“Jangan nakal-nakal kamu ya, kalau nakal ayah pondokkan nanti kamu.”
Pasti banyak di sekitar kita para orang tua yang memiliki pemikiran demikian.
Baik hal tersebut dilakukan dengan maksud menakut-nakuti sang buah hati agar lebih mudah untuk dinasihati sebagaimana ujaran kuno, “Jangan keluar malam-malam nanti digondol wewe gombel!”.
Atau memang terbesit niatan hati bila anaknya nakal atau susah untuk diatur maka jalan pintas paling mudah bagi para orang tua adalah mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemikiran bahwa pesantren akan mampu mengubah anak nakal menjadi anak yang berbudi tinggi.
Namun nahasnya ribuan bahkan jutaan orang tua di luaran sana memiliki pemikiran yang demikian untuk menitipkan putra-putrinya yang dirasa nakal ke lingkungan pondok pesantren.
Maka pondok pesantren tak ubahnya menjadi semacam tempat daur ulang, jika tak boleh dibilang tempat pembuangan, untuk anak-anak yang dianggap nakal dan bandel oleh orang tuanya sendiri.
Saya pribadi memiliki pengalaman unik dan menarik mengenai kondisi pesantren sebagai sebuah tempat penampungan untuk anak-anak yang termarjinalkan.
Suatu ketika saya dan teman-teman pesantren saya tengah bercakap-cakap mengenai berapa besaran nilai ujian akhir nasional.
Dengan ringan saya menyebutkan bahwa rata-rata nilai ujian akhir nasional saya berada di kisaran angka delapan.
Hal ini mendapatkan respon yang cukup mengejutkan dari teman-teman saya yang mayoritas memiliki nilai rata-rata ujian akhir nasional enam ke bawah.
Bahkan salah seorang teman saya mengeluarkan celetukan,
“La we pinter ngono mek opo mondok?”
(Kamu pintar begitu ngapain mondok?)
Tentu saya tak kalah terkejutnya dengan pertanyaan spontan dari teman saya tersebut.
Pikiran masa kecil saya lantas menyimpulkan bahwa kebanyakan teman-teman menjadikan pesantren sebagai opsi terakhir atas pilihan alternatif pendidikan yang tersedia.
Maksudnya adalah daripada repot-repot mendaftar di sekolah negeri atau sekolah ternama dan tidak diterima lebih baik masuk saja ke pondok pesantren yang tak mungkin menolak siswa.
Fenomena inilah yang belakangan marak terjadi di banyak lingkungan pondok pesantren. Tajuk besar pesantren sebagai bengkel akhlak dijadikan sebagai pelarian bagi beberapa orang tua yang telah gagap dan gagal untuk merawat buah hatinya sendiri.
Bila kita meminjam istilahnya Ratna Antika maka pesantren ini masuk ke dalam kategori “angge-angge orong-orong, ora melok gawe melok momong”.
Pada dasarnya pesantren sendiri memang memiliki salah satu tujuan untuk mencetak generasi yang berakhlakul karimah atau berbudi pekerti yang mulia.
Bahkan sistem pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia yang merdeka bisa dijadikan proyeksi untuk membentuk masa depan yang lebih “berkepribadian” (Nurcholis Madjid, 1997).
Sayangnya, sebagaimana sebuah bengkel, disparitas antara jumlah montir dalam hal ini pendidik dengan jumlah mesin yang bermasalah dalam hal ini adalah anak jaraknya terlalu jauh.
Sehingga banyak mesin yang akhirnya terbengkalai dan tak kunjung tertangani dengan baik dan benar.
Kekurangan tenaga teknisi yang mumpuni dipadukan dengan ketidakbecusan orang tua untuk tetap mendampingi anak selama dalam masa pendidikan di pesantren telah menjadi kombo tersendiri untuk menciptakan generasi rawan kemiskinan dan kebodohan.
Pesantren sendiri meskipun mengusung tajuk bengkel akhlak, ia bukanlah jenis bengkel ketok magic yang sim salabim sehari jadi.
Ia tetap membutuhkan komitmen dan atensi dari para orang tua untuk terus memantau perkembangan sang buah hati agar menuju ke arah pribadi yang luhur dan berkemanusiaan.
Sebab bila tak ingin repot-repot membina dan mendampingi pertumbuhan sang buah hati saya sarankan untuk para calon orang tua mulai dari sekarang untuk menyetel kampanye Child Free a la Gitasav saja.
Jangan menjadi pribadi orang tua semacam figur dalam keluarga bebek. Evi Yusnita Ekawati dalam Jurnal Buletin Parenting mengistilahkan orang tua yang lepas tangan atas tumbuh kembang sang anak sebagai keluarga bebek.
Sebab jenis keluarga dari binatang ini hanya terbatas dalam melakukan proses reproduksi pada taraf kawin dan bertelur.
Selepas dari proses tersebut orang tua si bebek sudah lepas tangan dan tak lagi peduli siapa yang akan mengerami telurnya atau bahkan mau dijadikan apa telur yang telah ditetaskan nantinya.
Maka sudah saatnya para orang tua jika memang menghendaki buah hatinya tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan dan menggembirakan harus tetap setia dan sedia mendampingi masa pertumbuhan sang putra-putri tercinta.