Manchester United dan Liverpool memang rival abadi. Tapi, keduanya pernah jadi kawan baik. Bahkan dalam hal pengaturan skor. Jadi, buat kamu yang fanatik, biasa-biasa saja.
“Some people believe football is a matter of life and death, i am very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that ,” Ungkapan populer Bill Shankly di atas, tampak hiperbolis dan mengada-ada: sepakbola lebih penting dari perkara hidup dan mati?
Saat jeda kompetisi seperti saat ini, ada sesuatu yang hilang bagi penggila bola. Biasanya setiap tengah dan akhir pekan, saat ada jadwal pertandingan sepakbola, dahaga hilang dan kebahagiaan terpancar. Apalagi jika tim kesayangan meraih kemenangan.
Di tengah dan awal pekan, akan selalu ada dua wajah yang saling berkebalikan bagi penggila bola. Satu wajah tampak bersemangat, sebagian lagi tampak tidak bergairah.
Dua wajah yang menjadi manifestasi dari hasil yang dipetik oleh tim sepakbola yang didukungnya. Saat tim favorit menang, muncul di media sosial dengan semangat. Saat tim favorit kalah, menghilang dan sembunyi di gua.
Sepakbola dan juga pertandingan sepakbola saat ini, telah menjadi hal penting bagi sebagian (besar?) manusia. Sepakbola tidak lagi hanya sebatas pertandingan dan kompetisi, tapi juga bisnis dan industri perputaran uang yang teramat gila.
Sepakbola bukan semata suguhan selama 90 menit di lapangan, melainkan juga keriuhan di luar lapangan yang tidak berbatas waktu. Sepakbola menyajikan adu strategi dan taktik di lapangan, juga menampilkan rivalitas dan militansi antarsuporter fanatik.
Ibarat sayur tanpa garam, sepakbola tanpa rivalitas akan hampa dan tidak menyuguhkan keseruan, sekaligus tidka begitu emosional. Sepakbola tanpa rivalitas hanyalah hasil di papan skor saat peluit panjang ditiup wasit. Sepakbola dengan rivalitas di dalamnya adalah pertandingan, sekaligus drama, tragedi, dan kisah epik.
Salah satu rivalitas abadi dalam dunia sepakbola adalah antara Manchester United dan Liverpool. Pasang surut dan pergiliran prestasi kedua klub menjadi bumbu yang menyedapkan rivalitas tersebut.
Liverpool adalah daerah pelabuhan, sementara Manchester adalah kota industri. Keduanya lahir dari kultur kelas pekerja dengan segala kekhasannya. Rivalitas kedua klub ini jaminan mutu yang menyedot atensi khalayak.
Namun, sejarah kedua klub tidak hanya bicara rivalitas. Kedua klub pernah terlibat kasus pengaturan skor yang berkaitan dengan judi bola. Kedua klub pernah bermain mata di atas lapangan. Peristiwa itu terjadi pada 2 April 1915.
Kala itu, satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan Manchester United dari turun kasta atau degradasi adalah kemenangan. Tidak ada syarat lain. Nahasnya, lawan yang harus dihadapi adalah Liverpool. Liverpool berada di posisi aman dari degradasi, meski bukan posisi penantang juara.
Pertandingan kedua tim itu berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk MU. Namun kemenangan yang janggal itu memantik perhatian publik. Selama pertandingan pemain Liverpool tampak ogah-ogahan ditambah tendangan penalti yang melenceng jauh. Pemain MU bermain santai, sementara pemain Liverpool tidak bernafsu mengejar defisit gol.
Hasil investigasi federasi dan jurnalis menyatakan adanya pengaturan skor dalam pertandingan tersebut. Tujuh pemain ditetapkan sebagai aktor yang terlibat dalam pengaturan skor itu, masing-masing empat pemain Liverpool dan tiga pemain MU.
Hingga larangan bermain sepakbola diberikan kepada tujuh pemain ini. Meski sebagian mendapat pengampunan.
Ada fakta menarik lain seputar rivalitas kedua klub ini. Baik Manchester United maupun Liverpool memiliki pelatih legendaris dengan segudang prestasi berasal dari negara yang sama: Skotlandia.
Matt Busby dan Alex Ferguson yang membawa pundi-pundi juara bagi MU; Bill Shankly dan Kenny Dalglish legenda yang diagungkan di Liverpool adalah pria Skotlandia yang berlatar belakang pekerja yang keras dan ulet.
Sayangnya, Scotland connection, yang dicoba di MU sepeninggal Alex Ferguson dengan mengangkat David Moyes sebagai pelatih MU tidak berjalan sesuai harapan. Semusim belum berakhir, David Moyes dipaksa meninggalkan MU.
Sebelum David Moyes ditunjuk menggantikan Alex Ferguson, nama-nama seperti Pep Guardiola dan Jurgen Klopp, yang kala itu menampilkan sepakbola atraktif sempat muncul menjadi kandidat pelatih MU.
Sejarah kemudian mencatat, kedua nama itu menolak melatih MU dan meraih prestasi di dua klub rival sengit MU. Tragis. Guardiola membawa piala demi piala bagi ‘tetangga berisik’, dan Klopp membawa Liverpool buka puasa juara EPL.
Aku mungkin anomali. Sejak masih melatih Barcelona aku tidak pernah menyukai gaya sepakbola yang ditampilkan Guardiola. Sebaliknya, aku amat kagum dengan Jurgen Klopp dan ‘sepakbola metal’ khasnya.
Maka, sebagai fans MU, satu-satunya sosok yang berada di Liverpool dan kukagumi adalah Klopp. Tentu pernah kecewa karena Klopp memilih Liverpool dibandingkan MU. Namun alasan penolakan Klopp benar: manajemen MU lebih sibuk mengurusi aspek komersial klub dibanding prestasi di lapangan. Rahasia publik yang diketahui banyak orang.
Demikian, rivalitas yang dikelola dengan baik, adalah sajian menarik dalam sepakbola. “Apa yang akan aku lakukan jika tak ada Alex Ferguson?,” ujar Arsene Wenger, “aku akan kehilangan seseorang yang menjadi lawan dan mengawasiku.”
Tafsir rivalitas Arsene Wenger dengan Alex Ferguson, dua manajer terlama menangani tim di Liga Inggris, penting dipegang. Rivalitas adalah bahan bakar bagi prestasi.