Hingga tahun 1906, sudah banyak sekolah yang ada di Bojonegoro. Sialnya, sekolah-sekolah itu dikonsep Belanda dengan sistem dualistik.
Pendidikan merupakan sarana utama pembentukan pola pikir dalam peningkatan peradaban dan elevasi manusia. Pendidikan juga dapat dipahami sebagai proses edukatif yang dilakukan secara terus menerus sejak kelahiran hingga kematian.
Pendidikan di Nusantara memulai tahapan baru yang lebih progresif ketika memasuki awal abad ke-20, yakni dengan dimulainya zaman Etis dengan semboyannya adalah kemajuan.
Meski pendidikan ini hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi di sisi lain pendidikan ini penting untuk mengangkat derajat masyarakat pribumi.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dari kebijakan Politik Etis yang digagas pemerintah kolonial Belanda. Opini mayoritas kalangan pembuat kebijaksanaan menyatakan bagaimanapun pada lapisan atas masyarakat yang memerlukan standar pendidikan yang ekuivalen dengan Sekolah Belanda.
Pendidikan yang tampak merupakan sebagian dari pendidikan dengan sistem pendidikan berbahasa Belanda, kemudian yang lain merupakan sistem sekolah Vernakuler (berunsurkan bahasa daerah).
Perhatian utama pemerintah kolonial Belanda adalah untuk menggalakkan masuknya anak-anak golongan atas Indonesia ke sekolah yang berbahasa Belanda. Namun ternyata dijumpai juga banyak anak dari golongan menengah dan bahkan kelas bawah yang berhasrat masuk ke sekolah tersebut.
Sistem Pendidikan di Bojonegoro
Sistem pendidikan di Bojonegoro bersifat dualistik, artinya ada pembedaan dua sistem persekolahan, di satu pihak terdapat Sekolahan dengan Pengantar bahasa Belanda, dan di pihak lain ada pendidikan yang vernakuler atau pendidikan dengan unsur bahasa daerah.
Tujuan utama kaum muda pribumi masuk ke sekolah Belanda adalah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pejabat sipil kolonial yang memiliki prestise.
Di tingkat Kabupaten, kebutuhan tenaga yang berpendidikan terdapat untuk menempati jabatan sebagai kliwon, menteri, dan juru tulis, sedangkan di tingkat distrik tenaga terdidik ditempatkan sebagai Jogorekso (pesuruh), Menteri Sambong (pengairan Mantri polisi serta pembantu-pembantu nya).
Di Bojonegoro juga terdapat Landbouw Consulent yang juga memerlukan tenaga terdidik. Selain itu di Bojonegoro juga terdapat Dinas Kehutanan, Kesehatan, Pertanian, dan Dinas Pekerjaan Umum.
Di dalam lembaga tersebut Pemerintah menempatkan tenaga-tenaga yang berijazah di bidang teknik dan keahlian. Apabila mereka gagal maka profesi alternatif yang ditempuh menjadi mandor (pemimpin proyek), dan atau sekretaris desa.
Fenomena tuntutan belajar dan pengetahuan bahasa Belanda modern yang amat kuat mendorong berdirinya ELS (Eruropeese Logere School) dan HIS (Holands Inlandsche School).
Adapun siswa yang bisa memasuki sekolah HIS dan ELS adalah anak-anak orang Belanda, Eurasians, dan anak-anak pribumi dari kelas atas.
Di Bojonegoro hingga tahun 1906 terdapat sekolahan Vernakuler, yakni Eerste klasse School dengan masa belajar selama 5 tahun.
Selain itu terdapat pula sekolah Tweede Klasse School dan sekolah swasta non subsidi khusus untuk golongan atas yang mengajarkan Geografi, Sejarah, dan ilmu alam, menggambar dan meneliti.
Pada umumnya pelajar berasal dari keturunan golongan Priyayi, Kepala Desa, Pedagang, dan dari lingkungan keluarga yang memiliki kedudukan sosial tinggi di kampung.
Sampai pada tahun 1920-an, kaum terpelajar yang berbekal pendidikan Belanda saat itu telah melebihi target yang ditentukan pemerintah kolonial. Hal ini mendesak Komisi Khusus untuk membatasi anak-anak yang memasuki sekolah berbahasa Belanda, adapun yang diperbolehkan memasuki sekolah berbahasa Belanda adalah hanya dari kalangan atas.
Lalu, sebagian yang telah terlanjur diterima dialihkan ke sekolah Vernakuler dan berbagai sekolah teknik yang lain. Meskipun Sekolah Vernakuler mendapat kritik karena sistem sekolah itu gagal untuk memberikan berbagai ajaran yang luas sebagai objek mayor.
Maka untuk mengatasi problematika tersebut para pejabat pemerintah sering menggunakan paksaan, “perintah halus” agar penduduk Desa bersedia mendirikan sekolahan untuk komunitasnya.
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya.
REFERENSI
Baudet& Brugmans,I.J. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan Obor, 1987.
Buchori, Mochtar. 2007. Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool
Sampai ke IKIP (1852-1998). Yogyakarta: INSISTPress.
Hatta. Kumpulan Karangan. Djakarta:Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1954.
Linblad, J.Thomas. ( ed ). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Terjemahan M.Arief dan Bambang Purwanto, Jakarta: LP3ES, 1998
Leirissa, R.Z. (1985) Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950: Terwujudnya
Suatu gagasan, Jakarta:PB. PGRI.
Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Penders, C.L.M. Bojonegoro 1900-1942. A.Story of Endemic Poverty in . North East Java Indonesia. Singapura : Gunung Agung, 1984.
Supardan, Dadang. (2008). “Menyingkap Perkembangan Pendidikan Sejak Masa Kolonial Hingga Sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis”. Generasi Kampus, 1(2): 96-106.