Serajin apapun kamu berorganisasi dan ikut diskusi sana-sini; di hadapan kenyataan, kamu hanya bocah kecil yang masih ingusan.
Hampir sebagian waktu saya habiskan untuk nongkrong bersama teman teman, membahas ini dan itu yang tidak jelas arahnya, bahkan semalam saya menghabiskan waktu hingga hampir pagi untuk nongkrong dengan teman baik saya.
Padahal paginya saya punya niat untuk segera mengurus KTP saya yang hilang. Beberapa waktu saya kebingungan, dan sudah mencari hampir satu bulan kartu bukti kelegalan saya sebagai warga negara, karena saya rasa tidak hilang, tapi klebet karena banyaknya tumpukan buku dan kertas kertas dikamar, yang mungkin saja ikut tertumpuk di dalamnya.
Saya merasa bosan mencarinya, akhirnya saya memilih untuk membuat ulang dengan meminta surat kehilangan di Polsek, saya pun bertemu dengan perangkat-perangkat desa, kecamatan, bahkan pak polisi yang nampak garang itu, masalah surat surat sudah kelar, hanya menunggu 4 hari dan KTP baru saya akan jadi.
Beberapa waktu lalu, saya kembali asyik untuk membahas sejarah, saya kembali kuatkan keinginan saya untuk menulis hal-hal yang menarik untuk saya tulis, bahkan saya kembali ingin tahu lebih lagi dengan kisah kisah Ulama dan tokoh bangsa ini.
Saya pun berbelok pada sebuah warung, tempat nongkrong anak anak muda di kawasan Kota. Terpampang sebuah pemandangan yang bersinggungan, walaupun ketersinggungan atas dua hal yang berbeda adalah suatu yang wajar, tapi kepercayaan harus kita tanamkan.
Saya melihat Pak Tua yang sedang sibuk. Pak tua itu membawa arit dan karung untuk mencari pakan hewan ternaknya, kebetulan saja saya melihat arit saat sedang membahas sejarah Partai Aidit.
Tatapan itu membuat saya seolah merasa iba, untuk meminum minuman pesanan saya. Sempat untuk berfikir begitu jauh, mungkin umur orang itu 60an tahun, generasi peralihan orde baru ke orde lama.
Sedangkan saya adalah generasi pasca Dilan, yang menghadapi pesatnya perkembangan budaya barat, teknologi dan segala hiruk pikuk dinamika kontaminasinya. Ibu percaya bahwa aku harus menjadi orang terpelajar, ibu ingin aku berpendidikan, tidak seperti masa kecilnya yang kesulitan.
Soekarno pernah berjumpa petani tua yang sedang mencari rumput. Lalu lahirlah konsep Marhaenisme. Saya juga berjumpa petani tua yang sedang mencari rumput, tapi malah ingat si dia tugas kuliah.
Mungkin saya adalah satu dari sekian generasi muda yang diharapkan untuk mampu menghadapi tantangan zaman. Padahal banyak waktu yang saya habiskan untuk kesana kemari, di warung kopi. Membahas A dan B sampai Z yang belum tentu arahnya.
Sedangkan pak tua itu, dia terlihat sudah sakit sakitan, sempat ia menyapa dan sedikit berkeluh, jika ia telah suntik di kakinya karena sakitnya, dan terasa lebih baik dan dia gunakan untuk mencari pakan hewan ternak lagi.
Saya rasa apa yang saya lakukan dan Pak Tua itu lakukan begitu bersinggungan, atau memang saya belum tau titik temunya, entahlah. Memang, di hadapan kenyataan, kita hanyalah anak kecil yang baru belajar membaca alif ba ta tsa.