Serupa cinta pada kekasih, mencintai hidup dan kehidupan juga tak memerlukan syarat. Termasuk pada hal-hal yang membuatnya terlihat tak sempurna.
Ketika masih bekerja sebagai tukang foto kopi di belakang kampus, saya pernah bertanya pada kawan yang juga sesama pekerja. Ia adalah teman yang baik, asal Jombang, suka makan sambal dengan kecap, juga seorang lulusan SMA.
“Mengapa kau tidak sekalian kuliah saja?,” tanya saya dengan sikap tanpa dosa, “Gampang kok, kan bisa sembari kerja”.
Pertanyaan bodoh itu terlontar ketika saya baru bekerja dan berkenalan dengannya dalam waktu singkat. Dia lalu membalas pertanyaan itu dengan senyum kikuk, sikap diri yang tak wajar, dan rasa kesal yang terbalut perasaan sungkan.
“Hehe, enggak”, katanya dengan bola mata yang seperti menerkam saya, yang lalu sekian detik kemudian ia buru-buru menenggak es teh yang dipesan dari warung sebelah.
Sering saya berpikir jika ukuran sukses seseorang adalah kuliah. Paling tidak, dalam benak saya waktu itu, kuliah bisa menjadikan seseorang dapat memperoleh pekerjaan layak. Atau minimal bisa menaikkan kelas sosial di masyarakat.
Pemberian standar yang bermasalah itu sayangnya juga menjalar ke lini kehidupan yang lain. Saya secara serampangan menganggap bahwa peluang sukses bagi para buruh kasar, petani, atau pedagang kaki lima terlalu kecil.
Hanya karena ia tak memenuhi standar seperti yang saya bayangkan. Hingga, solusinya selalu berdasar pada imajinasi umum: ayo kuliah tinggi-tinggi nanti bisa sukses dan bekerja di gedung besar.
Kehidupan agaknya tergambar begitu ideal: semua orang bisa sekolah asal ia mau, bisa makan enak asal berusaha, dan selalu mengidamkan bentuk sukses berbalut pekerja kantoran dengan jas dan dasi yang keren asal kuliah.
Saya tak siap kecewa, ketika belakangan menyadari bahwa segalanya tak melulu seperti itu. Bahwa hidup memang brengsek, tak adil, bisa gagal, tak sempurna, dan karena itu kita perlu menjalaninya dengan kepala tegak.
Dea Anugrah, esais yang bermukim di Jakarta berkata, sikap optimistis lahir dari keputusasaan. Katanya, kaum optimis memandang dunia begitu ideal, adil, dan tanpa celah, sebab mereka tak mampu siap pada mala.
“Hingga pada akhirnya,” kata Dea dalam esainya berjudul Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, “angan-angan yang sia-sia itu mencekik mereka”.
Pada istilah yang sama, Wahyu Rizkiawan, penulis yang saban waktu tak pernah bosan mengajari saya menulis, mengungkapkan alasannya mencetuskan Jurnaba. Menurutnya, itu sebagai bentuk menyikapi hidup secara optimisme pesimistis dan pesimisme optimistik.
Mengabarkan Degup Kebahagiaan, demikian tagline yang tertera di Jurnaba, sebagai cara pandang optimistis dan pesimistis secara bersamaan.
** **
Teman saya itu saat ini barangkali telah lupa dengan apa yang saya tanyakan beberapa tahun silam. Ia mungkin terlampau sibuk bersenang-senang dengan mesin fotokopi, menikmati es teh jumbo, atau tengah mempersiapkan kecap sebagai kudapan makan nanti malam.
Ia rasanya tak khawatir dengan dunia kampus. Toh, kebahagiaan semestinya adalah hal sederhana dan tak bersyarat, bukan?
Sisi kehidupan mengajari kebijaksanaan yang penting. Ia menjadi medium saya dalam menghadapi apa saja, termasuk gembira, sedih, putus asa, atau suka hati.
Orang-orang terdahulu yang saya kenal, kerap mengajari saya untuk berpikir bahwa semuanya baik-baik saja, akan menjadi beres, dan akan menjadi sempurna. Mereka tak memberi peluang saya untuk merasa takut, gelisah, dan sadar betul bahwa kehidupan tak semulus itu.
Namun, bagian lain dari hidup saya saat ini, sering mengilhami saya untuk bersedia menerima apa yang terjadi. Itu berupa gagal, sedih, dan rapuh. Kita tak sepenuhnya perlu baik-baik saja bukan?
Hidup, saya kira adalah anugrah penting yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kita tak pernah tahu mengapa kita yang dipilih untuk lahir dan menjalani hidup sebagai manusia, bukannya kucing, kepiting, atau rumput laut.
Marsha Timothy dalam sebuah film berjudul Toko Barang Mantan mengungkapkan kalimat menarik pada Reza Rahardian, lawan mainnya. “Semestinya, mencintai itu tanpa syarat. Cinta ya cinta,” katanya.
Jika boleh menerapkannya pada kehidupan, saya juga ingin mengungkapkan hal yang sama pada dunia: “Semestinya mencintai hidup juga tak memerlukan syarat. Termasuk pada hal yang membuatnya terlihat tak sempurna.”