Kontraksi stimulus dan respon keliterasian antar penggiat benar-benar bergemeretak saat atmosfer hermeneutika memicu proses penerjemahan karya: ilustrator menerjemahkan buku, dan penulis menerjemahkan sebuah ilustrasi.
Dekorasi berlatar gelap dengan instalasi buku di atas timbangan itu, menjadi sebuah latar giat bedah buku yang tidak biasa. Sebab dibedah oleh tiga Ilustrator muda progresif asal Tasikmalaya.
“Buku di atas timbangan itu, berarti ilmu yang berbobot,” ucap Cesar Akbar.
Cesar mengucap kalimat itu pada Sandy Purnama, saat menata instalasi guna persiapan bedah buku kumpulan cerita pendek cerpenis masa depan Tasikmalaya, Mufidz Atthoriq, beberapa saat sebelumnya.
Cesar dan Sandy adalah dua sosok aktivis progresif Tasikmalaya di bidang industri kreatif. Malam itu, mereka berdua jadi panitia acara bedah buku yang dibedah secara tidak biasa. Yakni, dibedah menggunakan ilustrasi.
Adalah Anggil Sukma, Rizki Koko, dan Gaby Bagaskara, tiga orang ilustrator progresif yang bertugas membedah buku dengan kapasitas mereka sebagai ilustrator. Mereka menyelesaikan ilustrasi hasil pembedahan, masing-masing dalam sepekan.
Ya, Tasikmalaya memang sedang gencar menggiat kolaborasi antar penggiat kreatif. Istilahnya, mereka saling menerjemahkan karya. Misal, seorang ilustrator membedah sebuah buku antologi cerpen untuk dipamerkan dalam acara Jamah Karya.
Begitupun sebaliknya. Seorang penulis menerjemahkan ilustrasi untuk dibahas dalam acara Mata Rasa. Ada juga para musisi yang membuat irama dari lirik sebuah prosa yang terkompilasi dalam album berjudul Satu Frekuensi. Selain itu, ada juga yang menerjemah prolog dalam bentuk audiovisual Sampurasun.
Begitulah, kira-kira atmosfer hermeneutika yang terjadi di antara komunitas yang digagas anak-anak muda progresif Tasikmalaya.
Pada acara bedah buku karya Mufidz Atthoriq, para ilustrator muda Kota Mutiara itu menunjukkan hasil eksperimentalnya. Tentu saja, kontraksi stimulus dan respon keliterasian antar penggiat benar-benar bergemeretak.
Mereka secara sadar membangun keliterasian diri dan komunitas demi membangun atmosfer lebih baik dalam berkarya.
Meminjam paragraf tentang hermeneutika dari Ahmala, yakni sebuah teori yang berarti menafsirkan makna. Hermeneuien merupakan sebuah kata kerja yang berasal dari Yunani, berarti menafsirkan, menerjemahkan, dan mengartikan.
Dalam mitologi Yunani, Hermes bertugas sebagai utusan para Dewa untuk menyampaikan pesan kepada manusia. Penjelmaan dari Hermes, yakni seorang pemilik kaki bersayap yang lebih dikenal sebagai Mercurius.
Sedang di kalangan Islam, menurut hipotesis Sayyed Hossein Nashr, dikatakan bahwa Hermes dalam kajian teologi ialah Nabi Idris a.s yang memiliki keterampilan dalam penulisan, teknologi tenun, kedokteran (kalangan pesantren).
Sementara menurut pendapat lain, terutama dari penganut Yahudi, dikenal sosok bernama Toth, dalam mitologi Mesir, yakni Nabi Musa a.s dalam Nashr (2013, hlm. 16).
Ketiga ilustrator mengejawantahkan cerita dalam bentuk lekuk garis sebagai respon dalam bahasa visual. Mereka memiliki dasar masing-masing dalam membentuk visual dari buku antologi cerpen Mufidz Atthoriq.
Anggil, Koko, dan Gebby, menerjemah cerita yang telah dibagi ke dalam bentuk gambar, bukan pertama kali. Sebelumnya, mereka pernah mengilustrasikan 7 lirik “Satu Frekuensi” — mengalihwahanakan prolog Mata Rasa karya Inggri Dwi Rahesi, serta beberapa aktivitas lain yang serupa.
“Membahasakan tulisan menjadi karya ilustrasi atau visual,” Anggil membuka pengantar ilustrasinya. Menurut lelaki yang kerap menggunakan kupluk dan kaca mata itu, pada bagian Satire dalam buku antologi cerpen “Gelanggang Kuda”, alurnya tidak terduga. Sedang judul Ritual Kota Tetangga, mengingatkannya pada banyak film.
Sedang menurut Koko, “ ini pertama kali membuka cerpen Mufidz yang meskipun telah kenal sejak lama, baru pertama membaca karyanya. Pada bagian Memoriam yang berjudul ‘Lukisan Lusni’, akhir cerita selalu tragis,” katanya.
Bagi Koko, perlu membaca buku berulangkali untuk membandingkan gaya cerita, setelah membaca endorsement Yana P. Atmawiharja, sang moderator. Koko kerap membaca alur dan konflik untuk kemudian menuangkannya dalam bentuk ilustrasi.
Serupa kata Heideger, ketika entitas-entitas dalam dunia ditemukan sepanjang ‘Keberadaan Dasein, –yaitu ketika mereka telah dipahami—kita mengatakan bahwa mereka memiliki makna (dalam Sandra B.Rosenthal, dkk, 1983, hlm. 294, dan Edi Mulyono, dkk, 2013, hlm. 91).
Proses appropriasi muncul ketika teks telah tercerabut dari konteksnya. Dengan demikian, melakukan appropriasi berarti menjadikan apa yang asing sebagai ‘aku’ penafsir, milik sendiri, melalui pembacaan kembali teks yang akhirnya membuka cakrawala baru (dalam Edi Mulyono, dkk, 2013, hlm. 33).
Secara semiotika, ilustrator dapat membaca tanda-tanda yang dituangkan penulis ke dalam teks-teks. Kedalaman manusia dalam membaca tanda, juga dijelaskan Ernst Cassirer yang mengembangkan filosofi kultur sebagai teori simbol-simbol yang ditemukan dalam fenomenologi pengetahuan.
Menurut Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, atau binatang yang menghidupi dan dihidupi simbol. Dunia manusia adalah dunia yang diciptakan melalui bentuk-bentuk simbolik dari pemikiran manusia, yang bisa kita temukan pada linguistik, pendidikan, sains, dan seni. Semuanya dibagi dan dikembangkan lebih jauh melalui komunikasi, pemahaman individual, pencarian, dan ekspresi (dalam Yasraf Amir Piliang dan Audipax, 2017, hlm. 139).
In you, there’s more than you. –Jacques Lacan.
Yasraf Amir Piliang dan Audipax menegaskan bahwa pembacaan atas diri kita, baik dilakukan orang lain atau diri kita sendiri, tak pernah merupakan pembacaan atas diri yang tunggal.
Manusia adalah makhluk yang termultiplikasi dalam tanda, teralienasi dari kerinduan aslinya, tapi justru di situlah kemenjadiannya yang menjadi mungkin memiliki kedalaman makna (2017, hlm. 137).
Ketika sebuah teks atau prosa disuguhkan seorang penulis kepada publik, kedirian ‘karya’ telah lepas. Ia [karya] semacam belajar berdiri, berjalan, lalu bertualang untuk dihantam apa saja sehingga teruji matang.
Hak pembaca (ilustrator) menerjemahkan secara bebas sebuah karya sesuai sudut pandangnya, tidak dapat diintervensi si penulis begitu saja. Kesengajaan atau ketidaksengajaan penerjemahan ilustrator terhadap prosa, sah-sah saja.
Ia keluar atau mempertahankan tafsir sesuai teks, merupakan kehendaknya untuk mengkreasikannya dalam bahasa garis dan bentuk-bentuk visual.
Fase ketiga ilustrator dalam ‘mengalihwahanakan’ istilah Sapardi Djoko Damono, yang diungkapkan Rizki Koko, merupakan abstraksi. Dalam jenis seni rupa, abstraksionisme menjadi ringkasan dari sebuah tema, dalam konteks cerpen Mufidz, mereka tengah mereduksi kumpulan cerita pendek: dari teks menjadi bahasa visual.