria kedua adalah akibat dari pelanggaran tersebut menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Pertama-tama mari kita telisik mengenai dugaan pelanggaran terhadap Kekarantinaan Kesehatan.
Sejauh pengamatan berdasarkan penjelasan beberapa pasal di atas adalah dapat diberikan sanksi apabila Kekarantinaan Kesehatan sudah diterapkan.
Tentu penerapan Kekarantinaan Kesehatan ini harus terlebih dahulu memenuhi Bab Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bila tanggung jawab ini saja belum berhasil dilakukan seutuhnya bagaimana bisa seseorang dikatakan melanggar UU tersebut.
Sama seperti misalnya, seseorang dikatakan melanggar lampu merah apabila di perempatan tersebut terdapat lampu merah. Bila di perempatan tersebut tidak terdapat lampu merah maka apanya yang dilanggar? Kan demikian toh logika sederhananya.
Itu kriteria pertama, kemudian ada kriteria yang kedua terkait pelanggaran pasal 93. Yaitu akibat dari pelanggaran Kekarantinaan Kesehatan menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dijelaskan pengertiannya dalam pasal 1 ayat (2), yang berbunyi,
“Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.”
Terkait penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sendiri diatur dalam pasal diterangkan dalam pasal 10 ayat (1) yang berbunyi,
“Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.”
Penetapan terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat menjadi penting untuk dijawab agar pasal tersebut tidak melanggar prinsip lex certa (kepastian hukum) dan ketegasan dalam penerapan sanksinya (lex stricta).
Hal ini demi menghindari klaim juga supaya tidak ada lagi pasal-pasal karet yang akan datang.
Kerancuan penerapan UU Karantina menjadi lebih parah lagi mengingat di wilayah Bojonegoro sendiri tidak diterapkan adanya PSBB. Melainkan hanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Maka saya rasa menakar dari logika hukum atas penerapan UU Karantina ini mengisyaratkan seakan-akan pemerintah hanya menjalankan sanksi kepada masyarakat tapi abai terhadap pemenuhan tanggung jawab.
Tentu sebagai bangsa yang berasaskan Pancasila dengan sila kedua berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal ini hanya akan menjadi kontraproduktif.