Kritis tak harus bar-bar. Kritis harus cerdas. Kritis yang tak menyakiti diri sendiri dan tak menyakiti orang yang kita cintai.
Menjadi mahasiswa yang tak terlalu pintar dan tak terlalu rajin seperti saya ini, satu-satunya aset berharga yang harus dipertahankan hanyalah sikap kritis. Ini penting agar tak kehilangan pesona tetap ilmiah.
Di dunia ini, semua memang harus dikritisi. Sebab kalau tidak, banyak rantai konglomerasi kapitalistik yang berbuat seenaknya sendiri. Sebagai anak pertiwi yang lahir di tanah tumpah darah, masak kita rela melihat daerah kita dijajah kompeni?
Itu alasan kita harus kritis. Mahasiswa harus kritis. Apalagi mahasiswa semester satu sampai lima, sikap kritis itu rasanya agak-agak wajib. Terutama kritis terhadap kebijakan publik. Selama masih publik, bisa dikritik.
Asal jangan mengkritik perkara privasi. Ingat. Boleh kritis tapi tetap punya kode etis. Ini penting agar kita tidak menjadi bar-bar. Kalau bar-bar, apa bedanya kita sama pejabat. Makanya harus beda. Harus punya kode etik.
Teman-teman saya, mayoritas juga mahasiswa kritis-kritis. Tengok saja Widodo Rama, Coplo Hikam, atau Fajar Witjack. Semuanya mahasiswa-mahasiswa yang memiliki sikap dan karakter Tan Malaka.
Bersama mereka, saya sering berdiskusi sampai larut pagi. Ya, bukan larut malam tapi pagi. Diskusi sampai larut malam itu levelnya anak SMA. Kalau mahasiswa harus sampai larut pagi. Biar apa? Ya nggak biar apa-apa.
Tapi sialnya, akhir-akhir ini, tiga teman saya itu kurang maksimal saat berdiskusi. Widodo suka mendadak tidur, Coplo suka mendadak ke toilet, Fajar suka mendadak hilang ingatan. Ah! Bagaimana negara bisa makmur kalau begini terus?
Saya akui, teman-teman saya ini hobinya membaca buku. Mereka seorang reader. Bahkan, saya kalah jauh kalau dibanding mereka. Mereka bacaannya buku-buku babon. Tapi, waktunya “meledak” malah “kempes” di tengah jalan.
Diam-diam, saya sering marah pada diri sendiri. Entah karena saya terlalu perfeksionis atau karena kurang koordinasi. Diam-diam, semua hal terasa salah di mata saya. Dan diam-diam, hati saya semakin mengeras.
Saya merasa banyak hal di dunia ini yang tak sesuai dengan keinginan saya. Semua harus dikritisi. Konglomerasi dan borjuasi harus diganggu. Harus digoyah. Biar mereka tak seenak udelnya terus-terusan menjajah.
Kita harus jadi nyamuck nackal yang membuat telinga para Borjuis berdenging. Sesekali menggigit biar mereka kegatalan. Kita harus bersatu. Kita harus melawan. kita harus..
“Mas Bai harus jaga kesehatan ya.”
Tiba-tiba pesan WA dari dia membuat hati saya melunack seperti adonan donat. Saking lunaknya, untuk membalas “iya, Deq” saja saya harus baca wirid berkali-kali.
Aduh. Oh Tuhan. Hidup terasa sangat damai. Tuhan maha baik. Menciptakan bermacam manusia dengan segala peran uniknya di muka bumi. Ada yang seperti Widodo, ada yang seperti Coplo, ada yang seperti Fajar. Semuanya baik dan saling melengkapi.
Memang, hati saya kini agak lunak. Dan bijaksana. Saya lebih tenang dalam memandang apa saja. Saya lebih santai ketika berhadapan dengan Widodo, dengan Coplo, atau dengan Fajar.
Iya. Semua berubah ketika saya mengenal cinta.
Dulu saya over kritis dan suka usil karena hati saya sedang kosong tanpa isi. Bukankah hati mirip perut, yang saat kosong bawaannya pengen berteriack terus. Tapi begitu hati saya ada yang mendiami, saya jadi bijaksana.
Memang, tidak jomblo itu penting. Agar saat waktunya makan ada yang ngingetin. Agar waktunya tidur ada yang ngingetin. Agar ada yang ngingetin untuk jaga kesehatan. Mereka yang kritis-kritis itu, bisa jadi, hatinya kosong.
Kritis itu penting. Tapi kritis yang cerdas. Kritis yang tak bodoh. Jangan sampai bersikap kritis tapi malah menyusahkan orang-orang tercinta. Sebab, hurting you self mean hurting someone who loves you. Menyakiti dirimu sendiri sama halnya menyakiti orang yang mencintaimu.
Ya, saya akan tetap kritis. Tapi saya tak akan menyakiti diri sendiri. Bukan karena saya takut sakyt. Tapi karena saya tak ingin menyakity orang yang mencintai saya!!